Shela dan Sebastian pergi ke tempat di mana mereka sudah membuat janji pada seorang perancang busana pengantin ternama di kota Birmingham. Nyonya Kimberly Briliana. Di butik megahnya, Shela merasa terpana melihat banyaknya gaun pengantin yang mahal dan pastinya di tempat itu Sebastian akan mengeluarkan banyak uangnya hanya untuk sekedar membeli gaun. Laki-laki yang boros. "Ini adalah empat gaun pengantin yang Nyonya pilih kemarin, Nyonya bisa langsung mencobanya satu persatu," ujar Nyonya Kimberly menunjukkan empat gaun pada Shela. "Terima kasih Nyonya," jawab Shela tersenyum manis. Wanita itu mengangguk, dan kini Shela hanya bersama Sebastian di sana. Laki-laki itu menatapnya lekat-lekat sebelum dia kembali melirik empat gaun tanpa lengan di hadapannya. Demi Tuhan, ini bukan Shela yang memilih, tapi Tiana dan Stevani. "Aku harap istriku tidak memakai gaun menyedihkan seperti ini," ujar Sebastian duduk di sebuah sofa. "Me-menyedihkan apanya? Gaun ini sangat cantik, anggun, ahh
Shela menunjukkan sebuah buku yang ia baca sejak tadi, dia sendiri juga baru tahu kalau Sebastian ternyata dulunya gemar menulis. Laki-laki itu meraih buku bersampul abu-abu yang ada di tangan Shela. Ditatapnya wajah gadis itu sebelum Sebastian mengangkat buku tersebut. "Ah kau membaca semua isi tentang buku ini?" tanya laki-laki itu tersenyum tipis. "Ti-tidak semua, hanya beberapa saja." Bibir Shela cemberut menjelaskannya. "Lucu sekali semua isi buku-buku ini, jauh dari apa yang aku miliki. Termasuk wanita-wanita tipe idealmu." Salah satu alis Sebastian pun terangkat. Ia sudah menduga kalau Shela pasti akan membaca bagian itu. Buku itu ditutup lagi oleh Sebastian, dia melemparkan buku tersebut ke atas sebuah meja kecil dan tersenyum smirk di hadapan Shela."Apa kau masih percaya dengan isi buku ini?" tanya laki-laki itu lekas duduk di samping Shela. "Emmm, bukannya itu tulisanmu? Tentu saja aku percaya." Shela menunduk. "Eh..."Seketika ia memekik kala Sebastian meraih kedua k
"Beberapa hari menjelang pernikahanmu, jangan melakukan hal yang melelahkan. Biar di kembar Mama dan Papa yang menjaga, Tiana ingin tidur dengan Mama." Stevani menemui Shela yang tengah duduk di sofa besar di balkon lantai dua. Wanita itu bersama tiga si kembar yang kini bersembunyi di baliknya. "Tapi Ma, kalau Tiana tidur sama Mama, lantas Tino dan Tiano bagaimana man-""Kita sudah dewasa, Mami. Kita nanti mau jadi Boss! Tidak takut kok, tidur sendirian!" sahut Tiano, anak itu bersungut-sungut ingin tidur sendiri. "Iya, anak laki-laki kata Opa harus berani!" Tino mengimbuhi. Shela tersenyum tipis, ia menatap Tina yang memanyunkan bibirnya dan memeluk kaki Stevani dari belakang. Seolah-olah dia menunjukkan pada Shela kalau dirinya benar-benar ingin tidur dengan Neneknya. "Bobo sama Oma," cicit anak itu. Shela mengangguk. "Boleh, tapi jangan nakal ya, Sayang." Senyuman Tiana mengembang. "Iya Mamiku!" "Ayo Oma... Ayo tidur, Oma yang bacain kisah katak dan putri bunga ya," ajak
Dua Hari Kemudian..."Mami cantik sekali, wahh... Gaunnya sangat cantik, seperti kelopak bunga mawar putih!" "Mami seperti princess!" Tiano menyahuti kembaran laki-lakinya yang berdiri di sampingnya. "Cantik seperti Tiana," sahut Tiana dengan wajah malu-malu. Dua perias yang menemani Shela yang baru selesai berdandan pun hanya tersenyum manis. Tiga anak itu sangat manis sekali. Sedangkan Shela juga tersenyum tak kalah bahagianya dari mereka bertiga. "Terima kasih, Sayangku..." Shela mengusap pucuk kepala ketiga anaknya. "Sudah Nona," ujar salah satu perias baru saja menyelesaikan memasang perhiasan pada Shela. Shela membalikkan badannya menatap cermin di hadapannya. Ternyata pujian yang si kembar berikan memang tidak berbohong, dia sangat cantik dengan balutan gaun pengantin berlengan panjang berwarna putih salju dengan kain renda-renda yang sangat cantik. Selera Sebastian tidak main-main. "Mami cantik sekali, hemm... Kalau Tiano sudah besar nanti mau mencari pacar seperti Mam
Saat pagi tiba, Shela terkejut dia terbangun sudah ada tiga anaknya di atas ranjang dan Sebastian tidur di ujung bersama Tiana yang memeluknya. Shela mengembuskan napasnya pelan, di sampingnya ada Tiano yang memeluknya dengan erat. "Aduh," lirih Shela memegangi kepalanya. "Sayang," ucap Sebastian terkejut. "Masih sakit?""Sedikit, tapi tidak papa." Gadis itu mengembuskan napasnya pelan. "Anak-anak kok bisa ada di sini?" "Iya, tadi Mama mengantarkan mereka ke sini... Ini kan sudah siang," jawab Sebastian. "Hah?!" Shela memekik kaget, gadis itu langsung menoleh menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ya ampun!Shela mendengus pelan, dia langsung menyibak selimutnya. Sebastian terkekeh melihat wajah istrinya yang terkejut. Laki-laki itu berjalan menidurkan Tiana di keranjang tidur milik anak itu di sebelah tempat tidur Shela. "Tidak papa bangun siang, anak-anak kan libur sekolah," ujar Sebastian mendekati Shela yang duduk di tepi ranjang, dia mengecup pipi ki
"Mama pokoknya harus mengirim kabar tentang anak-anak setiap lima menit sekali! Entah video atau apapun!" Seru Shela pada sang Mama, Stavani kini merapikan syal yang Shela pakai. Bagaimana pun juga di mata Stevani, Shela masih seperti anak kecil. "Iya Sayang, tenang saja nak..." "Janji dulu!" Shela mengulurkan jari kelingkingnya. Sebastian dan Ferdi terkekeh melihat tingkah Shela. Padahal ketiga anaknya hanya menonton saja, mereka bertiga memang bertingkah konyol dan manja, ternyata Maminya malah lebih parah."Sudah cepat berangkat, sudah malam. Jangan sampai tertinggal pesawat," ujar Ferdi pada mereka. Sebastian mendekati Shela dan menggenggam telapak tangannya. "Bye Mami!" Ketiga anaknya kompak memancarkan wajah bahagia dan melambaikan tangannya saat Shela menuruni tangga teras. "Hati-hati ya, Mami," teriak Tiano. "Iya Sayang." Shela dan Sebastian bersamaan menjawab. "Papi, ditunggu transferannya!" teriak Tino dengan senyuman cengiran andalannya. "Adiknya Tiana juga jangan
"Kau menikah tidak mengundang kami, heh?! Kau pikir kau siapa, beraninya kau Sebastian!" Laros, sepupu Sebastian itu mencekik leher Sebastian dengan lengannya saat mereka berkumpul di teras lantai satu rumah yang Sebastian tempati. Tapi dia tidak mencekiknya dengan serius, lantaran kesan dan geram saja pada sepupunya itu. "Ya, dia sudah tidak butuh kita lagi!" sahut Clarvin menghisap cerutunya dan mengembuskan asapnya ke udara. Sebastian tersenyum tipis. "Apa pentingnya mengundang manusia tidak berguna seperti kalian," jawabnya santai. "Dasar kau ini, tetap saja mulutmu itu beracun saat berbicara, ya," sinis Laros. Ketiga laki-laki itu menghabiskan sore hingga malam dengan mengobrol di teras membahas tentang pekerjaan mereka, masa lalu mereka, dan banyak hal lagi. Selagi Shela masih istirahat di dalam rumah, Sebastian akan menghabiskan waktu bersama saudara-saudaranya saja. "Bas, kabarnya kau punya tiga anak kembar ya? Kenapa tidak diajak?" tanya Robbin seraya meletakkan kartu
Cahaya matahari begitu menyengat hangat dan lembut di sela-sela jendela kamar yang tertutup gorden. Sebastian membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tubuhnya terasa hangat menindih sesuatu yang lembut dan sehalus sutera. Pemandangan pertama yang ia lihat saat kedua matanya terbuka adalah wajah Shela yang masih lelap dalam tidurnya dengan selimut merosot hingga menampakkan tubuh atas gadis itu yang membuat Sebastian kembali mabuk kepayang. "Istriku," lirih Sebastian tersenyum tipis, ia mengecup kening Shela dan menarik selimutnya tinggi-tinggi menutupi tubuh Shela. Sebastian tidak segera beranjak, ia membiarkan satu lengan kekarnya dijadikan bantal oleh Shela. Sesekali Sebastian memainkan pipi gembil istrinya, memainkan hidung mancungnya, dan bibir tipisnya yang memerah. "Apa dia selelah ini?" Sebastian menyadari kebodohannya, semalam dia merasa tidak akan ada hari esok. Dia menginginkan Shela, seolah dahaganya selama ini telah tersiram oleh air yang dingin. "Sayang, bangun... Shel