Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran.
Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara.
"Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar.
Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung.
"Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu.
Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Ting!
Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pun, Edgar keluar begitu saja meninggalkan Natasha di dalam sana.
"Tunggu!" ucap Natasha dengan suara terburu-buru. Ia segera keluar dari lift dan berusaha mengejar langkah Edgar.
"Edgar, bisakah kamu datang ke rumahku lagi?" tanya Natasha dengan suara terbata-bata di antara langkah-langkahnya. Namun, Edgar terus berjalan tanpa memberikan jawaban apa pun.
"Apa dia tidak mendengarku?" gumam Natasha dalam hati. Ia pun mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Edgar, Natasha kira bahwa pria di depannya tidak mendengar ucapannya.
"Bisakah kamu datang ke rumahku lagi?" tanya Natasha kembali, berharap mendapatkan jawaban dari Edgar.
Tiba-tiba, Edgar menghentikan langkahnya dan menatap Natasha dengan tatapan tanpa ekspresi. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, membuat Natasha semakin yakin bahwa pria di hadapannya tidak mendengar ucapannya.
"Kamu mendengarku, kan?" tanya Natasha dengan ragu, mencoba untuk memastikan apakah pendengaran Edgar berfungsi dengan baik.
"Aku tidak tuli," jawab Edgar dengan datar, tanpa sedikit pun mengubah ekspresi wajahnya.
Klik!
Suara pintu terdengar saat Edgar menempelkan key card pada sensor pintu.
Natasha terkejut ketika menyadari bahwa mereka berada di depan kamar Edgar. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu membawaku kemari?" tanya Natasha dengan kewaspadaan yang meningkat. Meskipun Edgar pernah mengatakan bahwa ia tidak tertarik dengan Natasha, sebagai seorang wanita, Natasha tetap perlu berhati-hati.
Edgar mengerutkan kedua alisnya hingga saling bertautan. "Bukankah ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanyanya.
Natasha merasa tidak nyaman, dan memutuskan untuk tidak membicarakan masalah tersebut di tempat itu. "Ya, tapi tidak di sini," jawab Natasha dengan tegas, tidak ingin mengulangi situasi sebelumnya di dalam kamar Edgar.
"Kalau begitu, lupakan saja. Aku sedang sibuk," jawab Edgar dengan nada acuh. Tanpa kata-kata lain, ia meraih gagang pintu dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Natasha di lorong hotel.
"Kumohon..." ucap Natasha dengan lirih, mencoba memanggil Edgar agar ia mau mendengarkan.
Saat Edgar hendak menutup pintu kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang tidak asing baginya berjalan di lorong hotel. Suara tersebut membuat Edgar menahan tangannya yang hendak menutup pintu.
"Jika sampai bulan depan adikmu belum menikah, Papa akan mempercayakan perusahaan itu padamu, Rio," ucap Abraham, ayah Edgar.
Sret!
Tanpa ragu, Edgar segera menarik tangan Natasha ke dalam kamarnya dengan gerakan cepat. Kemudian, ia menutup pintu kamarnya agar Abraham dan Rio tidak melihat keduanya di sana.
Tentu saja hal itu membuat Natasha terkejut, dan ia segera meraih gagang pintu seraya berkata dengan nada tegas, "Buka pintunya! Kamu tidak akan bisa menjebakku lagi!" teriaknya dengan kencang.
Natasha pikir Edgar akan menggunakan trik yang sama untuk menekannya, seperti yang Edgar lakukan sebelumnya, dengan menggunakan foto CCTV sebagai alat untuk mengancamnya.
Namun, alih-alih melakukannya, Edgar justru membekap mulut Natasha, agar teriakannya tidak terdengar hingga ke luar.
"Hmp! Hmp!" Natasha terus berusaha memberontak dan melepaskan tangan Edgar.
Setelah berhasil melepaskan diri, Natasha mengatur napasnya dan menatap tajam ke arah pria tersebut. "Apa kamu tidak mengerti ucapanku? Sudah ku katakan jangan pernah menyentuhku, kenapa kamu masih melakukannya!" serunya dengan nada kesal.
"Ada urusan apa Papa dan Rio kemari?" gumam Edgar tanpa memperhatikan apa yang dikatakan Natasha.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Edgar segera melangkah ke arah telepon yang terletak di atas nakas untuk menghubungi resepsionis.
"Selamat sore, dengan resepsionis ada yang bisa saya bantu?" ucap seorang wanita setelah menjawab panggilan dari Edgar.
"Ada urusan apa Papaku dan Rio datang ke hotel ini?" tanya Edgar tanpa mengulur waktu.
"Mereka ingin menemui salah satu klien yang menginap di hotel ini, Tuan," jawab resepsionis dengan sopan.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Edgar meletakkan teleponnya dengan kasar. Wajahnya tampak tegang dan tangannya terkepal kuat saat ia merasa diasingkan oleh ayahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak diberitahu tentang klien ini?" gumam Edgar dalam hati. "Kenapa hanya Rio? Bukankah aku juga putranya?" pertanyaan itu terus berputar di kepala Edgar.
Tak ingin membuang banyak waktu, ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi Julian.
Tut.. Tut.. Tut..
"Julian, siapkan cincin berlian untuk wanita. Aku tunggu di kediaman Natasha," perintah Edgar pada sahabatnya melalui sambungan suara.
Setelah memberikan instruksi tersebut, Edgar memutuskan panggilannya tanpa menunggu jawaban dari Julian.
Tanpa memberikan penjelasan pada Natasha, Edgar bergegas keluar dari kamarnya dengan menarik tangan wanita bercadar itu. Natasha mencoba untuk memberontak dan meminta agar Edgar melepaskan pegangannya, namun permintaannya tidak diindahkan oleh Edgar.
***
Asiyah terus melamun, mengurung dirinya di dalam kamar. Meskipun ia marah pada Natasha, namun Asiyah tak bisa menghilangkan kekhawatiran yang melanda dirinya. Ia menatap ke arah jendela, menunggu kedatangan putri semata wayangnya yang belum juga pulang sejak tadi.
"Ke mana anak itu pergi? Apa dia sudah makan?" gumam Asiyah dengan suara lirih, diiringi perasaan cemas yang semakin mendalam.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu yang berhasil mengalihkan perhatian Asiyah dari lamunannya.
Tok.. Tok.. Tok..
"Mau sampai kapan Ibu mengurung diri seperti ini? Ayo kita makan, Bu," bujuk Adam dari balik pintu.
Tok.. Tok.. Tok..
Adam kembali mengetuk pintu kamarnya saat Asiyah tak menjawab ucapannya.
"Bu–"
"Ibu tidak lapar, Pak," jawab Asiyah dengan cepat, hingga membuat ucapan Adam berhenti seketika.
Adam hanya bisa menghela napas pasrah saat Asiyah sudah mengatakan hal itu. Ia memutuskan memberikan ruang sedikit lebih lama untuk istrinya.
***
Edgar mengangguk mengerti ketika Natasha menceritakan semua kesalahpahaman yang terjadi pada kedua orang tuanya. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju rumah Adam, dan Natasha dengan hati-hati menjelaskan bagaimana kesalahpahaman itu terjadi.
Sambil mengemudikan mobilnya, Edgar berusaha memahami setiap kata yang diucapkan Natasha. "Aku akan mengurus semuanya," ucap Edgar.
Natasha, yang duduk di kursi belakang merasa lega saat Edgar mau mendengarkan permintaannya. Beban yang sedari tadi ada di pundaknya seakan mulai terangkat.
"Ada lagi?" tanya Edgar dengan suara datar.
"Tidak ada."
Setelah itu, suasana menjadi hening, kedua orang itu saling diam tanpa mengeluarkan kata-kata.
Namun, ketika mobil Edgar hampir mencapai kediaman Adam, Natasha tiba-tiba memutuskan untuk mengucapkan sesuatu. "Turunkan aku di sini. Aku tidak ingin Bapak dan Ibu melihat kita datang bersama."
Tanpa ragu, Edgar menginjak rem dengan tiba-tiba, menyebabkan ban mobil mengeluarkan suara derit yang menusuk telinga. Dahi Natasha terbentur dengan keras pada headrest mobil, menyebabkan rasa sakit yang tak terelakkan.
"Ahh!" serunya kesakitan, sambil meraba bagian dahi yang terbentur. Natasha merasa sakit dan terkejut dengan kejadian tersebut. Dengan hati-hati, dia menenteng sandal miliknya yang putus dan keluar dari mobil Edgar.
Edgar melirik Natasha sejenak sebelum dia menutup pintu mobilnya. "Kenapa sandal rusak itu belum kamu buang?" tanya Edgar dengan nada sinis.
Natasha mengangkat sandalnya dan menjawab dengan lembut, "Sandal ini masih bisa diperbaiki. Sayang sekali jika dibuang."
Edgar mengerutkan keningnya, menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya mengerti alasan Natasha. Bagi Edgar, yang berasal dari keluarga kaya, barang yang rusak biasanya langsung diganti dengan yang baru.
"Biasanya aku menggunakan paku pada bagian ini untuk memperbaiki sandal jepitku yang putus," jelas Natasha sambil menunjukkan titik tali yang akan dipasangkan dengan paku nantinya.
Namun, tampaknya Edgar tidak terlalu memperhatikan. Dia memalingkan wajahnya ke depan, tapi tiba-tiba ada yang menarik perhatiannya di bawah sana.
Edgar meraih benda tersebut, lalu mengangkatnya ke atas. "Siapa yang meletakkan sepatu boots kuning ini di mobilku?" gumam Edgar dengan suara yang penuh penekanan di setiap kalimatnya. "Ini pasti milik Julian," lanjutnya dengan rasa kesal. Pasalnya, hanya Edgar dan Julian yang menggunakan mobil tersebut.
Edgar membuka jendela mobilnya dan melemparkan sepatu boots kuning milik Julian keluar. "Kamu bisa gunakan itu jika kamu mau!" teriak Edgar pada Natasha dari dalam mobil.
Setelah mengatakan itu, Edgar menutup kembali jendela mobilnya dan melajukan mobilnya menjauh, meninggalkan Natasha di sana.
"Aku tidak butuh sepatu bootsmu!" teriak Natasha dalam hati sambil menatap kepergian mobil Edgar.
Sikap Edgar yang memberikan sepatu dengan cara melemparkannya jelas membuat Natasha kesal.
"Aku lebih baik berjalan hanya dengan kaos kaki daripada menerima sepatu boots itu!" gerutu Natasha dengan rasa kesal yang masih terasa.
Natasha melangkah pergi, meninggalkan sepatu boots yang dilempar oleh Edgar di tempatnya. Namun, setelah berjalan beberapa langkah, dia merasakan panas yang tidak tertahankan di kakinya saat aspal yang dia injak terasa terlalu panas akibat terik matahari.
"Tidak, tidak!" ucap Natasha pada dirinya sendiri saat dia mempertimbangkan untuk menggunakan sepatu boots yang diberikan oleh Edgar.
Namun, rasa panas yang semakin tak tertahankan di telapak kakinya yang hanya dilapisi oleh kaos kaki membuat Natasha buru-buru berbalik dan berlari menuju sepatu boots tersebut.
"Natasha?" Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah belakang. Suaranya terdengar lembut dan akrab di telinga Natasha.
Natasha merasa ada yang memanggil namanya. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sontak, ia terkejut saat melihat sepupunya, Fadhil, berdiri di sana dengan senyuman lembut di wajahnya."Kak Fadhil?" ucap Natasha, suaranya penuh kegembiraan. "Kapan Kak Fadhil pulang? Aku tidak tahu kalau Kak Fadhil sudah kembali dari Kairo."Fadhil tersenyum lembut seraya menjawab, "Kemarin." Ia menghamburkan pandangannya ke sekeliling, mencari teman Natasha yang mungkin ada di sana. Karena setahunya, Natasha jarang sekali menghabiskan waktunya di luar jika tidak ada kepentingan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Fadhil dengan wajah bingung."Aku.." Natasha menggantungkan ucapannya seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan sepupunya itu. Dia merasa sedikit canggung karena tidak bisa memberikan alasan yang jelas.Fadhil tersenyum lembut, ia tahu jika Natasha enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu masih saja sama seperti dulu," ucapnya dengan penuh peng
Pernyataan yang diucapkan oleh Edgar spontan membulatkan mata Natasha lebar. Ia benar-benar merasa geli dengan sikap yang ditunjukkan oleh Edgar. "Ada apa dengan ekspresinya?" gumam Natasha dalam hati. Adam dengan bangga memperkenalkan Fadhil, keponakannya, kepada Edgar. Ia mengatakan, "Dia Fadhil, sepupu Natasha, yang kuliah di Kairo." Kemudian Adam menatap ke arah pintu dan dengan ramah mengajak Natasha untuk mengajak Fadhil masuk.Natasha diam sejenak, merasakan kehangatan dalam sikap Adam yang telah kembali normal. Ia menjawab dengan senyuman, "Ayo masuk, Kak."Fadhil mengangguk lembut seraya tersenyum. Namun, sebelum ia melangkah masuk, ia mengucapkan salam dengan sopan, "Assalamu'alaikum."Semua orang di dalam ruangan menjawab bersamaan, "Wa'alaikumussalam."Asiyah, yang duduk di samping Adam, berdiri dan dengan ramah mempersilahkan Fadhil untuk duduk di tempatnya. "Silahkan duduk," ucapnya dengan hangat.Setelah Fadhil duduk, Adam dengan penuh kehangatan mengusap bahu keponaka
Setelah langkah mereka sudah sampai di ruang tamu, Asiyah dan Natasha terkejut melihat keberadaan beberapa orang yang sedang menata hidangan di sana. Adam, Asiyah dan Natasha saling pandang dengan kebingungan."Bagaimana, Om? Apa akadnya bisa kita mulai sekarang?" tanya Edgar kepada Adam.Sebelum menjawab pertanyaan Edgar, Adam menatap Natasha dengan wajah bingung, mencari persetujuannya. "Bagaimana, Nak?" tanyanya.Natasha memejamkan matanya sejenak, mencari keberanian dalam diri untuk menghadapi situasi yang mengejutkan ini. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup melewati semuanya. "Mari kita lakukan," jawabnya dengan mantap.Jawaban Natasha tersebut cukup mengagetkan Adam dan Asiyah. Begitupun dengan Fadhil yang masih berada di sana. "Paman, Bibi, aku pulang dulu, ya," pamit Fadhil tiba-tiba.Adam heran dengan kepergian Fadhil yang terburu-buru. "Kenapa cepat sekali?" tanya Adam."Aku lupa jika ada janji dengan temanku, Paman," jawab Fadhil, mencari alasan untuk
Natasha terkejut dan terdiam. Ia merasakan ketakutan yang melintas di dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Natasha akhirnya berkata, "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui." Dalam keputusasaannya, ia memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Namun, kata-kata Natasha tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Ia tetap dingin dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Setelah beberapa saat berlalu, mobil Edgar meluncur dengan tenang melalui gerbang besi yang megah, memasuki halaman mansion yang mempesona. Setelah Julian menghentikan mobilnya, Edgar memberikan perintah kepada sahabatnya sebelum keluar dari mobil tersebut. Dengan suara datar, ia berkata, "Tinggalkan kami berdua." Walaupun mansion milik Edgar terlihat megah dan besar, namun di dalamnya ia hanya mempekerjakan tiga orang saja. Dua asisten rumah tangga bekerja di pagi hingga sore hari, dan satu petugas keamanan yang berjaga di depan. Edgar tidak suka jika terlalu banyak orang di ke
Bi Murni mengarahkan pandangannya ke kamar tersebut, lalu berjalan ke arahnya. "Ini kamar khusus untuk pembantu, Non. Tapi, karena Bibi dan Bi Yeti tidak tinggal di sini, kamar ini sekarang kosong," jawabnya sambil membuka pintu kamar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar-kamar yang lain."Kalau begitu, aku pilih kamar ini saja, boleh, kan?" ucap Natasha dengan senyuman dari balik cadarnya.Seketika, Bi Murni terkejut. Ia mengerjapkan matanya cepat, dan menatap ke arah kamar berukuran kecil itu, mencari alasan kenapa Natasha lebih memilih kamar itu daripada kamar-kamar yang lainnya."Boleh, Non. Tapi, apa kamar ini tidak terlalu sempit?" tanya Bi Murni dengan ragu.Natasha menggeleng pelan, "Tidak, Bi, tenang saja," jawabnya dengan ramah."Baiklah. Kalau begitu, Bibi pergi dulu, ya, Non. Jika Non Natasha membutuhkan sesuatu, panggil saja Bibi atau Bi Yeti," pungkasnya sebelum melangkah pergi"Iya, Bi," jawab Natasha dengan sopan.Setelah Bi Murni pergi, Natasha masuk ke dala
Tanpa memberikan jawaban, Edgar menatap Bianca dengan datar. "Pulanglah, aku ingin istirahat," ucapnya dengan tegas. "Ah.. jadi benar, dia pembantu barumu, ya?" tanya Bianca kembali, mencoba untuk mencari tahu tentang identitas Natasha. Meskipun Edgar tidak memberikan respon, Bianca tetap bertahan dengan asumsinya.Bianca menatap Natasha dengan serius, mencoba membaca reaksi wanita itu dari sorot matanya, kemudian berkata pada Edgar yang berdiri di belakangnya. "Bukankah kamu tidak suka jika ada orang baru yang menginjakkan kaki di mansionmu?" tanya Bianca dengan rasa penasaran yang menggebu di dalam dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah ia ketahui tentang preferensi Edgar.Bianca tahu betul bagaimana Edgar, pasalnya, ia adalah teman masa kecil Edgar yang telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama dan saling memahami satu sama lain. Bianca tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh pria tersebut.Dengan percaya diri, Bianca
"A-Ada apa?" tanya Natasha terbata-bata, tanpa menatap wajah Edgar yang tengah menatapnya datar. Tanpa menjawab pertanyaan Natasha, Edgar melirik ke arah kirinya seraya berkata dengan tegas, "Letakkan semuanya di dalam," perintah Edgar pada tiga bodyguardnya yang membawa semua keperluan Natasha, termasuk dengan pakaiannya. Tiga bodyguard itu mengangguk patuh dan mulai memasukkan barang-barang ke dalam kamar. Mereka bergerak dengan sigap, menempatkan semua barang dengan rapi di tempat yang sesuai. Namun, saat mereka hendak masuk ke dalam kamar tersebut, salah satu dari mereka berhenti sejenak dan berkata pada Natasha, saat wanita bercadar itu menghalangi jalannya."Permisi, Nona," ucap bodyguard tersebut dengan sopan."S-Silahkan," jawab Natasha dengan cepat. Ia buru-buru menggeser tubuhnya, namun, Natasha tidak menyadari bahwa ujung gamisnya tersangkut di langkahnya sendiri.Bruk! Tubuhnya secara tidak sengaja menabrak dada Edgar. "Ssshh.." rintih Natasha, refleks menjauhkan kepala
"Cantik?" gumam Edgar dalam hati, sibuk menerka-nerka bagaimana wajah Natasha.Tak dapat dipungkiri, walaupun wajah Natasha masih tertutup oleh cadar, namun matanya memancarkan keindahan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Edgar menggelengkan kepala dengan tegas, saat menyadari bahwa ia tengah memikirkan Natasha. Ia kembali melanjutkan makanannya yang sempat terhenti."Aduh.. aku jadi penasaran, Mur," ucap Bi Yeti pada Bi Murni yang masih asyik dengan obrolannya.Bi Murni semakin mendekatkan dirinya pada Bi Yeti, lalu berkata, "Tuan Edgar akan menyesal jika menyia-nyiakan bibit unggul seperti Non Natasha. Bagaimana ya jika mereka memiliki anak kelak? Pasti anak mereka akan sangat cantik seperti ibunya."Sontak, Edgar tersedak makanannya sendiri saat mendengar ucapan Bi Murni. "Uhuk. Uhuk. Uhuk." Edgar buru-buru meletakan peralatan makan di tangannya dan meraih segelas air putih.Bi Murni dan Bi Yeti yang mendengar itu buru-buru berlari ke arah Edgar. "Apa ada yang salah d
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri