"Ohh jadi mereka ini putra dan putri Anda, Tuan Sebastian?!" Seruan senang itu terdengar dari Roghan, Papa Aldrich yang ternyata rekan kerja Sebastian. Mereka sama-sama pebisnis yang bertemu di beberapa kali kesempatan meeting besar di perusahaan-perusahaan besar di Inggris. "Ya, saya tidak menyangka bertemu dengan Anda di sini!" Sebastian merangkul laki-laki itu. Tawa tercipta di antara mereka, Shela juga duduk bersama Mama dan Nenek Aldrich di luar, mereka menghargai Shela yang tidak mampu menahan udara di dalam ruangan, belum lagi karena aroma makanan yang tersaji. Sedangkan Aldrich duduk bersama Tiana dan dua kembarannya. "Kau sangat pucat nak, minumlah teh hangat dan jangan banyak kelelahan," ujar Karen, Nenek Aldrich menatap Shela. "Iya Nyonya. Saya tidak tahan dengan aroma makanan di dalam." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nyonya Morgan ini sedang hamil muda, Bu," ujar Elmma menjelaskan pada mertuanya. "Ya ampun... Pasti mengganggu sekali. Tidak papa, biar Ibu pe
Beberapa hari berlalu, Shela menjalani hari-harinya dengan sangat buruk. Tubuhnya kian kurus dan kesehatannya yang terus menurun. Suamimu yang serba sibuk membuat Shela sering kali meminta bantuan Mamanya, bahkan kadang dia harus merepotkan pembantunya yang sangat baik. "Nyonya, lebih baik ke rumah sakit saja ya, Nyonya sudah pucat sekali seperti ini. Biar saya telfon Tuan, ya?" bujuk Bibi merangkul Shela dan mengajaknya duduk di sofa. Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak papa Bi. Dulu aku juga begini waktu hamil si kembar, kok." "Iya. Tapi Nyonya Shela ini pucat sekali." Tubuh Shela juga menggigil kedinginan, di luar memang sedang hujan deras, dan anak-anaknya berada di kamar masing-masing. Shela lemas tak bertenaga, ia ingin makan siang namun perutnya terus menolak untuk makan juga terasa nyeri. Sampai dia menangis, dan hanya makanan ringan saja yang bisa ia konsumsi. "Mami..." Suara Tiano membuat Shela menoleh. "Iya Sayang, sini nak," panggil Shela pada sang bu
Kata-kata Dokter Teodora terasa memutari isi kepala Sebastian. Dia termenung menatap istrinya yang tertidur nyenyak. Untuk kali pertama dia melihat Shela tidur se-nyenyak ini. Bahkan jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan deras mengguyur bumi. Rumah sepi saat si kembar, Tino dan Tiano diboyong oleh Stevani, menyisakan Tiana yang kini duduk di samping Sebastian. "Papi, Mami kapan bangunnya?" tanya anak itu sedih. "Biarkan Mami tidur, Sayang." Sebastian mengusap pucuk kepala Tiana. "Tiana tidur di samping Mami, gih..." "Tidak mau. Tiana mau jagain Mami sama Papi," jawab anak itu meringkuk membetulkan posisi kaca matanya. Telapak tangan mungil Tiana mengusap perut Shela yang jauh di bawah hangatnya selimut. "Papi, adik nakal, ya?" tanya anak itu tiba-tiba. "Sampai membuat Mami sakit?" Kali ini Tiana mendongak menatap wajah Papinya yang sedih. Dan Sebastian mengangguk, bayi itu memang nakal. Dia membuat Mamanya sakit hingga seperti ini, bagaimana mungkin anak itu tidak bert
Menggugurkan Anak itu. Sebastian tidak sejahat itu untuk mengatakannya dengan sangat tega. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya di hadapan Shela yang menangis. Sebastian menekuk lututnya. Dia menggenggam kedua tangan sang istri dengan hangat. "Tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya tidak ingin melihatmu seperti ini, Shela." Sebastian mengulurkan tangannya mengusap air mata di pipi Shela. Dari tatapan dan wajah cantik yang kini terlihat tersiksa, Shela berkeras kepala mempertahankan semuanya. "Biarkan semuanya berlalu, kalau dia bertahan maka aku akan kuat. Kalau pun tidak, jangan memaksanya untuk pergi," ujar Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita itu memeluk Sebastian dengan erat, tangisannya tak bersuara dan dia meletakkan kepalanya di pundak Sebastian dengan sangat pelan. "Istirahatlah, aku buatkan minuman hangat, ya?" Sebastian mengusap punggung Shela dengan lembut. Tiana yang berada di sana, anak itu diam dengan wajah sedih. Dia takut mendekati Maminya saat tahu Mamin
Ruangan hangat dengan aroma obat-obatan menyengat indra milik Sebastian. Bulu kudu merinding sekujur tubuh saat dokter mempersilakan dia masuk ke dalam sebuah ruangan. Para perawat sibuk membersihkan ruangan itu dari aroma anyir yang ada. Di sana dia melihat Shela yang terbaring dengan alat bantu napas dan wajahnya amat sangat pucat, dia hanya mengeluarkan kepalanya dengan mulut sedikit terbuka dan napasnya yang naik turun. "Tuan bisa menemani Nyonya," ujar Dokter Teodora menatap Sebastian. Sebastian mengangguk lemah, dia berjalan mendekati Shela. Wanita itu menutup matanya dan merasakan lembutnya telapak tangan Sebastian mengusap wajahnya yang berkeringat dingin. Kedua mata itu terbuka dengan lemah. Shela menatap wajah Sebastian dengan tatapan tak mampu. "Jangan bicara apapun," bisik Sebastian menggenggam tangan Shela dan mengecupnya. "A-anak kita," lirih Shela napasnya terputus-putus. "Ssshhtttt, diamlah Shela." Shela mengangguk lemah, ia menarik sekuat tenaga tersisa memelu
"Mami, Tiana kangen Mami..." Tiana, anak itu duduk sendirian di bangku taman sekolahnya. Dia tidak mau masuk ke dalam kelas, dan semua guru-guru di sana sudah paham dengan kebiasaan Tiana. Tidak ada orang yang berani memarahinya, karena Tiana juga kurang terbiasa bergaul dengan banyak teman-temannya. Anak itu membawa untaian bunga-bunga dari rumput liar yang tumbuh di sekitar sana. Tiana menundukkan kepalanya dan mengusap air matanya. "Kau baik-baik saja, Tiana?" Suara anak laki-laki yang tidak asing di telinga Tiana. Hanya dia satu-satunya teman Tiana di sekolah, meskipun berbeda tempat. "Tidak," jawab Tiana menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku menangis." Tiana mendongakkan kepalanya menatap Aldrich yang berdiri di depannya. Anak laki-laki itu menghela napasnya pelan. "Ck, cengeng sekali. Pantas saja kembaranmu selalu memarahimu, kau cengeng sih," ujar anak laki-laki itu mengusap pipi Tiana. Keduanya menatap sekitar, tempat itu sangat sepi karena masih jam sekolah. "Kenapa k
"Ayo ke sana, lihat di sana banjir Tiana!" Aldrich menarik lengan Tiana dan mengajaknya bermain air di bawah derasnya hujan. Mereka berdua kabur dari sekolah saat hujan turun dan hujan-hujanan keluar area sekolah. Tentu saja Tiana tidak menolaknya, dia juga ingin merasakan kebebasan bermain dan bersenang-senang seperti anak-anak seumurannya yang bebas."Aldrich, pegang tangan Tiana," pinta anak itu mengulurkan tangannya. "Awas hati-hati, pasti tidak nyaman ya?" Aldrich mengusap kaca mata Tiana yang basah. Berulang kali anak perempuan itu mengucek matanya dan membersihkan kaca mata yang dia pakai. "Ayo main ke sana lagi!" Tiana menarik lengan Aldrich dan mengajaknya berjalan-jalan di jalanan aspal di dalam kawasan pekarangan luas menuju kediaman keluarga Hubert. Tempat itu sangat dingin, karena tidak ada rumah di sisi kanan dan kirinya, hanya ada pepohonan dan tanaman-tanaman saja. Dan pekarangan seluas itu milik keluarga Hubert yang sengaja tidak dibangun apapun, namun tetap dibu
Hari sudah senja, bahkan Morsil berpamitan pulang dan Shela sendirian di dalam kamar inapnya. Dalam kesunyian seperti yang ia rasakan kini, barulah Shela merasakan dia benar-benar sudah kehilangan calon bayinya. Shela menatapi hujan di luar dari jendela kamar inap, wanita itu mengusap perutnya yang sudah tidak sakit lagi. "Maafkan Mami, sejauh ini Mami sudah berusaha agar kau bertahan," gumam Shela memejamkan matanya pelan. Di tengah Shela meresapi kesepiannya, barulah ia mendengar suara langkah kaki di depan pintu. Sosok Sebastian berjalan masuk ke dalam sana dengan mengibaskan mentelnya yang setengah basah. "Kau sudah kembali, dari mana saja?" tanya Shela dengan nada cemas. "Menjemput Tiana, dia ada bersama Aldrich di mansion Keluarga Hubert," jawab Sebastian, laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang. "Ya ampun, bagaimana bisa Tiana ada di sana?" seru Shela menutup mulutnya. "Huhhh... Entahlah, mereka hujan-hujanan dan hilang dari jam sekolah." Penjelasan sang suami sema
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut