Dalam keheningan yang terasa berat, Asiyah merasakan dunianya hancur. Kabar bahwa Natasha hamil begitu mengejutkan baginya. Asiyah tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya saat ia mendekati Adam dengan tatapan penuh kesedihan.
Dengan suara yang gemetar, Asiyah bertanya kepada suaminya itu, "Siapa yang telah menghamili anak kita, Pak?" Suaranya terdengar rapuh, mencerminkan kehancuran yang dirasakannya.
Adam menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di pundaknya. Ia menatap Natasha dengan ekspresi kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Adam tahu bahwa ia harus menjelaskan keadaan ini pada Asiyah, tetapi ia juga sadar akan riwayat hipertensi yang dimiliki istrinya. Adam tidak ingin membebani Asiyah dengan stres yang bisa berdampak buruk pada kesehatannya.
Dalam keadaan yang semakin tegang, Asiyah mengulangi pertanyaannya dengan meninggikan sedikit intonasi bicaranya, "Jawab pertanyaan Ibu, Pak! Siapa yang telah menghamili Natasha?!" Air mata semakin mengalir di wajahnya, mencerminkan kepedihannya.
Adam berdiri tegak, mencoba menenangkan Asiyah dengan sentuhan lembut di bahunya. "Tenangkan dirimu, Bu," ucapnya dengan nada lembut.
Asiyah merasa sulit untuk menenangkan dirinya. Kekecewaan dan kekhawatiran yang terpendam begitu kuat dalam dirinya. "Bagaimana Ibu bisa tenang, saat satu-satunya putri kita hamil di luar nikah," raung Asiyah dengan suara yang penuh histeris.
Mendengar ucapan Asiyah, Adam merasa hatinya hancur sebagaimana yang dirasakan istrinya itu. Ia mencoba untuk tetap tenang meskipun kepedihan yang dirasakannya begitu dalam. "Bapak mengerti."
Asiyah terus menangis dan mengungkapkan kekecewaannya, "Kenapa anak itu tega sekali pada kita, Pak. Apa kita kurang baik dalam mendidiknya? Atau karena dia ingin memberi kita pelajaran dengan cara bertingkah di luar batas seperti ini, karena dia menyesal terlahir dari rahim seorang ibu yang miskin."
Natasha, yang mendengar ucapan itu segera mendekat ke arah Adam dan Asiyah dengan cepat. Ia menggelengkan kepala dengan tegas, mencoba menegaskan bahwa ucapan Asiyah tidak benar. "Itu tidak benar, Bu," kata Natasha dengan suara mantap, mencoba menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
Asiyah, dalam keadaan kecewa dan marah yang meluap, mendaratkan kedua tangannya di bahu Natasha dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan kencang. Suaranya penuh dengan kekecewaan yang mendalam saat ia berteriak, "Kenapa kamu tega melakukan ini pada Ibu dan Bapak?!"
Namun, Natasha dengan suara yang bergetar, segera menjelaskan, "Aku sama sekali tidak hamil, Bu! Sungguh!" Ia melihat ke arah Adam, mencari dukungan dari ayahnya, sebelum melanjutkan ucapannya, "Bahkan, aku saja tidak mengenal siapa pria itu."
Adam melepaskan kedua tangan Asiyah dari bahu Natasha dan menatap putrinya dengan tatapan serius. "Jika kamu tidak mengenal Edgar, kenapa kamu menyetujui pinangannya tanpa mempertimbangkannya dulu?" tanya Adam dengan ekspresi tidak percaya.
Natasha terdiam, merasa terjepit dalam situasi yang sulit. Ia tidak mungkin memberitahu kedua orang tuanya, jika ia telah diancam oleh Edgar menggunakan foto rekaman CCTV saat dirinya berada di kamar pria tersebut.
Natasha hanya bisa menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan, saat tidak mampu menjelaskan apa pun kepada ayahnya.
Melihat reaksi Natasha, Adam merasakan kekecewaan yang mendalam. Ia merasa terhantam dengan kenyataan bahwa putrinya mungkin benar-benar hamil. "Jadi benar, kamu hamil?" tanya Adam.
Natasha mengangkat kepalanya dan menggeleng tegas. "Tidak," jawab Natasha dengan mantap.
"Kalau kamu memang tidak hamil, kenapa kamu langsung menyetujui pinangan Edgar tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu?" cecar Adam, menuntut penjelasan.
Tenggorokan Natasha terasa tercekat. Ingin sekali ia menjelaskan semuanya, namun, hal itu akan semakin memperkeruh keadaan.
Plak!
Tiba-tiba Asiyah mendaratkan tangannya pada wajah Natasha untuk kedua kalinya.
"Kenapa kamu melakukan hal sehina itu, Natasha? Apa kamu tidak malu dengan pakaianmu?!" kata Asiyah dengan kecewa.
"Ini semua tidak seperti apa yang Bapak dan Ibu pikirkan. Aku benar-benar tidak–" ucapan Natasha seketika terhenti saat Asiyah menyelanya.
"Cukup!" seru Asiyah sambil menutup kedua telinganya. "Ibu tidak ingin mendengar apa pun lagi," lanjutnya dengan nada putus asa.
Natasha merasakan hatinya hancur ketika kedua orang tuanya sama sekali tidak mempercayainya. Padahal Adam dan Asiyah seharusnya tahu bahwa Natasha selama ini telah menjaga dirinya dengan sebaik mungkin.
Natasha melangkah mundur dengan mata berkaca-kaca, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dalam keputusasaan, ia berlari menuju kamarnya.
Bruk!
Natasha menjatuhkan dirinya di balik pintu, sambil menutup pintu kamarnya dengan keras.
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" gumam Natasha dengan suara terisak. Air mata mengalir deras di pipinya.
Sebelumnya, kehidupan Natasha berjalan dengan normal. Namun, semenjak ia bertemu dengan Edgar, sepertinya masalah datang bertubi-tubi tanpa henti. Seakan ia tenggelam dalam badai penderitaan.
Natasha mengusap air matanya dengan kasar, mencoba menghentikan derasnya air mata yang terus mengalir. "Aku harus membuktikan pada Bapak dan Ibu bahwa tuduhan mereka tidak benar."
Dengan gerakan cepat, Natasha berdiri dan keluar dari kamarnya untuk menemui Edgar. Namun, sebelum langkah Natasha mencapai pintu depan, ia berhenti sejenak, matanya terpaku pada Asiyah yang masih menangis di ruang tamu.
"Maaf, telah membuat kalian salah paham," gumam Natasha dengan suara pelan, suaranya terdengar penuh penyesalan.
***
Langkah Natasha terasa ragu saat ia memasuki foyer yang mewah. Cahaya lampu yang lembut menerangi lorong-lorong yang terhampar di hadapannya.
Natasha menghampiri meja resepsionis, di mana seorang resepsionis wanita dengan senyum ramah menyambutnya.
"Selamat datang di Hotel Rosewood. Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis dengan ramah.
"Apakah pengunjung yang bernama Edgar masih menginap di hotel ini?" tanya Natasha dengan ragu.
Resepsionis hotel tersebut memandang Natasha dengan penuh perhatian sebelum akhirnya memberikan jawabannya, "Apakah yang Nona maksud Tuan Edgar Pradipta?"
Natasha mengangguk cepat, mengonfirmasi bahwa Edgar Pradipta adalah orang yang dimaksudnya. "Ya, benar! Edgar Pradipta. Apakah dia masih menginap di hotel ini?"
Resepsionis tersebut mengangguk seraya tersenyum lembut.
Natasha menghela napas lega. "Baiklah, terima kasih," ucapnya sebelum melangkah pergi ke kamar Edgar.
Namun, sebelum ia sempat pergi lebih jauh, resepsionis itu dengan cepat menghentikan langkah Natasha.
"Nona ingin ke mana?"
"Aku ingin menemui Edgar di kamarnya," jawab Natasha dengan polos.
"Apakah Nona sudah memiliki janji dengan Tuan Edgar?" tanya resepsionis itu, diikuti gelengan kepala dari Natasha.
Dengan sopan, resepsionis menjelaskan, "Mohon maaf. Nona tidak bisa menemui Tuan Edgar jika tidak memiliki janji."
Natasha merasa kecewa dan mencoba meyakinkan resepsionis, "Tapi.. Ada hal penting yang harus ku bicarakan dengan dia."
Resepsionis itu mengangguk paham dengan senyuman yang masih bertengger di wajahnya. "Mohon maaf. Tapi, ini sudah menjadi peraturan yang tidak bisa dilanggar."
Natasha diam sejenak, mencoba memikirkan cara agar bisa menemui Edgar. Kemudian, dengan percaya diri, ia bertanya, "Aku calon istrinya. Apa aku harus membuat janji dulu untuk menemui dia?"
Resepsionis itu menatap Natasha dari atas hingga bawah. Namun, saat ia melihat Natasha hanya menggunakan sandal jepit, resepsionis tersebut tanpa sadar tertawa pelan.
"Maaf," ucap resepsionis itu dengan rasa tidak enak karena telah menertawakan Natasha, ia buru-buru mengubah ekspresi wajahnya dengan cepat.
Natasha mengabaikan kejadian tersebut dan tetap fokus pada tujuannya. Dia melanjutkan dengan pertanyaannya, "Apa Edgar ada di kamarnya?"
Resepsionis itu menjawab dengan ramah, "Saat ini Tuan Edgar sedang tidak ada di hotel. Jika Nona ingin menemuinya, Nona bisa datang esok hari setelah membuat janji. Namun, saya tidak bisa memberikan perkiraan pasti kapan Tuan Edgar akan kembali."
Natasha merespon dengan menganggukkan kepala lemah dan berkata, "Baiklah." Setelah itu, dia melangkah keluar dengan langkah gontai.
"Aku harus mencari dia ke mana lagi?" tanya Natasha pada dirinya sendiri. Dia menepuk pelan kepalanya dengan kecewa sebelum melanjutkan ucapannya, "Kenapa aku tidak kepikiran untuk meminta kontaknya."
Natasha berhenti di depan pintu masuk hotel, ragu antara pulang atau tetap menunggu Edgar di sana. Meskipun dia tidak yakin apakah Edgar akan datang atau tidak, namun dia memutuskan untuk menunggu.
Selama menunggu, Natasha terus memperhatikan setiap mobil pengunjung yang datang, berharap salah satu dari mereka adalah Edgar. Waktu terus berlalu, dan setelah empat puluh menit, pria yang dia tunggu belum juga tiba.
Saat Natasha memutuskan untuk pulang, tiba-tiba sebuah mobil Rolls-Royce Phantom berwarna hitam berhenti tepat di depan pintu masuk hotel.
"Sepertinya aku pernah melihat mobil itu sebelumnya," gumam Natasha dalam hati saat mobil hitam tersebut terlihat tidak asing baginya.
Ketika pintu mobil terbuka, Edgar keluar dari dalam dengan mengenakan jas hitam yang elegan. Sontak, Natasha buru-buru mendekati pria tersebut dengan langkah tergesa-gesa.
"Edgar–" panggil Natasha dengan suara lantang. Namun, langkah Natasha terhenti tiba-tiba saat sandal jepit yang ia pakai tiba-tiba putus.
Tak ingin membuang-buang waktu, Natasha dengan sigap melepas kedua alas kakinya dan menentengnya.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Edgar dengan suara datar.
"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu," ucap Natasha dengan tegas.
Edgar menatap Julian dan beberapa bodyguardnya, memberikan isyarat kepada mereka untuk pergi.
Setelah memberikan isyarat tersebut, Edgar menatap lurus ke depan. "Ikut aku," ucapnya pada Natasha.
Tanpa menunggu jawaban dari wanita bercadar itu, Edgar melangkah pergi terlebih dulu, diikuti Natasha di belakangnya.
Para staf hotel membungkukkan sedikit tubuhnya saat Edgar melintas di depan mereka. Bahkan resepsionis wanita yang sebelumnya menertawakan Natasha, ikut membungkuk sebagai tanda penghormatan. Namun, ketika resepsionis itu melihat Natasha berjalan di belakang Edgar, dia buru-buru menarik lengan wanita bercadar itu.
"Maaf, anda tidak boleh masuk," tegur resepsionis dengan tegas, hingga menarik atensi Edgar yang berjalan di depan Natasha.
Edgar berhenti dan menatap resepsionis dengan tatapan dingin. "Ada apa?" tanya Edgar dengan penasaran.
"Sejak tadi, Nona ini terus memaksa ingin menemui Anda, Tuan. Saya khawatir dia memiliki niat jahat terhadap Anda. Dia bahkan mengaku-ngaku sebagai calon istri–"
"Dia memang calon istriku," potong Edgar tanpa ragu.
Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran. Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara. "Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar. Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung. "Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu. Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ting! Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pu
Natasha merasa ada yang memanggil namanya. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sontak, ia terkejut saat melihat sepupunya, Fadhil, berdiri di sana dengan senyuman lembut di wajahnya."Kak Fadhil?" ucap Natasha, suaranya penuh kegembiraan. "Kapan Kak Fadhil pulang? Aku tidak tahu kalau Kak Fadhil sudah kembali dari Kairo."Fadhil tersenyum lembut seraya menjawab, "Kemarin." Ia menghamburkan pandangannya ke sekeliling, mencari teman Natasha yang mungkin ada di sana. Karena setahunya, Natasha jarang sekali menghabiskan waktunya di luar jika tidak ada kepentingan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Fadhil dengan wajah bingung."Aku.." Natasha menggantungkan ucapannya seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan sepupunya itu. Dia merasa sedikit canggung karena tidak bisa memberikan alasan yang jelas.Fadhil tersenyum lembut, ia tahu jika Natasha enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu masih saja sama seperti dulu," ucapnya dengan penuh peng
Pernyataan yang diucapkan oleh Edgar spontan membulatkan mata Natasha lebar. Ia benar-benar merasa geli dengan sikap yang ditunjukkan oleh Edgar. "Ada apa dengan ekspresinya?" gumam Natasha dalam hati. Adam dengan bangga memperkenalkan Fadhil, keponakannya, kepada Edgar. Ia mengatakan, "Dia Fadhil, sepupu Natasha, yang kuliah di Kairo." Kemudian Adam menatap ke arah pintu dan dengan ramah mengajak Natasha untuk mengajak Fadhil masuk.Natasha diam sejenak, merasakan kehangatan dalam sikap Adam yang telah kembali normal. Ia menjawab dengan senyuman, "Ayo masuk, Kak."Fadhil mengangguk lembut seraya tersenyum. Namun, sebelum ia melangkah masuk, ia mengucapkan salam dengan sopan, "Assalamu'alaikum."Semua orang di dalam ruangan menjawab bersamaan, "Wa'alaikumussalam."Asiyah, yang duduk di samping Adam, berdiri dan dengan ramah mempersilahkan Fadhil untuk duduk di tempatnya. "Silahkan duduk," ucapnya dengan hangat.Setelah Fadhil duduk, Adam dengan penuh kehangatan mengusap bahu keponaka
Setelah langkah mereka sudah sampai di ruang tamu, Asiyah dan Natasha terkejut melihat keberadaan beberapa orang yang sedang menata hidangan di sana. Adam, Asiyah dan Natasha saling pandang dengan kebingungan."Bagaimana, Om? Apa akadnya bisa kita mulai sekarang?" tanya Edgar kepada Adam.Sebelum menjawab pertanyaan Edgar, Adam menatap Natasha dengan wajah bingung, mencari persetujuannya. "Bagaimana, Nak?" tanyanya.Natasha memejamkan matanya sejenak, mencari keberanian dalam diri untuk menghadapi situasi yang mengejutkan ini. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup melewati semuanya. "Mari kita lakukan," jawabnya dengan mantap.Jawaban Natasha tersebut cukup mengagetkan Adam dan Asiyah. Begitupun dengan Fadhil yang masih berada di sana. "Paman, Bibi, aku pulang dulu, ya," pamit Fadhil tiba-tiba.Adam heran dengan kepergian Fadhil yang terburu-buru. "Kenapa cepat sekali?" tanya Adam."Aku lupa jika ada janji dengan temanku, Paman," jawab Fadhil, mencari alasan untuk
Natasha terkejut dan terdiam. Ia merasakan ketakutan yang melintas di dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Natasha akhirnya berkata, "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui." Dalam keputusasaannya, ia memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Namun, kata-kata Natasha tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Ia tetap dingin dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Setelah beberapa saat berlalu, mobil Edgar meluncur dengan tenang melalui gerbang besi yang megah, memasuki halaman mansion yang mempesona. Setelah Julian menghentikan mobilnya, Edgar memberikan perintah kepada sahabatnya sebelum keluar dari mobil tersebut. Dengan suara datar, ia berkata, "Tinggalkan kami berdua." Walaupun mansion milik Edgar terlihat megah dan besar, namun di dalamnya ia hanya mempekerjakan tiga orang saja. Dua asisten rumah tangga bekerja di pagi hingga sore hari, dan satu petugas keamanan yang berjaga di depan. Edgar tidak suka jika terlalu banyak orang di ke
Bi Murni mengarahkan pandangannya ke kamar tersebut, lalu berjalan ke arahnya. "Ini kamar khusus untuk pembantu, Non. Tapi, karena Bibi dan Bi Yeti tidak tinggal di sini, kamar ini sekarang kosong," jawabnya sambil membuka pintu kamar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar-kamar yang lain."Kalau begitu, aku pilih kamar ini saja, boleh, kan?" ucap Natasha dengan senyuman dari balik cadarnya.Seketika, Bi Murni terkejut. Ia mengerjapkan matanya cepat, dan menatap ke arah kamar berukuran kecil itu, mencari alasan kenapa Natasha lebih memilih kamar itu daripada kamar-kamar yang lainnya."Boleh, Non. Tapi, apa kamar ini tidak terlalu sempit?" tanya Bi Murni dengan ragu.Natasha menggeleng pelan, "Tidak, Bi, tenang saja," jawabnya dengan ramah."Baiklah. Kalau begitu, Bibi pergi dulu, ya, Non. Jika Non Natasha membutuhkan sesuatu, panggil saja Bibi atau Bi Yeti," pungkasnya sebelum melangkah pergi"Iya, Bi," jawab Natasha dengan sopan.Setelah Bi Murni pergi, Natasha masuk ke dala
Tanpa memberikan jawaban, Edgar menatap Bianca dengan datar. "Pulanglah, aku ingin istirahat," ucapnya dengan tegas. "Ah.. jadi benar, dia pembantu barumu, ya?" tanya Bianca kembali, mencoba untuk mencari tahu tentang identitas Natasha. Meskipun Edgar tidak memberikan respon, Bianca tetap bertahan dengan asumsinya.Bianca menatap Natasha dengan serius, mencoba membaca reaksi wanita itu dari sorot matanya, kemudian berkata pada Edgar yang berdiri di belakangnya. "Bukankah kamu tidak suka jika ada orang baru yang menginjakkan kaki di mansionmu?" tanya Bianca dengan rasa penasaran yang menggebu di dalam dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah ia ketahui tentang preferensi Edgar.Bianca tahu betul bagaimana Edgar, pasalnya, ia adalah teman masa kecil Edgar yang telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama dan saling memahami satu sama lain. Bianca tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh pria tersebut.Dengan percaya diri, Bianca
"A-Ada apa?" tanya Natasha terbata-bata, tanpa menatap wajah Edgar yang tengah menatapnya datar. Tanpa menjawab pertanyaan Natasha, Edgar melirik ke arah kirinya seraya berkata dengan tegas, "Letakkan semuanya di dalam," perintah Edgar pada tiga bodyguardnya yang membawa semua keperluan Natasha, termasuk dengan pakaiannya. Tiga bodyguard itu mengangguk patuh dan mulai memasukkan barang-barang ke dalam kamar. Mereka bergerak dengan sigap, menempatkan semua barang dengan rapi di tempat yang sesuai. Namun, saat mereka hendak masuk ke dalam kamar tersebut, salah satu dari mereka berhenti sejenak dan berkata pada Natasha, saat wanita bercadar itu menghalangi jalannya."Permisi, Nona," ucap bodyguard tersebut dengan sopan."S-Silahkan," jawab Natasha dengan cepat. Ia buru-buru menggeser tubuhnya, namun, Natasha tidak menyadari bahwa ujung gamisnya tersangkut di langkahnya sendiri.Bruk! Tubuhnya secara tidak sengaja menabrak dada Edgar. "Ssshh.." rintih Natasha, refleks menjauhkan kepala
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri