"Pengantin sewaan?!"
"Iya!"
Natasha menggeleng cepat, "Harus berapa kali ku katakan, kamu salah orang. Aku, bukan wanita panggilan yang kamu tunggu!" terang Natasha dengan tegas. Raut wajahnya penuh dengan kekesalan.
Edgar, tampak tenang dan santai. Dia tidak terganggu oleh penolakan Natasha. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Julian.
Tut.. Tut.. Tut..
Sambil menunggu panggilan terhubung, Edgar memandang Natasha dengan tatapan penuh arti, hingga membuat Natasha bergidik ngeri.
"Buka rekaman CCTV di kamarku dan cetak beberapa foto sebagai hadiah untuk keluarga wanita ini," perintah Edgar setelah Julian menjawab panggilannya.
Natasha meremas ujung pakaiannya dengan perasaan cemas. Tidak ingin sampai itu terjadi, ia dengan cepat berkata, "Baiklah, baiklah. Aku bersedia menjadi pengantin sewaanmu," ucap Natasha tanpa berpikir panjang.
Edgar kembali tersenyum puas. Untuk kali kedua Natasha kalah telak darinya. Hal ini membuat Edgar mengerti, jika kelemahan wanita itu ada pada keluarganya.
***
Natasha melangkah dengan hati yang berat melalui lorong hotel. Keputusannya untuk menjadi pengantin sewaan Edgar telah memunculkan pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Ia merasa bingung karena tidak benar-benar memahami apa arti sebenarnya dari pengantin sewaan yang dimaksudkan.
Dengan langkah terhenti di tengah lorong, Natasha membiarkan ratusan pertanyaan bersimpangan di kepalanya. "Pengantin sewaan? Apa aku harus berpura-pura menikah dengannya?" Natasha bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban yang membuatnya semakin bingung.
"Jika benar seperti itu, berarti apa yang ku lakukan adalah kebohongan?" gumamnya dengan terus berpikir.
"Jika itu benar, maka apa yang telah aku lakukan adalah sebuah kebohongan?" gumam Natasha dengan pikiran yang terus menggelinding.
Istilah "kebohongan" membuat Natasha terdiam sejenak. Ia merasa bahwa bermain-main dengan sebuah pernikahan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
"Aku harus segera berbicara dengan dia dan memintanya untuk membatalkan perjanjian konyol ini," pikir Natasha dengan tegas.
Sebelum Natasha kembali ke kamar Edgar, ia mengirimkan pesan singkat kepada Dita, sahabatnya yang juga menginap di hotel tersebut.
"Maaf, Dit. Sepertinya aku tidak jadi mampir, ada urusan mendadak yang harus ku selesaikan," tulis Natasha dalam pesan singkat yang dikirimkan kepada Dita.
Setelah mengirimkan pesan tersebut, Natasha bergegas kembali ke kamar Edgar dengan langkah terburu-buru. Ia ingin segera menghadapi pria itu dan menyelesaikan masalah perjanjian pernikahan yang mengganggu pikirannya.
Ting nong!
Natasha menekan bel kamar Edgar dengan harapan pria itu akan segera membuka pintu.
Ting nong!
Sekali lagi, Natasha kembali menekan bel kamar tersebut. Namun, tidak ada respon dari dalam sana. Rasa cemas semakin menyelimuti Natasha. "Apa dia sudah pergi?" batinnya.
Tak ingin menyerah begitu saja, Natasha memutuskan untuk segera mencari tahu keberadaan Edgar. Ia bergegas menuju resepsionis hotel dengan langkah tergesa-gesa. Sesampai di sana, ia langsung bertanya, "Maaf, apa pemilik kamar nomor satu dua lima sudah check-out?" tanya Natasha dengan harap-harap cemas.
Resepsionis wanita dengan senyuman ramah menggeleng pelan, kemudian dengan sopan menjawab, "Apa yang anda maksud Tuan Edgar?"
Natasha sedikit terkejut saat mendengar resepsionis tersebut mengenal Edgar. Ia berpikir bahwa Edgar mungkin sering menginap di hotel tersebut sehingga resepsionis mengenalnya.
"Iya," jawab Natasha.
"Tuan Edgar baru saja meninggalkan hotel beberapa menit yang lalu. Apa ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Natasha menghela napas lemah, namun tetap berusaha untuk mencari solusi. Detik berikutnya, ia bertanya kembali, "Apakah saya boleh meminta kontaknya?"
"Mohon maaf, kami tidak bisa memberikan kontak Tuan Edgar pada sembarang orang tanpa seizinnya," terang resepsionis dengan ramah.
***
Sudah beberapa hari sejak penandatanganan surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Edgar, pria itu belum juga menghubungi Natasha. Hal ini membuat Natasha merasa cemas. Ia khawatir Edgar mungkin telah berubah pikiran dan mengirimkan foto dari rekaman CCTV kepada keluarganya.
Setelah jam kuliah berakhir, Natasha memutuskan untuk menghubungi ibunya sebelum pulang, untuk memastikan apakah Edgar telah mengirimkan foto tersebut ke rumah mereka.
Tut.. Tut.. Tut..
"Halo, assalamualaikum," sambut Asiyah, ibu Natasha melalui sambungan suara.
"Wa'alaikumussalam. Ibu sedang apa?" tanya Natasha basa-basi.
"Ibu sedang menjahit baju Bapakmu yang robek, Nak. Aneh sekali kamu menelepon ibu pada jam segini. Bukankah kamu harusnya masih ada jam kuliah?"
"Jam kuliahku baru saja selesai, sebentar lagi aku akan segera pulang. Oh ya, bu, apakah ada paket yang datang hari ini?" tanya Natasha seraya menggigit bibir bawahnya dari balik cadarnya.
"Tidak ada. Apa kamu membeli sesuatu?" jawab Asiyah penasaran.
Natasha bernapas lega, "Tidak. Kalau begitu aku tutup dulu ya, bu. Assalamu'alaikum," pungkasnya mengakhiri panggilan tersebut.
Natasha segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan melangkah keluar dari ruang kelasnya. Ia merasa lega setidaknya untuk hari ini, meskipun cemas tetap menghantui hatinya.
Saat langkah Natasha baru saja menghampiri gerbang kampus, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran dua pria berpostur tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam. Mereka mendekati Natasha dengan langkah mantap.
"Siapa kalian?" tanya Natasha dengan waspada kepada kedua pria yang kini berdiri di hadapannya.
"Mari ikut dengan kami, Nona," ucap salah satu pria itu sambil mengarahkan tangannya ke arah mobil Rolls Royce Phantom berwarna hitam yang berhenti tidak jauh dari mereka.
Natasha merasa tidak nyaman dengan situasi ini dan dengan tegas menggeleng cepat. "Tidak!" tolaknya, seraya memundurkan langkahnya. Dia tidak ingin mengikuti orang-orang asing ini tanpa alasan yang jelas.
Namun, langkah Natasha tiba-tiba terhenti saat ia tidak sengaja menabrak seseorang di belakangnya.
Bruk!
Tubuh mereka bertubrukan dengan keras.
Natasha dengan cepat menoleh ke belakang dan menundukkan sedikit kepalanya, "Maaf, aku tidak senga–" belum sempat Natasha menyelesaikan ucapannya, dua wanita berpakaian serba hitam dengan ekspresi datar yang Natasha tabrak langsung menarik lengan kanan-kiri Natasha dan membawanya ke arah mobil hitam itu.
Natasha merasa panik dan mencoba melepaskan diri, namun tenaga kedua wanita itu terlalu kuat. "Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Natasha dengan suara yang gemetar, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.
"Tolong!" Teriak Natasha dengan putus asa, berharap ada yang mendengarnya dan datang menolong. Namun, suaranya hanya terdengar terkekang oleh tangan wanita yang menutup mulutnya.
Mereka memaksa Natasha masuk ke dalam mobil Rolls Royce Phantom yang mewah. Di dalam mobil, ada seorang pria yang duduk dengan tenang, seolah-olah sudah menunggu kedatangan mereka.
"Kami telah menyelesaikan tugas dari anda, Tuan," ucap salah satu wanita dengan suara datar, memberi laporan kepada pria tersebut.
Pria itu menatap Natasha tanpa ekspresi. "Kalian boleh pergi," perintahnya dengan tegas, membuat kedua wanita berpakaian serba hitam itu bergegas pergi dari sana.
Sontak, Natasha segera menoleh ke arah pria yang duduk di sebelahnya.
"Kamu!" seru Natasha dengan suara terkejut, saat menyadari bahwa pria tersebut adalah Edgar.
Natasha merasa cemas dan gelisah saat berada dalam mobil milik Edgar. Ia berusaha keras membuka pintu, ingin segera keluar agar tidak ada mahasiswa lain yang melihatnya berada dalam satu mobil bersama pria asing. Namun, Edgar tidak memperdulikannya. "Julian, jalankan mobilnya," titah Edgar pada sahabatnya yang duduk di kursi kemudi. Dengan panik, Natasha berteriak, "Buka pintunya! Biarkan aku keluar!" Namun, Edgar tetap tidak menghiraukannya. "Aku akan mengantarmu pulang," ucap Edgar tanpa menatap ke arah wanita bercadar yang duduk di sebelahnya. Namun, Natasha menolak dengan tajam. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!" ucapnya. Tangan Natasha masih terus berusaha membuka pintu mobil yang tengah ia naiki, meskipun ia tahu bahwa pintu itu terkunci. Ceklek! Ceklek! Tiba-tiba, Edgar bergerak dan mendekati Natasha. Ia meletakkan salah satu tangannya pada kaca mobil di sisi wanita bercadar itu. Brak! "Hentikan!" ucap Edgar dengan suara baritone-nya yang dalam. Natasha segera m
Adam terus menatap Edgar dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa hubungan antara Edgar dan Natasha. Sejauh yang Adam ketahui, putrinya tidak pernah memiliki teman pria, apalagi sampai membawanya ke rumah mereka. "Silahkan masuk," ajak Adam dengan ramah, disambut protes dari Natasha. "Pak..." Natasha menggelengkan kepalanya dengan pelan, berusaha memberi isyarat kepada Adam agar tidak mengajak Edgar masuk ke dalam rumah mereka. Adam merasa bingung dengan reaksi Natasha. "Bukankah dia temanmu?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba mencari kejelasan. Natasha menggelengkan kepala dengan lebih tegas kali ini, memberitahu ayahnya bahwa Edgar bukanlah temannya. Sementara itu, Edgar yang mendengar percakapan tersebut, berusaha menarik perhatian mereka dengan mengeluarkan deheman singkat. "Ekhem." Edgar menatap Adam dengan serius, "Om, aku mencintai Natasha dan ingin menikahinya," ucapnya tanpa basa-basi. Tentu saja itu hanya sebagian kebohongan dari rencana Edgar. Sontak,
Dalam keheningan yang terasa berat, Asiyah merasakan dunianya hancur. Kabar bahwa Natasha hamil begitu mengejutkan baginya. Asiyah tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya saat ia mendekati Adam dengan tatapan penuh kesedihan. Dengan suara yang gemetar, Asiyah bertanya kepada suaminya itu, "Siapa yang telah menghamili anak kita, Pak?" Suaranya terdengar rapuh, mencerminkan kehancuran yang dirasakannya. Adam menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di pundaknya. Ia menatap Natasha dengan ekspresi kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Adam tahu bahwa ia harus menjelaskan keadaan ini pada Asiyah, tetapi ia juga sadar akan riwayat hipertensi yang dimiliki istrinya. Adam tidak ingin membebani Asiyah dengan stres yang bisa berdampak buruk pada kesehatannya. Dalam keadaan yang semakin tegang, Asiyah mengulangi pertanyaannya dengan meninggikan sedikit intonasi bicaranya, "Jawab pertanyaan Ibu, Pak! Siapa yang telah menghamili Natasha?!" Air mata semakin
Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran. Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara. "Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar. Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung. "Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu. Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ting! Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pu
Natasha merasa ada yang memanggil namanya. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sontak, ia terkejut saat melihat sepupunya, Fadhil, berdiri di sana dengan senyuman lembut di wajahnya."Kak Fadhil?" ucap Natasha, suaranya penuh kegembiraan. "Kapan Kak Fadhil pulang? Aku tidak tahu kalau Kak Fadhil sudah kembali dari Kairo."Fadhil tersenyum lembut seraya menjawab, "Kemarin." Ia menghamburkan pandangannya ke sekeliling, mencari teman Natasha yang mungkin ada di sana. Karena setahunya, Natasha jarang sekali menghabiskan waktunya di luar jika tidak ada kepentingan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Fadhil dengan wajah bingung."Aku.." Natasha menggantungkan ucapannya seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan sepupunya itu. Dia merasa sedikit canggung karena tidak bisa memberikan alasan yang jelas.Fadhil tersenyum lembut, ia tahu jika Natasha enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu masih saja sama seperti dulu," ucapnya dengan penuh peng
Pernyataan yang diucapkan oleh Edgar spontan membulatkan mata Natasha lebar. Ia benar-benar merasa geli dengan sikap yang ditunjukkan oleh Edgar. "Ada apa dengan ekspresinya?" gumam Natasha dalam hati. Adam dengan bangga memperkenalkan Fadhil, keponakannya, kepada Edgar. Ia mengatakan, "Dia Fadhil, sepupu Natasha, yang kuliah di Kairo." Kemudian Adam menatap ke arah pintu dan dengan ramah mengajak Natasha untuk mengajak Fadhil masuk.Natasha diam sejenak, merasakan kehangatan dalam sikap Adam yang telah kembali normal. Ia menjawab dengan senyuman, "Ayo masuk, Kak."Fadhil mengangguk lembut seraya tersenyum. Namun, sebelum ia melangkah masuk, ia mengucapkan salam dengan sopan, "Assalamu'alaikum."Semua orang di dalam ruangan menjawab bersamaan, "Wa'alaikumussalam."Asiyah, yang duduk di samping Adam, berdiri dan dengan ramah mempersilahkan Fadhil untuk duduk di tempatnya. "Silahkan duduk," ucapnya dengan hangat.Setelah Fadhil duduk, Adam dengan penuh kehangatan mengusap bahu keponaka
Setelah langkah mereka sudah sampai di ruang tamu, Asiyah dan Natasha terkejut melihat keberadaan beberapa orang yang sedang menata hidangan di sana. Adam, Asiyah dan Natasha saling pandang dengan kebingungan."Bagaimana, Om? Apa akadnya bisa kita mulai sekarang?" tanya Edgar kepada Adam.Sebelum menjawab pertanyaan Edgar, Adam menatap Natasha dengan wajah bingung, mencari persetujuannya. "Bagaimana, Nak?" tanyanya.Natasha memejamkan matanya sejenak, mencari keberanian dalam diri untuk menghadapi situasi yang mengejutkan ini. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup melewati semuanya. "Mari kita lakukan," jawabnya dengan mantap.Jawaban Natasha tersebut cukup mengagetkan Adam dan Asiyah. Begitupun dengan Fadhil yang masih berada di sana. "Paman, Bibi, aku pulang dulu, ya," pamit Fadhil tiba-tiba.Adam heran dengan kepergian Fadhil yang terburu-buru. "Kenapa cepat sekali?" tanya Adam."Aku lupa jika ada janji dengan temanku, Paman," jawab Fadhil, mencari alasan untuk
Natasha terkejut dan terdiam. Ia merasakan ketakutan yang melintas di dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Natasha akhirnya berkata, "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui." Dalam keputusasaannya, ia memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Namun, kata-kata Natasha tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Ia tetap dingin dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Setelah beberapa saat berlalu, mobil Edgar meluncur dengan tenang melalui gerbang besi yang megah, memasuki halaman mansion yang mempesona. Setelah Julian menghentikan mobilnya, Edgar memberikan perintah kepada sahabatnya sebelum keluar dari mobil tersebut. Dengan suara datar, ia berkata, "Tinggalkan kami berdua." Walaupun mansion milik Edgar terlihat megah dan besar, namun di dalamnya ia hanya mempekerjakan tiga orang saja. Dua asisten rumah tangga bekerja di pagi hingga sore hari, dan satu petugas keamanan yang berjaga di depan. Edgar tidak suka jika terlalu banyak orang di ke
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri