Natasha mempercepat langkahnya dan mendekati Fadhil, terlihat terkejut dengan kehadirannya. "Kak Fadhil, sedang apa di sini?" Fadhil, yang sedang berbincang dengan penjaga perpustakaan, tersenyum lembut ketika melihat Natasha. "Aku sedang menemui teman lamaku, Nat. Kebetulan dia bekerja di sini," jawabnya dengan ramah.Natasha menatap penjaga perpustakaan dengan rasa penasaran. "Maksudnya, dia?" tanyanya."Iya, dia teman lamaku," jawab Fadhil sambil menganggukkan kepala.Fadhil melirik jari manis Natasha sesaat. Namun, saat ia tidak melihat cincin kawin yang seharusnya melingkar di sana. Dia merasa penasaran dan dengan hati-hati bertanya, "Bagaimana dengan pernikahanmu?"Natasha hanya tersenyum di balik cadarnya sebagai jawabannya. Fadhil mengangguk mengerti, tetapi dia masih penasaran dengan keadaan rumah tangga wanita di hadapannya itu. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan Natasha dengan Edgar."Apa kamu mencintainya?" tanya Fadhil kembali dengan suara pelan.N
Julian membuka mulutnya lebar saat ia mengartikan diamnya Edgar sebagai jawaban "ya" atas pertanyaannya. Dia menatap Edgar dengan serius, tidak sabar menunggu jawaban dari sahabatnya itu. Namun, Edgar melirik Julian dengan tajam tanpa memberikan jawaban apa pun. Sebaliknya, ia dengan tegas menjitak dahi Julian dengan keras.Pletak!"Ahh! Sialan," umpat Julian sambil memijat dahinya yang terasa berdenyut karena jitakan tersebut.Edgar, meskipun masih tampak serius, memberikan instruksi kepada Julian, "Cepat berdiri. Kita harus pergi ke ruang rapat." Ia bangkit dari posisi duduknya dengan sikap yang tegas."Lima menit, biarkan aku menghabiskan makanan ini dulu," pinta Julian seraya mempercepat suapannya."Berdiri sekarang atau akan ku turunkan jabatanmu?" ancam Edgar dengan dingin.Julian terkejut dan segera menghentikan kunyahannya. Ia buru-buru meletakkan kotak makan di atas meja. "Haish!" desahnya dengan kesal.Sebelum Julian mengejar langkah Edgar yang hampir mencapai pintu, ia mera
Edgar dan Abraham saling berhadapan dalam sebuah pertengkaran yang memanas. Ketegangan di antara mereka semakin memperlebar kesenjangan hubungan keduanya. Namun, tiba-tiba, Rio, yang menjadi akar permasalahan tersebut, masuk ke dalam ruangan Edgar.Dengan penuh kelembutan, Rio mengusap lembut bahu Abraham sambil bertanya, "Apa Papa baik-baik saja?" Ekspresi kesal yang terpancar di wajah laki-laki paruh baya itu membuat Rio khawatir.Abraham menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak, dan akhirnya menjawab dengan mengangguk pelan, "Hmm."Rio merasa lega melihat reaksi Abraham. Dengan senyuman, ia mengajaknya pulang dengan lembut, "Ayo kita pulang, Pa."Rio dengan penuh perhatian menuntun tangan Abraham keluar dari ruangan Edgar. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan tersebut, Rio memalingkan wajahnya ke arah Edgar dengan senyuman menyeringai, seolah memberikan isyarat bahwa perusahaan keluarga Edgar akan jatuh ke tangannya."Brengsek!" desah Edgar dengan penuh emosi,
Natasha merasa sedikit bingung saat ia tidak menemukan siapa pun di rumah Edgar. Ia menatap ke sekeliling, tetapi tidak ada satu orang pun yang menjawab salamnya. Padahal, masih siang hari dan seharusnya Bi Murni dan Bi Yeti masih berada di sana."Bi Murni.." panggil Natasha sambil melangkah mencari keberadaan sang empunya nama. Ia pikir wanita paruh baya tersebut sedang sibuk di dapur. Namun, setelah melewati beberapa ruangan, Natasha hanya menemukan keheningan.Saat langkah Natasha sampai di dapur, ia tetap tidak menemukan siapa pun di sana. "Kemana perginya semua orang?" tanya Natasha pada dirinya sendiri.Natasha hendak berbalik dan menuju kamarnya, tiba-tiba seseorang dengan kasar menyiramkan segelas air putih ke wajahnya. Brak!Suara keras terdengar saat gelas kaca diletakkan dengan kasar di atas meja oleh Bianca, wanita yang baru saja menyiramkan air ke wajah Natasha."Surat ini darimu, kan?!" tanya Bianca menginterogasi, seraya menunjukkan secarik kertas di tangannya.Natasha
Bianca mengambil semua uang miliknya yang tersisa di dalam dompetnya dan memberikannya kepada Natasha. Dengan ekspresi sinis, dia berkata, "Ini untuk uang mukanya," ucapnya mencoba merendahkan wanita di hadapannya itu.Natasha hanya diam, matanya menatap tajam ke arah Bianca. Meskipun terdapat keheningan dalam tanggapannya, sorot matanya mengungkapkan banyak hal. Hatinya dipenuhi dengan perasaan kesedihan hingga kemarahan. Tetapi dia memilih untuk tetap diam, menahan diri untuk mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan."Tidak perlu malu, bukankah kamu sudah terbiasa melakukannya?" ucap Bianca seraya memberikan uang miliknya pada Natasha dengan nada merendahkan. Dia memaksa wanita bercadar itu untuk menerimanya, tanpa memperdulikan perasaannya."Cukup, Bianca!" ucap Edgar dengan suara baritone-nya yang menggema di ruangan itu. Ia melangkah mendekati Bianca dengan tatapan tegas.Sontak, Bianca merasa terkejut, dengan terbata-bata dia berkata, "E-Edgar..." Edgar menghentikan langkahnya d
Edgar diam sejenak, teringat kembali akan ucapan yang pernah ia sampaikan kepada Natasha. "Ahh..." ia mengucapkan seraya mengangguk mengingatnya. "Ini situasinya berbeda," lanjutnya dengan rasa canggung."Oh..." Natasha menjawab dengan polos."Kenapa kamu masih berdiri? Cepat duduk!" perintah Edgar dengan perasaan campur aduk.Setelah Natasha duduk, keduanya terdiam tanpa ada satu kata pun yang terucap oleh mereka. Tiba-tiba, Edgar mengatakan, "Mulai sekarang, kamu boleh tidur di kamarku."Natasha merasa hatinya berdebar kencang saat mendengar ucapan Edgar. Seketika itu juga, matanya terbelalak tak percaya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Edgar menatap Natasha dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Apa kamu tidak mau?" tanyanya.Natasha terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. Ia merasa sulit untuk merumuskan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. "B-Bukan seperti itu. Hanya saja aku–" jawab Natasha terbata-bata. Namun, sebelum
Sepanjang perjalanan Julian mengantar Bianca pulang, suasana terasa tegang. Bianca terus menyalahkan Julian atas pernikahan Edgar dengan Natasha. Ia merasa sulit menerima kenyataan bahwa Natasha adalah istri dari pria yang dicintainya. "Dari sekian banyak wanita di dunia ini, kenapa harus Natasha yang ia nikahi?" keluh Bianca dengan nada kesal, sambil menahan tangisnya. Wajahnya penuh dengan kekecewaan dan kebingungan.Bianca memukul-mukul dadanya sendiri sambil melanjutkan ucapannya dengan suara yang penuh keputusasaan, "Padahal aku lebih cantik dan kaya darinya, tapi kenapa justru aku yang kalah dari wanita itu? Apa Edgar buta?"Julian tetap fokus mengemudi, tetapi dia bisa merasakan kegelisahan Bianca. Tiba-tiba, Bianca menatap Julian dengan tatapan yang penuh harapan, "Kenapa kamu diam saja, Julian? Bukankah kamu berhutang penjelasan padaku?!" tanyanya dengan nada yang sedikit meninggi.Julian ingin memberikan penjelasan yang baik kepada Bianca, tetapi dia tahu bahwa kata-kata ya
Setelah Natasha dan Bi Yeti kembali dari pasar, mereka berjalan menuju kediaman Edgar. Namun, tiba-tiba Natasha menghentikan langkahnya saat sampai di pelataran mansion tersebut. Bi Yeti, yang menyadari Natasha tertinggal di belakang, bertanya dengan penuh perhatian."Ada apa, Non?" tanya Bi Yeti, mencoba mencari tahu mengapa Natasha terlihat ragu.Dengan perasaan tidak enak, Natasha menjawab, "Bi Yeti, masuklah duluan. Aku akan menyusul sebentar lagi."Natasha merasa malu untuk bertemu dengan Edgar. Bagaimana mungkin ia bisa menghadapinya setelah tidak bisa memenuhi janjinya untuk mengembalikan uang satu milyar kepada suaminya itu?Bi Yeti mengangguk patuh. "Kalau begitu Bibi permisi dulu," pungkasnya. Dengan langkah mantap, Bi Yeti meninggalkan tempat itu, meninggalkan Natasha di sana. Setelah kepergian Bi Yeti, Natasha merasa bingung karena ia tidak tahu kemana lagi harus pergi untuk menghindari bertemu dengan Edgar, terlebih lagi, waktu sudah sore dan ia tidak mungkin pergi terla
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri