Natasha terkejut dan terdiam. Ia merasakan ketakutan yang melintas di dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Natasha akhirnya berkata, "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui." Dalam keputusasaannya, ia memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Namun, kata-kata Natasha tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Ia tetap dingin dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Setelah beberapa saat berlalu, mobil Edgar meluncur dengan tenang melalui gerbang besi yang megah, memasuki halaman mansion yang mempesona. Setelah Julian menghentikan mobilnya, Edgar memberikan perintah kepada sahabatnya sebelum keluar dari mobil tersebut. Dengan suara datar, ia berkata, "Tinggalkan kami berdua." Walaupun mansion milik Edgar terlihat megah dan besar, namun di dalamnya ia hanya mempekerjakan tiga orang saja. Dua asisten rumah tangga bekerja di pagi hingga sore hari, dan satu petugas keamanan yang berjaga di depan. Edgar tidak suka jika terlalu banyak orang di ke
Bi Murni mengarahkan pandangannya ke kamar tersebut, lalu berjalan ke arahnya. "Ini kamar khusus untuk pembantu, Non. Tapi, karena Bibi dan Bi Yeti tidak tinggal di sini, kamar ini sekarang kosong," jawabnya sambil membuka pintu kamar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar-kamar yang lain."Kalau begitu, aku pilih kamar ini saja, boleh, kan?" ucap Natasha dengan senyuman dari balik cadarnya.Seketika, Bi Murni terkejut. Ia mengerjapkan matanya cepat, dan menatap ke arah kamar berukuran kecil itu, mencari alasan kenapa Natasha lebih memilih kamar itu daripada kamar-kamar yang lainnya."Boleh, Non. Tapi, apa kamar ini tidak terlalu sempit?" tanya Bi Murni dengan ragu.Natasha menggeleng pelan, "Tidak, Bi, tenang saja," jawabnya dengan ramah."Baiklah. Kalau begitu, Bibi pergi dulu, ya, Non. Jika Non Natasha membutuhkan sesuatu, panggil saja Bibi atau Bi Yeti," pungkasnya sebelum melangkah pergi"Iya, Bi," jawab Natasha dengan sopan.Setelah Bi Murni pergi, Natasha masuk ke dala
Tanpa memberikan jawaban, Edgar menatap Bianca dengan datar. "Pulanglah, aku ingin istirahat," ucapnya dengan tegas. "Ah.. jadi benar, dia pembantu barumu, ya?" tanya Bianca kembali, mencoba untuk mencari tahu tentang identitas Natasha. Meskipun Edgar tidak memberikan respon, Bianca tetap bertahan dengan asumsinya.Bianca menatap Natasha dengan serius, mencoba membaca reaksi wanita itu dari sorot matanya, kemudian berkata pada Edgar yang berdiri di belakangnya. "Bukankah kamu tidak suka jika ada orang baru yang menginjakkan kaki di mansionmu?" tanya Bianca dengan rasa penasaran yang menggebu di dalam dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah ia ketahui tentang preferensi Edgar.Bianca tahu betul bagaimana Edgar, pasalnya, ia adalah teman masa kecil Edgar yang telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama dan saling memahami satu sama lain. Bianca tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh pria tersebut.Dengan percaya diri, Bianca
"A-Ada apa?" tanya Natasha terbata-bata, tanpa menatap wajah Edgar yang tengah menatapnya datar. Tanpa menjawab pertanyaan Natasha, Edgar melirik ke arah kirinya seraya berkata dengan tegas, "Letakkan semuanya di dalam," perintah Edgar pada tiga bodyguardnya yang membawa semua keperluan Natasha, termasuk dengan pakaiannya. Tiga bodyguard itu mengangguk patuh dan mulai memasukkan barang-barang ke dalam kamar. Mereka bergerak dengan sigap, menempatkan semua barang dengan rapi di tempat yang sesuai. Namun, saat mereka hendak masuk ke dalam kamar tersebut, salah satu dari mereka berhenti sejenak dan berkata pada Natasha, saat wanita bercadar itu menghalangi jalannya."Permisi, Nona," ucap bodyguard tersebut dengan sopan."S-Silahkan," jawab Natasha dengan cepat. Ia buru-buru menggeser tubuhnya, namun, Natasha tidak menyadari bahwa ujung gamisnya tersangkut di langkahnya sendiri.Bruk! Tubuhnya secara tidak sengaja menabrak dada Edgar. "Ssshh.." rintih Natasha, refleks menjauhkan kepala
"Cantik?" gumam Edgar dalam hati, sibuk menerka-nerka bagaimana wajah Natasha.Tak dapat dipungkiri, walaupun wajah Natasha masih tertutup oleh cadar, namun matanya memancarkan keindahan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Edgar menggelengkan kepala dengan tegas, saat menyadari bahwa ia tengah memikirkan Natasha. Ia kembali melanjutkan makanannya yang sempat terhenti."Aduh.. aku jadi penasaran, Mur," ucap Bi Yeti pada Bi Murni yang masih asyik dengan obrolannya.Bi Murni semakin mendekatkan dirinya pada Bi Yeti, lalu berkata, "Tuan Edgar akan menyesal jika menyia-nyiakan bibit unggul seperti Non Natasha. Bagaimana ya jika mereka memiliki anak kelak? Pasti anak mereka akan sangat cantik seperti ibunya."Sontak, Edgar tersedak makanannya sendiri saat mendengar ucapan Bi Murni. "Uhuk. Uhuk. Uhuk." Edgar buru-buru meletakan peralatan makan di tangannya dan meraih segelas air putih.Bi Murni dan Bi Yeti yang mendengar itu buru-buru berlari ke arah Edgar. "Apa ada yang salah d
Edgar menerima bungkus mie dari tangan Natasha. Namun, alih-alih memakannya, ia justru membuangnya dengan cepat. Natasha terkejut melihat tindakan tersebut, dengan reflek ia menurunkan ujung hijab yang menutupi wajahnya. "Kenapa mienya dibuang?"Gluk! Edgar menelan salivanya dengan susah payah saat melihat wajah Natasha tanpa cadar dari jarak dekat. Keindahan dan pesona wajah wanita itu melebihi ekspektasi Edgar. Ia merasakan kekaguman yang mendalam dan tak bisa lagi menyangkal pesona yang dimiliki oleh istrinya itu.Natasha protes dengan raut wajah kesal, "Jika kamu tidak mau memakannya, seharusnya kamu memberikannya padaku, bukan malah membuangnya begitu saja."Namun, saat Natasha menyadari bahwa Edgar sedang menatap wajahnya, ia buru-buru menutupi kembali wajahnya dengan menggunakan ujung hijabnya. Begitu juga dengan Edgar, yang cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.Edgar menjawab dengan suara datar, "Sejak kapan mie instan bisa dimakan dengan cara seperti itu?"Natasha s
Edgar diam bergeming saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Natasha. Benar! Ucapan tersebut memang tidak salah, pernikahan mereka hanyalah kontrak dan bersifat sandiwara. Dan seharusnya, Edgar tidak berhak menanyakan hal tersebut kepada wanita itu.Edgar membuang wajahnya ke arah lain, dan tanpa mengatakan apa pun, ia melangkah pergi ke kamarnya meninggalkan Natasha di sana.Sementara itu, Natasha yang masih duduk di tempatnya menatap nasi goreng buatan Edgar dengan tatapan nanar. "Apa ucapanku salah?" gumamnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia merasakan denyut nyeri di dadanya saat mengingat fakta bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara, sebuah kontrak yang tidak pernah memiliki dasar cinta.***Tidak seperti hari-hari biasanya, pagi ini Bi Murni dan Bi Yeti sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Suasana ini terasa berbeda, mengingat Edgar yang sering kali lebih banyak menghabiskan waktu di hotelnya daripada di mansionnya.Edgar duduk di meja makan,
Natasha mempercepat langkahnya dan mendekati Fadhil, terlihat terkejut dengan kehadirannya. "Kak Fadhil, sedang apa di sini?" Fadhil, yang sedang berbincang dengan penjaga perpustakaan, tersenyum lembut ketika melihat Natasha. "Aku sedang menemui teman lamaku, Nat. Kebetulan dia bekerja di sini," jawabnya dengan ramah.Natasha menatap penjaga perpustakaan dengan rasa penasaran. "Maksudnya, dia?" tanyanya."Iya, dia teman lamaku," jawab Fadhil sambil menganggukkan kepala.Fadhil melirik jari manis Natasha sesaat. Namun, saat ia tidak melihat cincin kawin yang seharusnya melingkar di sana. Dia merasa penasaran dan dengan hati-hati bertanya, "Bagaimana dengan pernikahanmu?"Natasha hanya tersenyum di balik cadarnya sebagai jawabannya. Fadhil mengangguk mengerti, tetapi dia masih penasaran dengan keadaan rumah tangga wanita di hadapannya itu. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan Natasha dengan Edgar."Apa kamu mencintainya?" tanya Fadhil kembali dengan suara pelan.N
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri