"Dia sungguh tidak datang dan lupa." Shela meneteskan air matanya, wanita itu merasa hatinya hancur. Sangat hancur dan perih saat janji seseorang padanya diingkari, saat orang yang dicintainya berbohong padanya. Apalagi alasannya nanti?Hingga pukul sebelas malam, Shela sendirian di dalam rumah kaca itu seorang diri menunggu Sebastian, setelah pukul delapan tadi si kembar jenuh dan ingin pulang. Anak-anak itu kembali dengan sopir dan pulang ke rumah Stevani, karena Shela ingin mengatakan hal penting pada Sebastian. Tapi orang yang paling dia tunggu ternyata tidak juga datang. Harus kah Shela menangis seperti anak kecil? Tapi sakitnya kini benar-benar tidak berbohong. "Dia tidak datang dan aku masih berharap dia mengingatnya?" lirih Shela menundukkan kepalanya dan menangis. Shela memeluk tubuhnya sendiri dan terus tertunduk menyembunyikan tangisnya. "Harusnya aku pulang, harusnya aku yakin pada hatiku kalau dia memang tidak akan mengingat apapun." Wanita ini tersakiti lagi. "Dia h
Semalam penuh Sebastian tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran tentang Shela, bahkan semalam wanita itu sungguh-sungguh menangis dan berakhir Sebastian tidur di sofa, meskipun masih dalam satu kamar.Sampai pagi ini dia beranjak naik ke atas ranjang dan memeluk Shela yang masih tertidur. Diam-diam mencuri kecupan layaknya seorang suami pengecut, Sebastian beribu-ribu kali memakai dirinya sendiri. "Sudah pagi, kau tidak mau bangun?" bisik Sebastian mengecupi pipi Shela yang terasa empuk dan lembut. "Ngghh...." Shela mengeliat, dia menepis tangan Sebastian dan terbangun. Telapak tangan hangat sang suami terasa mengusap pipi mulusnya. Sentuhan yang nyaman, namun kalah dengan amarahnya. "Jangan sentuh," ucap Shela dingin. "Sayang, aku kan sudah meminta maaf. Aku memang sibuk dan... Aku sungguh tidak main-main denganmu, Sayang!" jelas Sebastian mati-matian. Shela meringkuk memunggunginya. Punggungnya bergetar dan dia menangis lagi!"Kau melupakan ulang tahun si kembar, itu sudah kejah
Seharian libur bekerja, Sebastian menebus kesalahannya pada Shela. Hari-hari kemarin saat Shela mual, pusing, dan rewel, dia tetap kuekeh pergi bekerja. Namun setelah mengetahui istrinya hamil, Sebastian memutuskan untuk libur beberapa hari saja. Laki-laki itu kini menemani Shela karena istrinya demam. "Kita ke rumah sakit saja, kah?" ajak Sebastian meletakkan telapak tangannya di kening Shela. "Panasnya kok tidak turun-turun." "Itu semua karena kesalahanmu!" amuk Shela, wanita itu bersembunyi di balik selimut tebal dan terus mengomel. "Iya, aku salah. Coba makan sedikit saja, Sayang..." Sebastian membujuknya. "Aku tidak suka makan yang berkuah... Aku pasti mual. Aku jarang makan setiap hari, kau tidak akan tahu betapa menderitanya istrimu ini!" rengek Shela, dia membuka selimutnya dan langsung terbangun. Senyuman Sebastian mengembang. Apapun sikap Shela padanya kini, ia akan menerimanya dan memberikan senyuman terbaik, Sebastian tidak merawat Shela saat hamil si kembar, paling
"Ohh jadi mereka ini putra dan putri Anda, Tuan Sebastian?!" Seruan senang itu terdengar dari Roghan, Papa Aldrich yang ternyata rekan kerja Sebastian. Mereka sama-sama pebisnis yang bertemu di beberapa kali kesempatan meeting besar di perusahaan-perusahaan besar di Inggris. "Ya, saya tidak menyangka bertemu dengan Anda di sini!" Sebastian merangkul laki-laki itu. Tawa tercipta di antara mereka, Shela juga duduk bersama Mama dan Nenek Aldrich di luar, mereka menghargai Shela yang tidak mampu menahan udara di dalam ruangan, belum lagi karena aroma makanan yang tersaji. Sedangkan Aldrich duduk bersama Tiana dan dua kembarannya. "Kau sangat pucat nak, minumlah teh hangat dan jangan banyak kelelahan," ujar Karen, Nenek Aldrich menatap Shela. "Iya Nyonya. Saya tidak tahan dengan aroma makanan di dalam." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nyonya Morgan ini sedang hamil muda, Bu," ujar Elmma menjelaskan pada mertuanya. "Ya ampun... Pasti mengganggu sekali. Tidak papa, biar Ibu pe
Beberapa hari berlalu, Shela menjalani hari-harinya dengan sangat buruk. Tubuhnya kian kurus dan kesehatannya yang terus menurun. Suamimu yang serba sibuk membuat Shela sering kali meminta bantuan Mamanya, bahkan kadang dia harus merepotkan pembantunya yang sangat baik. "Nyonya, lebih baik ke rumah sakit saja ya, Nyonya sudah pucat sekali seperti ini. Biar saya telfon Tuan, ya?" bujuk Bibi merangkul Shela dan mengajaknya duduk di sofa. Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak papa Bi. Dulu aku juga begini waktu hamil si kembar, kok." "Iya. Tapi Nyonya Shela ini pucat sekali." Tubuh Shela juga menggigil kedinginan, di luar memang sedang hujan deras, dan anak-anaknya berada di kamar masing-masing. Shela lemas tak bertenaga, ia ingin makan siang namun perutnya terus menolak untuk makan juga terasa nyeri. Sampai dia menangis, dan hanya makanan ringan saja yang bisa ia konsumsi. "Mami..." Suara Tiano membuat Shela menoleh. "Iya Sayang, sini nak," panggil Shela pada sang bu
Kata-kata Dokter Teodora terasa memutari isi kepala Sebastian. Dia termenung menatap istrinya yang tertidur nyenyak. Untuk kali pertama dia melihat Shela tidur se-nyenyak ini. Bahkan jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan deras mengguyur bumi. Rumah sepi saat si kembar, Tino dan Tiano diboyong oleh Stevani, menyisakan Tiana yang kini duduk di samping Sebastian. "Papi, Mami kapan bangunnya?" tanya anak itu sedih. "Biarkan Mami tidur, Sayang." Sebastian mengusap pucuk kepala Tiana. "Tiana tidur di samping Mami, gih..." "Tidak mau. Tiana mau jagain Mami sama Papi," jawab anak itu meringkuk membetulkan posisi kaca matanya. Telapak tangan mungil Tiana mengusap perut Shela yang jauh di bawah hangatnya selimut. "Papi, adik nakal, ya?" tanya anak itu tiba-tiba. "Sampai membuat Mami sakit?" Kali ini Tiana mendongak menatap wajah Papinya yang sedih. Dan Sebastian mengangguk, bayi itu memang nakal. Dia membuat Mamanya sakit hingga seperti ini, bagaimana mungkin anak itu tidak bert
Menggugurkan Anak itu. Sebastian tidak sejahat itu untuk mengatakannya dengan sangat tega. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya di hadapan Shela yang menangis. Sebastian menekuk lututnya. Dia menggenggam kedua tangan sang istri dengan hangat. "Tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya tidak ingin melihatmu seperti ini, Shela." Sebastian mengulurkan tangannya mengusap air mata di pipi Shela. Dari tatapan dan wajah cantik yang kini terlihat tersiksa, Shela berkeras kepala mempertahankan semuanya. "Biarkan semuanya berlalu, kalau dia bertahan maka aku akan kuat. Kalau pun tidak, jangan memaksanya untuk pergi," ujar Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita itu memeluk Sebastian dengan erat, tangisannya tak bersuara dan dia meletakkan kepalanya di pundak Sebastian dengan sangat pelan. "Istirahatlah, aku buatkan minuman hangat, ya?" Sebastian mengusap punggung Shela dengan lembut. Tiana yang berada di sana, anak itu diam dengan wajah sedih. Dia takut mendekati Maminya saat tahu Mamin
Ruangan hangat dengan aroma obat-obatan menyengat indra milik Sebastian. Bulu kudu merinding sekujur tubuh saat dokter mempersilakan dia masuk ke dalam sebuah ruangan. Para perawat sibuk membersihkan ruangan itu dari aroma anyir yang ada. Di sana dia melihat Shela yang terbaring dengan alat bantu napas dan wajahnya amat sangat pucat, dia hanya mengeluarkan kepalanya dengan mulut sedikit terbuka dan napasnya yang naik turun. "Tuan bisa menemani Nyonya," ujar Dokter Teodora menatap Sebastian. Sebastian mengangguk lemah, dia berjalan mendekati Shela. Wanita itu menutup matanya dan merasakan lembutnya telapak tangan Sebastian mengusap wajahnya yang berkeringat dingin. Kedua mata itu terbuka dengan lemah. Shela menatap wajah Sebastian dengan tatapan tak mampu. "Jangan bicara apapun," bisik Sebastian menggenggam tangan Shela dan mengecupnya. "A-anak kita," lirih Shela napasnya terputus-putus. "Ssshhtttt, diamlah Shela." Shela mengangguk lemah, ia menarik sekuat tenaga tersisa memelu