"Di mana wanita yang kuminta? Kenapa belum datang juga?"
Edgar Pradipta, seorang pria tampan dengan rahang tegas. Dia berdiri di depan jendela kamar hotel nomor satu dua lima, memegang erat-erat ponsel di telinganya.
"Tunggu saja, sebentar lagi dia akan sampai," jawab Julian, sahabat Edgar sekaligus asisten pribadinya. Suaranya terdengar tenang melalui sambungan telepon.
Tepat setelah Julian mengatakan itu, Edgar tiba-tiba mendengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Tanpa ragu, dia memutuskan panggilannya dengan Julian, yakin bahwa yang datang ke kamarnya adalah wanita sewaan yang telah dia bayar sebelumnya.
Namun, saat Edgar memutar tubuhnya, dia sedikit terkejut. Bukan wanita bertubuh molek dengan penampilan yang mengekspos lekuk tubuhnya yang masuk ke dalam kamarnya, melainkan seorang wanita bergamis hitam senada dengan hijab dan cadarnya.
Tetapi itu tidak menjadi masalah bagi Edgar, karena yang ia butuhkan adalah seorang wanita yang akan dijadikan alat. Tidak peduli bagaimana latar belakang wanita tersebut, meskipun pelacur sekali pun.
"Astaghfirullah, aku di mana?" ucap wanita bercadar dengan terkejut, saat menyadari telah salah masuk kamar.
Wanita itu segera menghamburkan pandangannya ke segala arah, dan ketika ia melihat Edgar tengah berdiri di depan jendela, ia buru-buru mendekat ke arahnya dengan perasaan tidak enak.
"Maaf, aku salah masuk," ucap wanita bercadar itu dengan suara rendah, terlihat jelas bahwa dia merasa canggung dengan kesalahannya.
Tanpa menunggu jawaban dari Edgar, wanita bercadar tersebut langsung mengayunkan langkahnya keluar dari kamar itu.
Namun, sebelum langkahnya mencapai pintu, Edgar dengan gerakan cepat menutup pintu kamarnya dengan tegas dan menguncinya.
Brak!
"Kamu pikir setelah aku membayarmu mahal, kamu bisa pergi dari kamar ini begitu saja tanpa melakukan apa-apa?!" kata Edgar dengan tajam.
Wanita bercadar itu mengerutkan kedua alisnya hingga saling bertautan, tampak bingung dengan ucapan Edgar. "Membayarku mahal? Apa maksudnya?" tanyanya sama sekali tidak mengerti.
Edgar tersenyum sinis saat ia menatap dingin wanita di hadapannya. "Aku rasa kamu tidak amnesia," ucapnya dengan nada meremehkan.
Wanita itu menggeleng tegas, tampak bingung. "Aku sama sekali tidak mengerti. Bicaralah yang jelas."
Edgar mengangguk, memberi isyarat bahwa dia akan menjelaskan. Namun, tanpa mengatakan apa pun, ia tiba-tiba menarik tangan wanita tersebut dan membawanya dengan paksa menuju sofa.
"Hei, lepaskan tanganku!" tegas wanita itu berusaha melepaskan diri dari cengkraman Edgar, namun pria itu tidak menghiraukannya.
Seperti tuli terhadap permintaan wanita tersebut, Edgar terus melangkah maju tanpa mengindahkan usaha wanita itu untuk melepaskan tangannya. Wanita itu merasa putus asa dan akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan drastis dengan memukul lengan Edgar dengan keras.
Bugh!
Suara keras terdengar saat pukulan wanita itu berhasil mengenai tubuh Edgar.
"Duduklah," titah Edgar dengan suara tegas saat langkahnya telah mencapai tujuannya.
Wanita itu menggeleng cepat seraya memundurkan langkahnya secara perlahan, berusaha melarikan diri dari situasi yang semakin mencekam. Namun, sebelum ia bisa berhasil kabur, tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas secara tiba-tiba.
"Apa yang kamu lakukan?! Turunkan aku!" pekik wanita itu dengan panik saat Edgar tiba-tiba menggendongnya ala bridal style.
Bruk!
Edgar dengan kasar menaruh wanita itu di sofa, hingga membuat wanita tersebut terhempas dengan keras.
"Jangan coba-coba kabur!" ucap Edgar dengan tegas, matanya menatap wanita itu dengan tajam.
"Aku sama sekali tidak mengenalmu, tidak ada alasan bagiku untuk berada di kamar ini," protes wanita tersebut sambil beranjak dari posisi duduknya. Dia merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu oleh Edgar.
Namun, sebelum wanita itu meninggalkan Edgar di sana, ia berkata, "Jangan pernah menyentuhku lagi, tidak semua wanita bisa kamu sentuh seenaknya. Aku permisi."
Wanita tersebut terkejut saat Edgar menahan tangannya dengan kuat, hingga membuatnya terhuyung ke arah pria itu.
Bruk!
Suara benturan terdengar saat tubuh mereka saling bertemu dengan kasar.
Wanita itu membulatkan matanya lebar, terkejut saat jarak wajah keduanya yang begitu dekat. Dengan cepat, ia menjauh dan duduk kembali dengan perasaan canggung.
"Mau kamu apa, sih?!" tanya wanita bercadar itu dengan suara yang tajam, ingin tahu apa yang sebenarnya sedang ada di pikiran Edgar.
Tanpa menjawab pertanyaan wanita tersebut, Edgar menjulurkan tangannya ke arah meja, membuat wanita bercadar itu mengira bahwa Edgar akan menyentuhnya. Dengan gerakan cepat, wanita itu menggeser posisi duduknya menjauh dari Edgar, menghindari kontak fisik yang tidak diinginkan.
"Tenang saja, kamu bukan tipeku. Aku tidak akan menyentuhmu sedikit pun," ucap Edgar. Kemudian, ia meraih beberapa lembar surat perjanjian dari atas meja yang sebelumnya telah ia siapkan.
"Tandatangani surat ini. Setelah itu kamu boleh pergi," titah Edgar tanpa basa-basi.
Wanita bercadar itu terkejut dan bingung. "Hah?!" Dia tidak mengerti mengapa dia harus menandatangani surat itu.
Wanita itu menatap Edgar dengan pandangan yang penuh pertanyaan. Dia merasa bingung, tidak mengerti mengapa dia harus menandatangani surat tersebut. "Atas dasar apa aku harus menandatangani surat ini?" ucapnya dengan suara yang terdengar tegas, namun juga menyiratkan penolakan.
"Apa satu milyar belum cukup untuk menjadi pengantin sewaanku?!" tanya Edgar dengan kesal.
Wanita bercadar itu merasa terkejut dan mencoba menjelaskan dengan tenang, "Tunggu sebentar. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Ia diam sejenak, menatap lurus ke arah Edgar sebelum melanjutkan, "Apa kamu kira... aku wanita panggilan yang sedang kamu tunggu?"
"Hmm," jawab Edgar dengan singkat.
Wanita bercadar itu kini mengerti bahwa Edgar salah mengira dan mencoba menjelaskan dengan lebih jelas, "Kamu salah orang! Aku bukan wanita yang kamu bayar."
Edgar memperlihatkan wajah tidak suka, tidak percaya dengan penjelasan itu. "Salah orang? Maksudmu, kamu bukan wanita yang ku bayar sebagai pengantin sewaanku? Hmm?" tanya Edgar dengan sikap yang merendahkan.
Wanita bercadar itu mengangguk dengan tegas, membenarkan ucapan Edgar.
Edgar merespon dengan tawa sinis, nada bicaranya penuh dengan ketidakpercayaan. "Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?" ujarnya dengan dingin. Raut wajahnya tampak tidak terpengaruh oleh pembelaan wanita bercadar itu.
Edgar mengarahkan pandangannya ke pintu sebelum melanjutkan ucapannya. "Jika kamu bukan wanita yang ku bayar, bagaimana caranya kamu bisa masuk ke dalam kamar ini, kalau bukan karena kunci yang diberikan oleh asistenku?"
"Jelas-jelas kamu sendiri yang lupa menutup pintu, kenapa malah menuduhku yang tidak-tidak! Jangankan aku, bahkan seekor kucing pun bisa masuk ke dalam kamarmu dengan mudah," ucap wanita itu dengan kesal.
Wanita bercadar tersebut menghela napas panjang, mencoba untuk tenang sebelum melanjutkan ucapannya kembali. "Dengar baik-baik, aku sama sekali tidak mengenalmu. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku salah masuk kamar ini. Jadi, berhenti mengira bahwa aku wanita panggilan yang kamu bayar!" dia menjelaskan dengan tegas, berusaha mempertahankan kebenaran.
Dalam hatinya, wanita bercadar itu merasa kesal dan frustasi. Dia tidak mengerti mengapa Edgar mengira bahwa dia wanita sewaannya. Padahal, tuduhan tersebut jelas sangat kontras dengan penampilan wanita tersebut.
Wanita bercadar itu memijat keningnya yang terasa tegang. "Tolong, biarkan aku pergi. Sahabatku sudah menungguku," ucapnya dengan suara lirih dan lelah.
Tetapi Edgar masih tetap skeptis dan tidak mempercayai perkataan wanita itu. Dia tetap bersikeras dan berkata, "Tidak, sebelum kamu menandatangani surat ini."
Wanita itu hanya diam, tidak merespon permintaan Edgar.
Edgar mencoba untuk memancing reaksi dari Natasha dengan mengolok-oloknya, "Kenapa diam saja, wanita ninja? Bukankah kamu ingin menemui sahabatmu?"
"Namaku Natasha Amelia, bukan wanita ninja!"
Namun, Edgar hanya acuh tak acuh dengan protes tersebut. "Oh," sahutnya tidak tertarik sedikit pun.
Edgar memberikan pulpen kepada Natasha dengan ekspresi datar. "Silakan tandatangani surat perjanjian ini, aku tidak memiliki banyak waktu," ujarnya singkat.
Namun, Natasha menolak dengan tegas. "Tidak!"
Tiba-tiba, ponsel Edgar bergetar dengan keras. Dengan gerakan cepat, ia meraih ponselnya dari dalam saku jasnya. "Halo," ucapnya setelah mengusap tombol berwarna hijau ke atas.
Suara Julian terdengar panik dari seberang sana. "Gawat, Edgar! Aku baru saja mendapat kabar bahwa wanita sewaan yang seharusnya datang menemuimu tiba-tiba kabur membawa semua uangnya," tuturnya dengan cemas.
Mendengar itu, Edgar membulatkan matanya dengan terkejut. Dia bergerak cepat untuk menjauh dari Natasha, memastikan agar wanita itu tidak bisa mendengar percakapannya dengan Julian.
"Ka-Kabur?" tanya Edgar dengan suara yang lebih pelan, sambil melirik ke arah Natasha yang tampak bingung.
"Iya," jawab Julian dengan serius.
Merasa bahwa situasinya menjadi semakin rumit, Edgar mengambil keputusan untuk menunda pembahasan lebih lanjut. "Baiklah, kita bahas ini nanti," pungkas Edgar sebelum mengakhiri sambungan teleponnya.
Setelah panggilan itu terputus, Edgar menggenggam erat ponselnya, berusaha memikirkan solusi lain untuk mengatasi situasi ini dan segera menemukan wanita lain untuk menjadi calon istrinya.
Saat sebuah ide muncul di kepalanya, Edgar menatap Natasha yang masih duduk di sofa. Dengan mantap, ia melangkah mendekati wanita tersebut.
"Cepat tanda tangani surat perjanjian ini," titah Edgar dengan tergesa-gesa, wajahnya tidak setenang sebelumnya saat ia mengira Natasha adalah wanita sewaannya.
"Sudah ku bilang tidak, ya tidak!" tolak Natasha kembali dengan membuang wajahnya ke arah lain.
Tanpa mengatakan apa pun, Edgar meraih sebuah vas bunga yang ada di atas meja dan membantingnya ke lantai.
Prang!
Dentuman pecahan kaca mengisi ruangan yang sebelumnya tenang. Vas bunga yang indah, yang sebelumnya menghiasi ruangan dengan keindahannya, kini hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Kelopak bunga yang lembut berwarna merah terhambur bersama dengan pecahan vas tersebut.
Edgar meraih sebuah pecahan kaca dari vas bunga itu, lalu dengan sengaja ia goreskan di ujung jarinya hingga mengeluarkan darah segar.
"Berikan ibu jarimu," pinta Edgar pada Natasha yang tercengang melihat aksinya.
Natasha segera menyembunyikan tangannya ke belakang dengan cepat, "Tidak." tolaknya ketakutan.
Tidak ingin membuang banyak waktu, Edgar mendekatkan tubuhnya pada Natasha dan menarik paksa tangan wanita bercadar itu untuk meneteskan darahnya di ibu jari Natasha.
"Lepaskan! Sudah kubilang jangan menyentuh–" belum sempat Natasha menyelesaikan ucapannya, Edgar sudah mendaratkan ibu jari Natasha yang berlumur darah pada surat perjanjian di atas meja.
"Kamu boleh pergi," ucap Edgar dengan santai.
"Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?!" bentak Natasha dengan kesal.
"Hmm."
Dengan sikap yang dingin dan tegas, Natasha menjulurkan tangannya ke depan. "Berikan kertas itu padaku," pintanya.
"Tidak," jawab Edgar tidak kalah tegas.
Namun, Natasha tidak menyerah begitu saja. Dia merasa semakin bertekad untuk mendapatkan kertas tersebut. Dengan intonasi bicara yang lebih tinggi, dia berkata, "Berikan itu padaku!"
Edgar meletakkan surat perjanjian itu dengan santai di atas meja. Sementara Natasha berusaha menggapai surat itu, Edgar tiba-tiba membuka ponselnya dan menunjukkan rekaman CCTV yang menampilkan dirinya dan Natasha saat ini yang berada dalam satu kamar.
Natasha terkejut dan terperangah. Wajahnya memucat saat melihat rekaman itu.
"Jika kamu merebut kertas itu, aku akan memberikan foto dari rekaman ini pada keluargamu," ancam Edgar dengan tersenyum menyeringai.
Sontak, Natasha terdiam, matanya membulat lebar dan ia menelan salivanya dengan susah payah. Jika Edgar benar-benar melakukannya, orang tua Natasha pasti akan berpikir buruk tentangnya.
Meskipun ia tidak melakukan apa-apa dengan Edgar, namun, berada dalam satu kamar bersama pria yang bukan pasangannya, sudah cukup membuat orang lain akan berpikir ke arah negatif.
Natasha, dengan rasa cemas yang kentara dalam suaranya, mengatakan, "Jangan lakukan itu!"
Edgar tersenyum puas, saat gertakannya berhasil membuat Natasha kalah telak dan terpojok.
Natasha menghela napas panjang dan memejamkan matanya sesaat. Dalam suasana yang hening, ia berkata, "Aku akan melakukan apa pun, asalkan jangan berikan foto itu kepada keluargaku."
"Baiklah. Jika begitu, berikan surat perjanjian itu dan jadilah pengantin sewaanku," kata Edgar dengan serius.
"Pengantin sewaan?!"
"Pengantin sewaan?!" "Iya!" Natasha menggeleng cepat, "Harus berapa kali ku katakan, kamu salah orang. Aku, bukan wanita panggilan yang kamu tunggu!" terang Natasha dengan tegas. Raut wajahnya penuh dengan kekesalan. Edgar, tampak tenang dan santai. Dia tidak terganggu oleh penolakan Natasha. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Julian. Tut.. Tut.. Tut.. Sambil menunggu panggilan terhubung, Edgar memandang Natasha dengan tatapan penuh arti, hingga membuat Natasha bergidik ngeri. "Buka rekaman CCTV di kamarku dan cetak beberapa foto sebagai hadiah untuk keluarga wanita ini," perintah Edgar setelah Julian menjawab panggilannya. Natasha meremas ujung pakaiannya dengan perasaan cemas. Tidak ingin sampai itu terjadi, ia dengan cepat berkata, "Baiklah, baiklah. Aku bersedia menjadi pengantin sewaanmu," ucap Natasha tanpa berpikir panjang. Edgar kembali tersenyum puas. Untuk kali kedua Natasha kalah telak darinya. Hal ini membuat Edgar menge
Natasha merasa cemas dan gelisah saat berada dalam mobil milik Edgar. Ia berusaha keras membuka pintu, ingin segera keluar agar tidak ada mahasiswa lain yang melihatnya berada dalam satu mobil bersama pria asing. Namun, Edgar tidak memperdulikannya. "Julian, jalankan mobilnya," titah Edgar pada sahabatnya yang duduk di kursi kemudi. Dengan panik, Natasha berteriak, "Buka pintunya! Biarkan aku keluar!" Namun, Edgar tetap tidak menghiraukannya. "Aku akan mengantarmu pulang," ucap Edgar tanpa menatap ke arah wanita bercadar yang duduk di sebelahnya. Namun, Natasha menolak dengan tajam. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!" ucapnya. Tangan Natasha masih terus berusaha membuka pintu mobil yang tengah ia naiki, meskipun ia tahu bahwa pintu itu terkunci. Ceklek! Ceklek! Tiba-tiba, Edgar bergerak dan mendekati Natasha. Ia meletakkan salah satu tangannya pada kaca mobil di sisi wanita bercadar itu. Brak! "Hentikan!" ucap Edgar dengan suara baritone-nya yang dalam. Natasha segera m
Adam terus menatap Edgar dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa hubungan antara Edgar dan Natasha. Sejauh yang Adam ketahui, putrinya tidak pernah memiliki teman pria, apalagi sampai membawanya ke rumah mereka. "Silahkan masuk," ajak Adam dengan ramah, disambut protes dari Natasha. "Pak..." Natasha menggelengkan kepalanya dengan pelan, berusaha memberi isyarat kepada Adam agar tidak mengajak Edgar masuk ke dalam rumah mereka. Adam merasa bingung dengan reaksi Natasha. "Bukankah dia temanmu?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba mencari kejelasan. Natasha menggelengkan kepala dengan lebih tegas kali ini, memberitahu ayahnya bahwa Edgar bukanlah temannya. Sementara itu, Edgar yang mendengar percakapan tersebut, berusaha menarik perhatian mereka dengan mengeluarkan deheman singkat. "Ekhem." Edgar menatap Adam dengan serius, "Om, aku mencintai Natasha dan ingin menikahinya," ucapnya tanpa basa-basi. Tentu saja itu hanya sebagian kebohongan dari rencana Edgar. Sontak,
Dalam keheningan yang terasa berat, Asiyah merasakan dunianya hancur. Kabar bahwa Natasha hamil begitu mengejutkan baginya. Asiyah tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya saat ia mendekati Adam dengan tatapan penuh kesedihan. Dengan suara yang gemetar, Asiyah bertanya kepada suaminya itu, "Siapa yang telah menghamili anak kita, Pak?" Suaranya terdengar rapuh, mencerminkan kehancuran yang dirasakannya. Adam menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di pundaknya. Ia menatap Natasha dengan ekspresi kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Adam tahu bahwa ia harus menjelaskan keadaan ini pada Asiyah, tetapi ia juga sadar akan riwayat hipertensi yang dimiliki istrinya. Adam tidak ingin membebani Asiyah dengan stres yang bisa berdampak buruk pada kesehatannya. Dalam keadaan yang semakin tegang, Asiyah mengulangi pertanyaannya dengan meninggikan sedikit intonasi bicaranya, "Jawab pertanyaan Ibu, Pak! Siapa yang telah menghamili Natasha?!" Air mata semakin
Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran. Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara. "Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar. Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung. "Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu. Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ting! Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pu
Natasha merasa ada yang memanggil namanya. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sontak, ia terkejut saat melihat sepupunya, Fadhil, berdiri di sana dengan senyuman lembut di wajahnya."Kak Fadhil?" ucap Natasha, suaranya penuh kegembiraan. "Kapan Kak Fadhil pulang? Aku tidak tahu kalau Kak Fadhil sudah kembali dari Kairo."Fadhil tersenyum lembut seraya menjawab, "Kemarin." Ia menghamburkan pandangannya ke sekeliling, mencari teman Natasha yang mungkin ada di sana. Karena setahunya, Natasha jarang sekali menghabiskan waktunya di luar jika tidak ada kepentingan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Fadhil dengan wajah bingung."Aku.." Natasha menggantungkan ucapannya seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan sepupunya itu. Dia merasa sedikit canggung karena tidak bisa memberikan alasan yang jelas.Fadhil tersenyum lembut, ia tahu jika Natasha enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu masih saja sama seperti dulu," ucapnya dengan penuh peng
Pernyataan yang diucapkan oleh Edgar spontan membulatkan mata Natasha lebar. Ia benar-benar merasa geli dengan sikap yang ditunjukkan oleh Edgar. "Ada apa dengan ekspresinya?" gumam Natasha dalam hati. Adam dengan bangga memperkenalkan Fadhil, keponakannya, kepada Edgar. Ia mengatakan, "Dia Fadhil, sepupu Natasha, yang kuliah di Kairo." Kemudian Adam menatap ke arah pintu dan dengan ramah mengajak Natasha untuk mengajak Fadhil masuk.Natasha diam sejenak, merasakan kehangatan dalam sikap Adam yang telah kembali normal. Ia menjawab dengan senyuman, "Ayo masuk, Kak."Fadhil mengangguk lembut seraya tersenyum. Namun, sebelum ia melangkah masuk, ia mengucapkan salam dengan sopan, "Assalamu'alaikum."Semua orang di dalam ruangan menjawab bersamaan, "Wa'alaikumussalam."Asiyah, yang duduk di samping Adam, berdiri dan dengan ramah mempersilahkan Fadhil untuk duduk di tempatnya. "Silahkan duduk," ucapnya dengan hangat.Setelah Fadhil duduk, Adam dengan penuh kehangatan mengusap bahu keponaka
Setelah langkah mereka sudah sampai di ruang tamu, Asiyah dan Natasha terkejut melihat keberadaan beberapa orang yang sedang menata hidangan di sana. Adam, Asiyah dan Natasha saling pandang dengan kebingungan."Bagaimana, Om? Apa akadnya bisa kita mulai sekarang?" tanya Edgar kepada Adam.Sebelum menjawab pertanyaan Edgar, Adam menatap Natasha dengan wajah bingung, mencari persetujuannya. "Bagaimana, Nak?" tanyanya.Natasha memejamkan matanya sejenak, mencari keberanian dalam diri untuk menghadapi situasi yang mengejutkan ini. Dalam hati, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup melewati semuanya. "Mari kita lakukan," jawabnya dengan mantap.Jawaban Natasha tersebut cukup mengagetkan Adam dan Asiyah. Begitupun dengan Fadhil yang masih berada di sana. "Paman, Bibi, aku pulang dulu, ya," pamit Fadhil tiba-tiba.Adam heran dengan kepergian Fadhil yang terburu-buru. "Kenapa cepat sekali?" tanya Adam."Aku lupa jika ada janji dengan temanku, Paman," jawab Fadhil, mencari alasan untuk
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri