Adam terus menatap Edgar dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa hubungan antara Edgar dan Natasha. Sejauh yang Adam ketahui, putrinya tidak pernah memiliki teman pria, apalagi sampai membawanya ke rumah mereka.
"Silahkan masuk," ajak Adam dengan ramah, disambut protes dari Natasha.
"Pak..." Natasha menggelengkan kepalanya dengan pelan, berusaha memberi isyarat kepada Adam agar tidak mengajak Edgar masuk ke dalam rumah mereka.
Adam merasa bingung dengan reaksi Natasha. "Bukankah dia temanmu?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba mencari kejelasan.
Natasha menggelengkan kepala dengan lebih tegas kali ini, memberitahu ayahnya bahwa Edgar bukanlah temannya.
Sementara itu, Edgar yang mendengar percakapan tersebut, berusaha menarik perhatian mereka dengan mengeluarkan deheman singkat. "Ekhem."
Edgar menatap Adam dengan serius, "Om, aku mencintai Natasha dan ingin menikahinya," ucapnya tanpa basa-basi. Tentu saja itu hanya sebagian kebohongan dari rencana Edgar.
Sontak, Natasha dan Adam terkejut dengan pernyataan tiba-tiba tersebut. Gadis bercadar itu merasa panik dan berusaha membawa ayahnya masuk ke dalam rumah dengan cepat. Namun, Adam menahan tubuhnya dari tarikan Natasha dan tetap fokus pada Edgar.
"Lebih baik kita bicarakan ini di dalam," kata Adam dengan tenang, diikuti anggukkan setuju dari Edgar.
"Pak.." ucap Natasha dengan suara lirih. Dia merasa cemas karena jika Adam menerima lamaran Edgar, ia tidak akan memiliki alasan kuat untuk menolak pinangan pria tersebut.
Adam membalas dengan senyuman yang penuh pengertian. "Pergilah ke dapur, siapkan minuman untuk mereka," titah Adam dengan lembut.
Dengan anggukan lembut, Natasha menjawab, "Baik, pak." Dia melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Adam, Edgar, dan Julian setelahnya. Di dalam hati, Natasha merasakan kecemasan yang terus bertambah mengenai masa depannya.
Edgar melangkah masuk ke dalam rumah sederhana milik Adam dengan mata yang sibuk mengamati setiap sudut rumah tersebut, dari lantai semen yang tampak kasar, hingga cat dinding yang kusam dan sebagiannya terkelupas. Terlihat perbandingannya sangat jelas dengan rumah mewah miliknya.
"Silahkan duduk, Nak Edgar," ucap Adam dengan ramah sambil menunjuk kursi kayu yang terlihat cukup tua di ruang tamu.
Dengan perasaan ragu, Edgar duduk perlahan di atas kursi kayu itu, berharap kursi tersebut cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Namun, begitu ia baru saja duduk, kursi tersebut mengeluarkan suara yang cukup keras.
Krak!
Sontak, Edgar tersentak kaget dan langsung berdiri kembali, memeriksa apakah kursi itu akan roboh.
"Maaf ya keadaannya seperti ini," ucap Adam merasa tidak enak.
Edgar tersenyum seraya mengangguk mengerti.
Tak berselang lama, Natasha keluar dari arah dapur dengan nampan yang berisi tiga gelas kopi. Dengan hati-hati, Natasha meletakkan nampan di atas meja dan meletakkan gelas-gelas kopi di depan mereka.
"Silahkan diminum, Nak," kata Adam dengan ramah kepada Edgar dan Julian.
Namun, Edgar hanya melirik gelas kopi tanpa menyentuhnya sedikit pun. Sementara itu, Julian dengan antusias meraih salah satu gelas dan langsung menyeruputnya, meskipun asap putih masih mengepul dari kopi panas yang baru saja disajikan oleh Natasha.
"Hati-hati, kopinya masih panas," ujar Natasha dengan cepat.
Julian menggigit bibirnya karena kepanasan dan dengan cepat meletakkan kembali gelas kopi di atas meja.
Tiba-tiba, Edgar mengajukan pertanyaan kepada Adam. "Bagaimana dengan ucapanku sebelumnya, Om?" tanyanya, tidak ingin membuang banyak waktu.
Adam berpikir sejenak, mempertimbangkan ucapan Edgar. "Kalau boleh tahu, apa yang Nak Edgar sukai dari Natasha?" tanya Adam dengan harapan bisa mendapatkan perspektif yang lebih baik.
Edgar tidak berpikir terlalu lama dan dengan mantap menjawab, "Semuanya." Namun, sebenarnya jawaban itu hanyalah bagian dari sandiwara Edgar untuk meyakinkan Adam.
Adam menoleh ke arah Natasha dengan penuh perhatian. "Bagaimana menurutmu, Nat?" tanyanya dengan lembut.
Natasha melirik sejenak ke arah Edgar, namun pandangannya terhenti saat melihat pria itu menggoyangkan map cokelat yang berisi foto sebagai ancaman, hingga membuat wajah Natasha terlihat panik dan cemas.
"Nat?" panggil Adam sekali lagi.
Natasha mengangguk dengan ragu, lalu menjawab, "A-Aku bersedia menikah dengannya, pak."
Adam merasa sedikit terkejut mendengar putrinya menerima lamaran dari Edgar tanpa mempertimbangkan lebih dulu. Hal ini menimbulkan kecurigaan dalam pikiran Adam terhadap Natasha dan Edgar.
***
Adam terus diam di kursi sejak Edgar dan Julian pergi dari rumahnya. Sejak percakapannya dengan Edgar, Adam terlihat berbeda dan tidak seperti biasanya. Perubahan itu tidak luput dari perhatian Natasha.
"Pak..." ucap Natasha dengan suara lirih saat duduk di sebelah Adam.
Namun, Adam tetap diam dan tidak memberikan respons atas ucapannya. Melihat itu, Natasha memutuskan untuk memberikan Adam ruang untuk dirinya sendiri. Dengan hati-hati, ia mengambil tiga gelas kotor yang ada di meja sebelum pergi dari hadapan ayahnya itu.
"Natasha..." panggil Adam dengan suara pelan, pandangannya terpaku pada meja di depannya.
"Iya, Pak?" jawab Natasha seraya menghentikan gerakan tangannya secara tiba-tiba.
"Bapak masih tidak percaya kamu sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan anggun. Rasanya baru kemarin kamu lahir di dunia, Nak," puji Adam sambil tersenyum, namun matanya masih tetap terfokus pada meja.
Tepat setelah mengatakan itu, Adam menatap Natasha dengan ekspresi serius, matanya penuh dengan berbagai pertanyan.
"Sebenarnya, ada hubungan apa di antara kamu dan Edgar, Natasha?" tanya Adam tiba-tiba.
Natasha langsung menggeleng cepat, tampak terkejut oleh pertanyaan tersebut. "Aku sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan dia, Pak. Sungguh!" jawab Natasha dengan tegas, mencoba meyakinkan Adam.
Namun, pertanyaan Adam tidak berhenti di situ. Dia terus menyelidiki lebih jauh, mencoba mengungkap misteri di balik kedatangan mendadak Edgar. "Kenapa dia tiba-tiba datang dan ingin menikahimu? Apa jangan-jangan dia telah menghamilimu?" tebak Adam dengan penuh kekhawatiran.
Bruk!
Belum sempat Natasha menjawab, tiba-tiba terdengar suara yang begitu keras. Adam dan Natasha segera menoleh ke arah pintu, di mana mereka melihat Asiyah, ibu Natasha, berdiri dengan sekantong pakaian kotor yang jatuh ke lantai.
Natasha segera mendekati Asiyah dan membantu mengambil sekantong pakaian yang jatuh ke lantai. Namun, saat ia baru saja menegakkan tubuhnya, tiba-tiba Asiyah menampar wajahnya dengan keras.
Plak!
Natasha terkejut dan memegang pipinya yang kemerahan. Dia tidak mengerti mengapa ibunya tiba-tiba menamparnya dengan begitu keras.
"Ibu..." gumam Natasha, suaranya penuh dengan kebingungan dan kehancuran. Ia tidak mengerti mengapa ibunya menamparnya dengan begitu kasar.
"Siapa yang menghamilimu?!" bentak Asiyah dengan wajah merah dan mata yang berkaca-kaca.
Natasha meletakkan kembali sekantong pakaian di tangannya, lalu menatap Asiyah dan Adam secara bergantian. Wajahnya penuh dengan kebingungan dan kehancuran. Dengan suara yang bergetar, dia bertanya, "Apa menurut Ibu dan Bapak, aku akan melakukan hal seburuk itu?"
Dalam keheningan yang terasa berat, Asiyah merasakan dunianya hancur. Kabar bahwa Natasha hamil begitu mengejutkan baginya. Asiyah tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya saat ia mendekati Adam dengan tatapan penuh kesedihan. Dengan suara yang gemetar, Asiyah bertanya kepada suaminya itu, "Siapa yang telah menghamili anak kita, Pak?" Suaranya terdengar rapuh, mencerminkan kehancuran yang dirasakannya. Adam menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di pundaknya. Ia menatap Natasha dengan ekspresi kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Adam tahu bahwa ia harus menjelaskan keadaan ini pada Asiyah, tetapi ia juga sadar akan riwayat hipertensi yang dimiliki istrinya. Adam tidak ingin membebani Asiyah dengan stres yang bisa berdampak buruk pada kesehatannya. Dalam keadaan yang semakin tegang, Asiyah mengulangi pertanyaannya dengan meninggikan sedikit intonasi bicaranya, "Jawab pertanyaan Ibu, Pak! Siapa yang telah menghamili Natasha?!" Air mata semakin
Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran. Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara. "Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar. Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung. "Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu. Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ting! Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pu
Natasha merasa ada yang memanggil namanya. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sontak, ia terkejut saat melihat sepupunya, Fadhil, berdiri di sana dengan senyuman lembut di wajahnya."Kak Fadhil?" ucap Natasha, suaranya penuh kegembiraan. "Kapan Kak Fadhil pulang? Aku tidak tahu kalau Kak Fadhil sudah kembali dari Kairo."Fadhil tersenyum lembut seraya menjawab, "Kemarin." Ia menghamburkan pandangannya ke sekeliling, mencari teman Natasha yang mungkin ada di sana. Karena setahunya, Natasha jarang sekali menghabiskan waktunya di luar jika tidak ada kepentingan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Fadhil dengan wajah bingung."Aku.." Natasha menggantungkan ucapannya seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan sepupunya itu. Dia merasa sedikit canggung karena tidak bisa memberikan alasan yang jelas.Fadhil tersenyum lembut, ia tahu jika Natasha enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu masih saja sama seperti dulu," ucapnya dengan penuh peng
Pernyataan yang diucapkan oleh Edgar spontan membulatkan mata Natasha lebar. Ia benar-benar merasa geli dengan sikap yang ditunjukkan oleh Edgar. "Ada apa dengan ekspresinya?" gumam Natasha dalam hati. Adam dengan bangga memperkenalkan Fadhil, keponakannya, kepada Edgar. Ia mengatakan, "Dia Fadhil, sepupu Natasha, yang kuliah di Kairo." Kemudian Adam menatap ke arah pintu dan dengan ramah mengajak Natasha untuk mengajak Fadhil masuk.Natasha diam sejenak, merasakan kehangatan dalam sikap Adam yang telah kembali normal. Ia menjawab dengan senyuman, "Ayo masuk, Kak."Fadhil mengangguk lembut seraya tersenyum. Namun, sebelum ia melangkah masuk, ia mengucapkan salam dengan sopan, "Assalamu'alaikum."Semua orang di dalam ruangan menjawab bersamaan, "Wa'alaikumussalam."Asiyah, yang duduk di samping Adam, berdiri dan dengan ramah mempersilahkan Fadhil untuk duduk di tempatnya. "Silahkan duduk," ucapnya dengan hangat.Setelah Fadhil duduk, Adam dengan penuh kehangatan mengusap bahu keponaka
Setelah langkah mereka sudah sampai di ruang tamu, Asiyah dan Natasha terkejut melihat keberadaan beberapa orang yang sedang menata hidangan di sana. Adam, Asiyah dan Natasha saling pandang dengan kebingungan."Bagaimana, Om? Apa akadnya bisa kita mulai sekarang?" tanya Edgar kepada Adam.Sebelum menjawab pertanyaan Edgar, Adam menatap Natasha dengan wajah bingung, mencari persetujuannya. "Bagaimana, Nak?" tanyanya.Natasha memejamkan matanya sejenak, mencari keberanian dalam diri untuk menghadapi situasi yang mengejutkan ini. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup melewati semuanya. "Mari kita lakukan," jawabnya dengan mantap.Jawaban Natasha tersebut cukup mengagetkan Adam dan Asiyah. Begitupun dengan Fadhil yang masih berada di sana. "Paman, Bibi, aku pulang dulu, ya," pamit Fadhil tiba-tiba.Adam heran dengan kepergian Fadhil yang terburu-buru. "Kenapa cepat sekali?" tanya Adam."Aku lupa jika ada janji dengan temanku, Paman," jawab Fadhil, mencari alasan untuk
Natasha terkejut dan terdiam. Ia merasakan ketakutan yang melintas di dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Natasha akhirnya berkata, "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui." Dalam keputusasaannya, ia memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Namun, kata-kata Natasha tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Ia tetap dingin dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Setelah beberapa saat berlalu, mobil Edgar meluncur dengan tenang melalui gerbang besi yang megah, memasuki halaman mansion yang mempesona. Setelah Julian menghentikan mobilnya, Edgar memberikan perintah kepada sahabatnya sebelum keluar dari mobil tersebut. Dengan suara datar, ia berkata, "Tinggalkan kami berdua." Walaupun mansion milik Edgar terlihat megah dan besar, namun di dalamnya ia hanya mempekerjakan tiga orang saja. Dua asisten rumah tangga bekerja di pagi hingga sore hari, dan satu petugas keamanan yang berjaga di depan. Edgar tidak suka jika terlalu banyak orang di ke
Bi Murni mengarahkan pandangannya ke kamar tersebut, lalu berjalan ke arahnya. "Ini kamar khusus untuk pembantu, Non. Tapi, karena Bibi dan Bi Yeti tidak tinggal di sini, kamar ini sekarang kosong," jawabnya sambil membuka pintu kamar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar-kamar yang lain."Kalau begitu, aku pilih kamar ini saja, boleh, kan?" ucap Natasha dengan senyuman dari balik cadarnya.Seketika, Bi Murni terkejut. Ia mengerjapkan matanya cepat, dan menatap ke arah kamar berukuran kecil itu, mencari alasan kenapa Natasha lebih memilih kamar itu daripada kamar-kamar yang lainnya."Boleh, Non. Tapi, apa kamar ini tidak terlalu sempit?" tanya Bi Murni dengan ragu.Natasha menggeleng pelan, "Tidak, Bi, tenang saja," jawabnya dengan ramah."Baiklah. Kalau begitu, Bibi pergi dulu, ya, Non. Jika Non Natasha membutuhkan sesuatu, panggil saja Bibi atau Bi Yeti," pungkasnya sebelum melangkah pergi"Iya, Bi," jawab Natasha dengan sopan.Setelah Bi Murni pergi, Natasha masuk ke dala
Tanpa memberikan jawaban, Edgar menatap Bianca dengan datar. "Pulanglah, aku ingin istirahat," ucapnya dengan tegas. "Ah.. jadi benar, dia pembantu barumu, ya?" tanya Bianca kembali, mencoba untuk mencari tahu tentang identitas Natasha. Meskipun Edgar tidak memberikan respon, Bianca tetap bertahan dengan asumsinya.Bianca menatap Natasha dengan serius, mencoba membaca reaksi wanita itu dari sorot matanya, kemudian berkata pada Edgar yang berdiri di belakangnya. "Bukankah kamu tidak suka jika ada orang baru yang menginjakkan kaki di mansionmu?" tanya Bianca dengan rasa penasaran yang menggebu di dalam dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah ia ketahui tentang preferensi Edgar.Bianca tahu betul bagaimana Edgar, pasalnya, ia adalah teman masa kecil Edgar yang telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama dan saling memahami satu sama lain. Bianca tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh pria tersebut.Dengan percaya diri, Bianca
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri