Natasha merasa cemas dan gelisah saat berada dalam mobil milik Edgar. Ia berusaha keras membuka pintu, ingin segera keluar agar tidak ada mahasiswa lain yang melihatnya berada dalam satu mobil bersama pria asing. Namun, Edgar tidak memperdulikannya.
"Julian, jalankan mobilnya," titah Edgar pada sahabatnya yang duduk di kursi kemudi.
Dengan panik, Natasha berteriak, "Buka pintunya! Biarkan aku keluar!" Namun, Edgar tetap tidak menghiraukannya.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucap Edgar tanpa menatap ke arah wanita bercadar yang duduk di sebelahnya.
Namun, Natasha menolak dengan tajam. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!" ucapnya. Tangan Natasha masih terus berusaha membuka pintu mobil yang tengah ia naiki, meskipun ia tahu bahwa pintu itu terkunci.
Ceklek!
Ceklek!
Tiba-tiba, Edgar bergerak dan mendekati Natasha. Ia meletakkan salah satu tangannya pada kaca mobil di sisi wanita bercadar itu.
Brak!
"Hentikan!" ucap Edgar dengan suara baritone-nya yang dalam.
Natasha segera menghentikan gerakan tangannya saat jarak di antara mereka menjadi begitu dekat. Ia merasa terkejut oleh reaksi tegas Edgar.
"Me-Menjauhlah dariku," kata Natasha dengan suara gemetar, sambil memalingkan wajahnya dari tatapan Edgar.
Tanpa mengatakan apa pun, Edgar kembali duduk di posisi semula dan menatap ke arah depan dengan tatapan datar. Begitupun dengan Natasha, yang saat ini mulai diam dan tidak lagi berusaha membuka pintu mobil seperti sebelumnya. Suasana menjadi hening, dan keduanya saling diam.
Setelah beberapa saat berlalu, Natasha akhirnya memutuskan untuk membuka suara, "Dari mana kamu tahu kampusku?" tanya Natasha tiba-tiba, dengan pandangan yang menatap ke arah luar jendela.
Edgar menjawab dengan singkat, "Lihatlah ke belakang."
Mendengar itu, Natasha langsung menoleh ke belakang. Di sana, terlihat sebuah mobil berwarna hitam yang terus mengikuti mereka. Tatapan heran dan kebingungan muncul di wajah Natasha, karena ia tidak mengerti apa hubungan mobil tersebut dengan Edgar yang tahu tentang kampusnya.
"Kenapa mobil hitam itu mengikuti kita?" tanya Natasha tidak mengerti.
Namun, begitu Natasha menyadari sesuatu, ia langsung bertanya dengan suara yang sedikit tercekat, "Jangan bilang kalau kamu membayar seseorang untuk mengikutiku?"
"Hmm." Edgar mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
"Sejak kapan mereka mengikutiku?" Tambah Natasha.
"Sejak kamu menandatangani surat perjanjian itu," jawab Edgar dengan datar.
Tiba-tiba Natasha diam sejenak, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk negosiasi mengenai surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Edgar.
"Mari kita batalkan semuanya," kata Natasha dengan serius.
Sontak, netra berwarna hazel milik Edgar menatap tegas ke arah Natasha yang tengah berbicara.
Natasha merasa jantungnya berdetak kencang saat dia melihat ekspresi serius di wajah Edgar. Dia bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara di sekitar mereka. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia telah belajar bagaimana menghadapi tantangan dalam hidupnya, dan saat ini, dia siap untuk melawan.
"Tidak bisa," jawab Edgar tanpa menggeser pandangannya sedikit pun.
"Jika kamu takut aku membocorkan rahasiamu, yang jelas-jelas aku tidak tahu. Aku siap menerima hukuman, meskipun harus mendekam di penjara," ujar Natasha dengan berani.
"Dengan ini rahasiamu akan aman, dan kamu tidak perlu repot-repot untuk menikahiku, kan?" lanjut Natasha, berharap Edgar akan memberikan jawaban yang dia harapkan.
Namun, Edgar masih tetap bungkam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bagaimana?" tanya Natasha lagi, saat Edgar belum juga membuka suara. Ia pikir Edgar tengah mempertimbangkan negosiasinya, rupanya ia salah besar.
Edgar melirik ke arah Julian, yang tengah mengemudikan mobil sambil berkata, "Berikan map cokelat itu padaku."
Tanpa ragu, Julian mengulurkan tangannya dan dengan lembut meraih map cokelat yang tergeletak di kursi sebelahnya. Ia memberikannya pada Edgar tanpa bertanya.
Setelah menerima map tersebut, Edgar langsung memberikannya pada Natasha, dengan ekspresi serius di wajahnya.
"Ini apa?" tanya Natasha dengan bingung, sambil memandang map cokelat yang baru saja diterimanya.
Edgar menjawab dengan singkat, "Buka saja."
Dengan perlahan, Natasha mulai membuka map cokelat tersebut. Namun, saat ia melihat foto dirinya bersama Edgar sedang berada di sebuah kamar hotel, sontak ia membelalakkan matanya sempurna.
"Apa maksudnya kamu memberikan foto ini padaku?" tanya Natasha dengan heran, tak habis pikir dengan tindakan Edgar.
Edgar tersenyum dingin, menatap Natasha dengan tatapan tajam. "Itu hadiah kecil dariku untuk orang tuamu," jawabnya dengan suara yang tenang.
Tatapan tajam Natasha bertambah kuat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu bercanda?!"
Dengan gerakan cepat dan putus asa, Natasha merobek semua lembar foto yang ada di dalam map cokelat tersebut. Foto-foto itu berhamburan di sekitarnya, mencerminkan keputusasaan dan kemarahan yang dirasakannya.
"Sekarang sudah tidak ada alasan bagiku untuk mengikuti semua permainanmu," ucap Natasha dengan napas yang memburu.
Dengan gerakan santai, Edgar meraih map cokelat lainnya yang ada di sisinya. Dengan penuh percaya diri, ia membuka map tersebut dan menunjukkan beberapa lembar foto yang sama dengan foto yang baru saja Natasha robek.
Melihat foto-foto tersebut, Natasha merasa terkejut dan marah. Ia tidak percaya bahwa ada lebih banyak foto yang dimiliki Edgar.
"Kamu pikir foto itu hanya satu-satunya yang kupunya?" tanya Edgar dengan nada merendahkan, sambil melirik robekan foto di tangan Natasha dengan senyuman menyeringai.
Natasha merasa terjepit dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin orang tuanya mengetahui tentang foto-foto tersebut, namun ia juga tidak ingin terus dipermainkan oleh Edgar.
"Jika tidak ingin orang tuamu mengetahui foto ini, berhentilah membuatku kesal," sambung Edgar dengan suara yang mengancam.
Natasha meremas robekan foto di tangannya dengan kuat, ekspresi wajahnya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Dasar licik!" serunya dengan suara yang penuh emosi, sambil membuang wajahnya ke arah luar jendela.
Edgar tetap tersenyum menyeringai, ia merasa puas karena berhasil membuat Natasha kalah telak darinya. "Sekarang keputusan ada di tanganmu, Natasha," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kesombongan.
Natasha menghela napas panjang, ia benar-benar merasa lelah dengan semua permainan yang dilakukan oleh Edgar. Ia menatap Edgar dengan tatapan serius sebelum akhirnya berbicara.
"Apa di matamu pernikahan hanya sebuah permainan?" Tanya Natasha dengan suara lemah.
Edgar menatap Natasha dengan tajam sebelum menjawab dengan suara dingin, "Aku tidak membutuhkan pendapatmu. Tugasmu hanya menjadi pengantin kontrakku."
Natasha merasa hatinya berdesir ketika mendengar ucapan tajam yang keluar dari mulut Edgar. Dia merasa kecewa karena pria yang akan menjadi suaminya nanti tampaknya tidak menghargai sebuah pernikahan.
Saat mobil Edgar tiba-tiba berhenti, Natasha segera menoleh ke arah luar jendela, terkejut melihat bahwa mereka berhenti di depan rumahnya.
"Sejauh mana orang suruhanmu mengikutiku, sampai-sampai kamu tahu alamat rumahku?" tanya Natasha dengan tegang, mencurigai bahwa Edgar telah melakukan penyelidikan terhadapnya lebih dalam.
"Ini belum seberapa," jawab Edgar, kemudian keluar dari mobilnya.
"Hei, apa maksudmu?" tanya Natasha, bingung dengan pernyataan Edgar. Ia pun buru-buru ikut keluar dari mobil Rolls Royce Phantom itu.
Natasha mempercepat langkahnya mendekati Edgar dengan tergesa-gesa saat melihat pria itu hendak melangkah ke rumahnya.
"Bukankah kamu bilang hanya ingin mengantarku pulang? Kenapa masih di sini?" ucap Natasha, berharap agar Edgar cepat pergi dari sana sebelum orang tuanya melihatnya datang bersama seorang pria.
"Kapan aku mengatakannya?" tanya Edgar berpura-pura lupa.
Namun, saat Natasha hendak berbicara kembali, tiba-tiba Adam, ayah Natasha yang baru saja keluar dari rumahnya berkata, "Natasha. Siapa mereka?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Sontak, Natasha segera menatap ke arah Adam. Hatinya berdegup kencang saat menyadari bahwa dia harus menjawab pertanyaan ayahnya dengan jujur. Dia meremas jari-jari tangannya sendiri, mencoba menenangkan diri.
Dengan hati yang berdebar, Natasha mendekati Adam dengan langkah mantap, berniat membawanya masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaannya.
"Ayo masuk, Pak," ajak Natasha dengan lembut.
Namun, sebelum Natasha dan Adam melangkah masuk, Edgar mendekati keduanya dengan tersenyum ramah, mencoba mencairkan suasana.
"Selamat siang, Om. Kenalkan, saya Edgar Pradipta," sapa Edgar dengan sopan, memperkenalkan dirinya dengan ramah. Wajahnya terlihat berbeda saat berada di depan Natasha.
Adam mengangguk bingung, memandang Edgar dengan tatapan heran. Ia kemudian menoleh ke arah Natasha, mencari jawaban tentang siapa pria di hadapannya itu.
Adam terus menatap Edgar dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa hubungan antara Edgar dan Natasha. Sejauh yang Adam ketahui, putrinya tidak pernah memiliki teman pria, apalagi sampai membawanya ke rumah mereka. "Silahkan masuk," ajak Adam dengan ramah, disambut protes dari Natasha. "Pak..." Natasha menggelengkan kepalanya dengan pelan, berusaha memberi isyarat kepada Adam agar tidak mengajak Edgar masuk ke dalam rumah mereka. Adam merasa bingung dengan reaksi Natasha. "Bukankah dia temanmu?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba mencari kejelasan. Natasha menggelengkan kepala dengan lebih tegas kali ini, memberitahu ayahnya bahwa Edgar bukanlah temannya. Sementara itu, Edgar yang mendengar percakapan tersebut, berusaha menarik perhatian mereka dengan mengeluarkan deheman singkat. "Ekhem." Edgar menatap Adam dengan serius, "Om, aku mencintai Natasha dan ingin menikahinya," ucapnya tanpa basa-basi. Tentu saja itu hanya sebagian kebohongan dari rencana Edgar. Sontak,
Dalam keheningan yang terasa berat, Asiyah merasakan dunianya hancur. Kabar bahwa Natasha hamil begitu mengejutkan baginya. Asiyah tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya saat ia mendekati Adam dengan tatapan penuh kesedihan. Dengan suara yang gemetar, Asiyah bertanya kepada suaminya itu, "Siapa yang telah menghamili anak kita, Pak?" Suaranya terdengar rapuh, mencerminkan kehancuran yang dirasakannya. Adam menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di pundaknya. Ia menatap Natasha dengan ekspresi kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Adam tahu bahwa ia harus menjelaskan keadaan ini pada Asiyah, tetapi ia juga sadar akan riwayat hipertensi yang dimiliki istrinya. Adam tidak ingin membebani Asiyah dengan stres yang bisa berdampak buruk pada kesehatannya. Dalam keadaan yang semakin tegang, Asiyah mengulangi pertanyaannya dengan meninggikan sedikit intonasi bicaranya, "Jawab pertanyaan Ibu, Pak! Siapa yang telah menghamili Natasha?!" Air mata semakin
Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran. Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara. "Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar. Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung. "Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu. Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ting! Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pu
Natasha merasa ada yang memanggil namanya. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sontak, ia terkejut saat melihat sepupunya, Fadhil, berdiri di sana dengan senyuman lembut di wajahnya."Kak Fadhil?" ucap Natasha, suaranya penuh kegembiraan. "Kapan Kak Fadhil pulang? Aku tidak tahu kalau Kak Fadhil sudah kembali dari Kairo."Fadhil tersenyum lembut seraya menjawab, "Kemarin." Ia menghamburkan pandangannya ke sekeliling, mencari teman Natasha yang mungkin ada di sana. Karena setahunya, Natasha jarang sekali menghabiskan waktunya di luar jika tidak ada kepentingan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Fadhil dengan wajah bingung."Aku.." Natasha menggantungkan ucapannya seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan sepupunya itu. Dia merasa sedikit canggung karena tidak bisa memberikan alasan yang jelas.Fadhil tersenyum lembut, ia tahu jika Natasha enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu masih saja sama seperti dulu," ucapnya dengan penuh peng
Pernyataan yang diucapkan oleh Edgar spontan membulatkan mata Natasha lebar. Ia benar-benar merasa geli dengan sikap yang ditunjukkan oleh Edgar. "Ada apa dengan ekspresinya?" gumam Natasha dalam hati. Adam dengan bangga memperkenalkan Fadhil, keponakannya, kepada Edgar. Ia mengatakan, "Dia Fadhil, sepupu Natasha, yang kuliah di Kairo." Kemudian Adam menatap ke arah pintu dan dengan ramah mengajak Natasha untuk mengajak Fadhil masuk.Natasha diam sejenak, merasakan kehangatan dalam sikap Adam yang telah kembali normal. Ia menjawab dengan senyuman, "Ayo masuk, Kak."Fadhil mengangguk lembut seraya tersenyum. Namun, sebelum ia melangkah masuk, ia mengucapkan salam dengan sopan, "Assalamu'alaikum."Semua orang di dalam ruangan menjawab bersamaan, "Wa'alaikumussalam."Asiyah, yang duduk di samping Adam, berdiri dan dengan ramah mempersilahkan Fadhil untuk duduk di tempatnya. "Silahkan duduk," ucapnya dengan hangat.Setelah Fadhil duduk, Adam dengan penuh kehangatan mengusap bahu keponaka
Setelah langkah mereka sudah sampai di ruang tamu, Asiyah dan Natasha terkejut melihat keberadaan beberapa orang yang sedang menata hidangan di sana. Adam, Asiyah dan Natasha saling pandang dengan kebingungan."Bagaimana, Om? Apa akadnya bisa kita mulai sekarang?" tanya Edgar kepada Adam.Sebelum menjawab pertanyaan Edgar, Adam menatap Natasha dengan wajah bingung, mencari persetujuannya. "Bagaimana, Nak?" tanyanya.Natasha memejamkan matanya sejenak, mencari keberanian dalam diri untuk menghadapi situasi yang mengejutkan ini. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup melewati semuanya. "Mari kita lakukan," jawabnya dengan mantap.Jawaban Natasha tersebut cukup mengagetkan Adam dan Asiyah. Begitupun dengan Fadhil yang masih berada di sana. "Paman, Bibi, aku pulang dulu, ya," pamit Fadhil tiba-tiba.Adam heran dengan kepergian Fadhil yang terburu-buru. "Kenapa cepat sekali?" tanya Adam."Aku lupa jika ada janji dengan temanku, Paman," jawab Fadhil, mencari alasan untuk
Natasha terkejut dan terdiam. Ia merasakan ketakutan yang melintas di dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Natasha akhirnya berkata, "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui." Dalam keputusasaannya, ia memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil. Namun, kata-kata Natasha tidak mempengaruhi Edgar sedikit pun. Ia tetap dingin dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Setelah beberapa saat berlalu, mobil Edgar meluncur dengan tenang melalui gerbang besi yang megah, memasuki halaman mansion yang mempesona. Setelah Julian menghentikan mobilnya, Edgar memberikan perintah kepada sahabatnya sebelum keluar dari mobil tersebut. Dengan suara datar, ia berkata, "Tinggalkan kami berdua." Walaupun mansion milik Edgar terlihat megah dan besar, namun di dalamnya ia hanya mempekerjakan tiga orang saja. Dua asisten rumah tangga bekerja di pagi hingga sore hari, dan satu petugas keamanan yang berjaga di depan. Edgar tidak suka jika terlalu banyak orang di ke
Bi Murni mengarahkan pandangannya ke kamar tersebut, lalu berjalan ke arahnya. "Ini kamar khusus untuk pembantu, Non. Tapi, karena Bibi dan Bi Yeti tidak tinggal di sini, kamar ini sekarang kosong," jawabnya sambil membuka pintu kamar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar-kamar yang lain."Kalau begitu, aku pilih kamar ini saja, boleh, kan?" ucap Natasha dengan senyuman dari balik cadarnya.Seketika, Bi Murni terkejut. Ia mengerjapkan matanya cepat, dan menatap ke arah kamar berukuran kecil itu, mencari alasan kenapa Natasha lebih memilih kamar itu daripada kamar-kamar yang lainnya."Boleh, Non. Tapi, apa kamar ini tidak terlalu sempit?" tanya Bi Murni dengan ragu.Natasha menggeleng pelan, "Tidak, Bi, tenang saja," jawabnya dengan ramah."Baiklah. Kalau begitu, Bibi pergi dulu, ya, Non. Jika Non Natasha membutuhkan sesuatu, panggil saja Bibi atau Bi Yeti," pungkasnya sebelum melangkah pergi"Iya, Bi," jawab Natasha dengan sopan.Setelah Bi Murni pergi, Natasha masuk ke dala
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri