"Mama pokoknya harus mengirim kabar tentang anak-anak setiap lima menit sekali! Entah video atau apapun!" Seru Shela pada sang Mama, Stavani kini merapikan syal yang Shela pakai. Bagaimana pun juga di mata Stevani, Shela masih seperti anak kecil. "Iya Sayang, tenang saja nak..." "Janji dulu!" Shela mengulurkan jari kelingkingnya. Sebastian dan Ferdi terkekeh melihat tingkah Shela. Padahal ketiga anaknya hanya menonton saja, mereka bertiga memang bertingkah konyol dan manja, ternyata Maminya malah lebih parah."Sudah cepat berangkat, sudah malam. Jangan sampai tertinggal pesawat," ujar Ferdi pada mereka. Sebastian mendekati Shela dan menggenggam telapak tangannya. "Bye Mami!" Ketiga anaknya kompak memancarkan wajah bahagia dan melambaikan tangannya saat Shela menuruni tangga teras. "Hati-hati ya, Mami," teriak Tiano. "Iya Sayang." Shela dan Sebastian bersamaan menjawab. "Papi, ditunggu transferannya!" teriak Tino dengan senyuman cengiran andalannya. "Adiknya Tiana juga jangan
"Kau menikah tidak mengundang kami, heh?! Kau pikir kau siapa, beraninya kau Sebastian!" Laros, sepupu Sebastian itu mencekik leher Sebastian dengan lengannya saat mereka berkumpul di teras lantai satu rumah yang Sebastian tempati. Tapi dia tidak mencekiknya dengan serius, lantaran kesan dan geram saja pada sepupunya itu. "Ya, dia sudah tidak butuh kita lagi!" sahut Clarvin menghisap cerutunya dan mengembuskan asapnya ke udara. Sebastian tersenyum tipis. "Apa pentingnya mengundang manusia tidak berguna seperti kalian," jawabnya santai. "Dasar kau ini, tetap saja mulutmu itu beracun saat berbicara, ya," sinis Laros. Ketiga laki-laki itu menghabiskan sore hingga malam dengan mengobrol di teras membahas tentang pekerjaan mereka, masa lalu mereka, dan banyak hal lagi. Selagi Shela masih istirahat di dalam rumah, Sebastian akan menghabiskan waktu bersama saudara-saudaranya saja. "Bas, kabarnya kau punya tiga anak kembar ya? Kenapa tidak diajak?" tanya Robbin seraya meletakkan kartu
Cahaya matahari begitu menyengat hangat dan lembut di sela-sela jendela kamar yang tertutup gorden. Sebastian membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tubuhnya terasa hangat menindih sesuatu yang lembut dan sehalus sutera. Pemandangan pertama yang ia lihat saat kedua matanya terbuka adalah wajah Shela yang masih lelap dalam tidurnya dengan selimut merosot hingga menampakkan tubuh atas gadis itu yang membuat Sebastian kembali mabuk kepayang. "Istriku," lirih Sebastian tersenyum tipis, ia mengecup kening Shela dan menarik selimutnya tinggi-tinggi menutupi tubuh Shela. Sebastian tidak segera beranjak, ia membiarkan satu lengan kekarnya dijadikan bantal oleh Shela. Sesekali Sebastian memainkan pipi gembil istrinya, memainkan hidung mancungnya, dan bibir tipisnya yang memerah. "Apa dia selelah ini?" Sebastian menyadari kebodohannya, semalam dia merasa tidak akan ada hari esok. Dia menginginkan Shela, seolah dahaganya selama ini telah tersiram oleh air yang dingin. "Sayang, bangun... Shel
"Sayang, kau tidak papa, hem? Kenapa menangis begini? Apa Tante mengatakan sesuatu yang buruk?" Sebastian masih duduk memangku Shela yang memeluknya dengan erat, gadis itu tidak berniat mengadu sama sekali pada Sebastian. Tapi melihat Shela menangis seperti ini, apakah Sebastian akan diam saja? Tentu saja tidak akan. "Maafkan aku, Sebastian." Shela meminta maaf atas kesalahan yang Sebastian sendiri tidak ketahui. "Hei, Shela... Apa maksudmu meminta maaf, hem? Kau salah apa, Sayang?" Laki-laki itu menangkup kedua pipi Shela dengan lembut. "Lihat aku, sini, tatap aku saat kau berbicara pada suamimu!" Laki-laki itu memang tegas, apalagi menyangkut Shela yang sampai menangis-nangis seperti ini. "Mereka membawa-bawa Papa Ferdi? Mereka menyalahkanmu? Iya?!" tegas Sebastian mendesak Shela. Gadis itu menganggukkan kepalanya, dia menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya. Shela memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat. "Padahal aku sama sekali tidak bermaksud apapun, aku tidak berma
"Mami, kita kangen banget. Mami lagi apa di sana? Di sini sudah turun salju, di tempat Mami turun salju, tidak?" Suara kecil Tiana di balik telepon membuat Shela tersenyum manis, pagi petang sekali anak-anaknya sudah video call. Padahal Shela kini baru saja bangun tidur dengan Sebastian memeluknya erat-erat dan mendusal padanya. "Iya Sayang, sudah. Di tempat Mami banyak yang menjual boneka tupai. Tiana mau Mami belikan boneka tupai?" tawar Shela tersenyum manis. "Mau, mau sekali, Mami!" pekik anak itu, dia mengangkat ponsel milik Stevani tinggi-tinggi. "Sayang, di mana Kakak?" tanya Shela. "Kakak masih bobo, Tiana sama Oma mau masak sarapan," ujar anak itu tersenyum manis. Baru saja Shela hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi panggilan itu tiba-tiba dimatikan begitu saja oleh Tiana. Shela menyergah napasnya panjang dan mengeluh kesal. "Masih kangen, kenapa malah dimatikan sih, Tiana..." "Tidur lagi, Sayang," bisik Sebastian memeluk tubuh ramping Shela dan membenamkan wajahnya
"Sebastian, ada undangan juga untuk Papamu di kediaman Paman Heinz, kau mau mewakilinya datang bersama kami, tidak?" Pertanyaan itu terlontar dari Rovits pada Sebastian yang tengah menikmati makan malamnya bersama beberapa anggota keluarga di sana. "Kau bisa mengajak Shela juga, kenalkan istrimu pada semua rekan-rekan bisnismu," sahut Vincen tersenyum dia menoleh pada Shela. "Apalagi istrimu ini cantik sekali." Sebastian berdecak pelan. "Aku tidak berminat sama sekali, Tante. Aku dan Shela ke sini untuk berbulan madu, bukannya malam mengurusi pekerjaan," jawab Sebastian. "Tapi tidak sopan rasanya kalau kau tidak datang mewakili Papamu, bodoh!" Clarvin menyanggahnya. Tatapan mata Sebastian tertuju pada Shela seolah meminta persetujuan. "Shela tidak perlu takut, nanti Tante Elin juga ikut kok," sahut Elin, wanita berambut cokelat itu tersenyum pada Shela. "Iya Tante. Shela hanya ikut Sebastian saja," jawab Shela. "Iya kalau dulu selalu ada Kak Ferdi yang mewakili Paman Graham,
Perhiasan emas, berlian, batu permata yang indah dijajar rapi di hadapan Shela dan meminta gadis itu untuk memilihnya. Elin dan Vincen memang sengaja ingin memberikan hadiah spesial untuk anggota Nyonya baru di keluarga mereka. "Shela, kenapa malah diam saja? Ayo pilih mana yang kau sukai, nak," ujar Elin mengusap punggung Shela dengan lembut. Melihat wajah Shela yang bingung, Sebastian yang tengah duduk di ruang keluarga yang bersampingan dengan ruang tamu, dia memperhatikan Shela yang bingung dengan apa yang akan dia pilih dan dia inginkan. "Pasti bingung ya, karena terlalu banyak. Shela bisa mengambil mana saja yang Shela ingin," bujuk Vincen lagi. "Bu-bukan begitu Tante, tapi... Semua perhiasan ini semuanya sangat mahal-mahal, lebih baik tidak usah." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan sudah ngeri, ada yang dari permata Zamrud, batu Ruby, hingga permata-permata yang indah. "Apa dia benar-benar dari keluarga yang miskin?!" Suara Clara memecah keheningan. Seba
Entah sejak kapan Shela menyukai kecupan bibir Sebastian. Kesal, sekaligus malu kenapa Shela menjadi sangat nakal seperti ini saat sudah bersama Sebastian. Buktinya saat ini Shela memeluk leher laki-laki itu dengan mata terpejam dan bibir mereka yang bertautan saling membalas. "Kau menyebalkan," lirih Shela memalingkan wajahnya. "Siapa yang memancing, hem?" Laki-laki itu masih menempatkan wajahnya di pipi Shela. Wajah Shela semakin memerah kala dress Sabrina panjang itu mulai lolos. Malu sekali!Tapi Sebastian tahu apa yang Shela pikirkan, dia pun tidak membuang waktunya. Laki-laki itu mengecup bibir Shela dengan lembut, Sebastian menyentuh bagian mana saja yang bisa dia jangkau. Tidak akan ada bosannya, itulah Sebastian. Bodohnya Shela yang selalu larut dalam permainan menyenangkan ini. "A-apa gorden itu tidak bisa kau tutup dulu, hah?!" pekik Shela menarik selimutnya tinggi-tinggi. "Tidak, biar saja." "Kau memang gila, Sebastian!" pekik Shela. Sebastian kembali tersenyum. "