Kami tengah mengobrol ketika Bi Narti muncul. Ekspresinya terlihat terkejut. Dia membawakan minuman dan kue-kue dalam nampan. Lalu dia meletakkan dia tas meja. Setelah itu, dia berpamitan hendak ke belakang lagi. “Bibi, sebetulnya Mas Wisnu ke sini mau ketemu Bibi. Boleh Mas Wisnu bicara sebentar!” ucapanku menghentikkan langkahnya. Bi Narti mengangguk ragu. “B—baik.” Bi Narti menjawab singkat. “Di kebun belakang, ya, Bi!” tukas Mas Wisnu. Nenek menatap heran pada Mas Wisnu, tapi Mas Wisnu tak bicara banyak. Dia hanya mengatakan ada hal penting yang harus dibahas. Akhirnya kami beranjak ke taman belakang. Mas Wisnu yang memilih tempatnya. Nenek tak ikut. Dia memilih menunggu di ruang tengah. Meskipun terlihat heran ketika kami memilih bicara di belakang. Namun, perempuan sepuh itu tak terlalu banyak tanya. Kami duduk di bangku taman yang berhadap-hadapan. Taman belakang cukup luas. Mungkin ada sekitar seratus meter persegi. Ada tiang jemuran, satu pohon mangga dan juga rumput go
“Mas, kumohon! Jangan! Ini hanya akan membuat kamu dan Papa bertengkar. Aku, hanya mau kamu bisa bertemu dengan Wak Ratna, mengakuinya sebagai Ibu. Aku hanya ingin dia sembuh!” tukasku.Namun, dia seperti tengah kesetanan. Dia tak menjawab. Beberapa kali klakson dia pijit karena mengendarai mobil secara zigzag. “Mas, kamu sudah berjanji waktu itu, kamu akan mengabulkan tiga permintaanku. Aku memintanya sekarang, satu! Jangan bocorkan dulu apapun pada keluarga kamu! Jangan katakan, kamu sudah tahu tentang ini. Bisa kan 'Mas?” Mas Wisnu masih bergeming. Hanya saja laju mobil tidak separah tadi. Sekarang sudah lebih terkendali. “Aku ingin, kita diam-diam dulu menyembuhkan Wak Ratna. Aku yakin sekali, Mas. Obat dia hanyalah kamu. Setelah Wak Ratna sembuh, barulah kita ajak Wak Ratna bertemu dengan orang-orang yang sudah menyakitinya! Aku sudah ada ide, Mas! Aku ingin Wak Ratna kembali menempati posisinya. Kamu mau 'kan Ibu kandung kamu sehat lagi?” Hembusan napas kasar terdengar. Mas
Usai makan bersama, kami pulang. Hanya aku dan Nek Ecih yang makan bersama. Mas Wisnu lebih memilih menyuapi Wak Ratna. Mereka makan berdua di kamar itu. Nek Ecih sempat heran. Mas Wisnu terlihat berubah begitu drastis. Namun, aku hanya bilang, dia tengah berempati. Syukurlah, Nek Ecih tak terlalu banyak tanya lagi. “Rencananya gimana setelah ini? Kita gak mungkin bolak-balik ke rumah Nek Ecih tiap minggu.” “Mas mau cari psikolog. Mungkin akan memintanya untuk kontrol sesuai jadwal.”“Nek Ecih tak pernah mau terima kalau Wak Ratna dikatakan sakit.” “Mas ada teman, psikolog. Kalau ke sana paling Mas sekalian mintakan tolong bawain apa saja buat Wak Ratna dan Nek Ecih. Mas akan kenalkan dia sebagai asisten Mas. Jadi Nek Ecih gak perlu tahu dia siapa."Aku menatap wajah Mas Wisnu. Dia tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Bahkan, dia langsung bergerak cepat. Lebih cepat dari pada yang kuperkirakan. Dia pun bahkan tak mempertanyakan sedikit pun hasil test DNA. Dia langsung saja p
"Isabella Anastasya Barata!” Aku sontak mendongak. Nama itu membuatku mencari-cari keberadaannya. Suster memanggilnya sekali lagi, hingga sepasang lelaki dan perempuan berdiri dari kursi agak pojok. Beberapa detik, aku menahan napas. Wajahku terasa panas. Debum di dadaku terasa bertalu lebih cepat. Yang berdiri di sana sosok yang aku kenal, Bella. Namun, bukan itu yang membuatku merasakan dunia seperti berhenti berputar. Namun, sosok lelaki yang mendampinginya. Kenapa harus suamiku? Mas Wisnu berdiri di sisinya dan berjalan mengikuti Bella. Rasa panas sudah terasa hampir meledak. Namun, kutahan. Kutarik napas panjang. Gelisah dalam hati kuredam.Tenang, Nika! Dunia belum kiamat sekarang! Aku harus segera meminta penjelasan yang paling masuk akal. Jadi, aku putuskan untuk tak menunda-nunda lagi kesempatan. Kebetulan, nomor antrianku masih terhalang beberapa orang lagi. Usai mereka keluar, akan kusergap segera. Aku duduk dengan gelisah. Beribu kali kucoba hati ini untuk tenang, tap
Mas Wisnu kembali setelah selesai menelpon. Dia menatapku dengan gamang. Lalu menggaruk kepala. “Ahm, Sayang! Mas lupa, kan ke sini bawa mobil sendiri! Kamu juga bawa, ya! Pulangnya gak bisa barengan, dong!” tukasnya dengan mata yang tak fokus menatap wajahku. Aku mengangkat dagu dan menatap wajahnya. Mencari alasan di balik perkataan yang tersirat tadi.“Ya, benar! Aku bawa mobil. Namun, aku mau ngasih syarat sama kamu! Kita pulang masing-masing dan biarkan perempuan itu pulang sendiri! Aku tak sudi, Bella duduk manis di samping kamu, sedangkan aku harus menyetir sendirian ke sini!” tegasku sambil tersenyum sinis ke arah Mas Wisnu. Mas Wisnu bergeming. Sepertinya kalimatku telak. Apa sebenarnya yang membuat Mas Wisnu lemah? Bukankah dia tak suka Bella juga?“Gimana, Mas?” tanyaku padanya. “Iy--Iya, Sayang.” Mas Wisnu mengangguk ragu. Aku tersenyum penuh kemenangan. Lekas kugandeng lengannya dan menuju ke arah luar. Hal pertama yang akan kulakukan adalah mengantarnya hingga ke dal
“Gimana Mama yakin kalau Mas Wisnu yang menghamili Bella? Apa Mama melihatnya? Enggak ‘kan? Gimana kalau orang lain?” tanyaku dengan menaik turunkan satu alis. “Orang lain? Siapa? Kamu juga gak bisa bicara tanpa bukti!” ketus Mama Rida. “Oh, ya? Mama pikir, aku gak punya bukti? Sayangnya, aku memang gak mau tunjukkin ini pada Mama sendiri! Aku ingin menunjukkannya di depan semua orang! Jadi, kuharap Mama bersabar, ya!” tukasku pelan sambil tersenyum pasti. Aku masih punya bukti dan saksi kunci. Mereka tak akan bisa mengelak lagi. “Jangan ngada-ngada kamu, Nika! Gak mungkin Bella berbuat seperti itu dengan orang lain. Dia hanya cinta sama Wisnu!” sanggahnya. Sikapnya sudah mulai menunjukkan aslinya, tak santun seperti biasa dan terkesan arogan. Aku membuang napas kasar. Lalu beranjak meninggalkan Mama Rida dan mengibaskan tangan.Mama Rida menatap Mas Wisnu lalu memanggilnya. Terjeda lagi deh obrolan kami yang sedang membahas masalah Bella.Mereka pergi keluar kamar. Sementara itu,
"S--Sayang … tolong, jangan bawa-bawa Papa dalam masalah ini!” Wajahnya menegang. Dia tampak tak suka ucapanku barusan. Hatiku sudah terasa panas. Lalu, aku pun menarik napas dalam-dalam. Jangan sampai karena masalah ini, aku dan Mas Wisnu malah bertengkar. Masih banyak hal yang harus kami selesaikan. “Oke, Mas. Aku minta maaf. Aku kebawa emosi! Habisnya kamu kek gitu,” tukasku pada akhirnya. Tak mau lama-lama memendam masalah. Namun, tetap saja kutekuk wajah, sebal. “Aku gak suka kalau kamu bawa-bawa Papa.” Dia bicara dengan nada masih tak enak didengar. Aku diam sambil memberengut. “Dasar lelaki, emang menyebalkan,” batinku meracau. Namun, di wajah, aku coba memasang senyuman. “Iya, sorry … aku minta maaf. Aku salah.” Pada akhirnya, aku kembali membujuknya dengan kata maaf. Dia terdiam. Lalu kudengar dia bicara, tapi entah padaku atau bukan. Tak terlalu jelas juga. Aku diamkan saja. Beberapa meniy, hening. Lalu kudengar dia bicara. “Mas juga minta maaf,” tukasnya
Benar saja, sopir Mas Wisnu sudah menjemputku. Dia sigap membukakan pintu dan dengan sopan menyapaku. “Dengan Bu Arunika?” tanyanya. “Betul, Pak! Ini Pak Yoyo?” tanyaku. Ingat pada nama yang diberikan Mas Wisnu tadi dalam chat. Katanya Pak Yoyo namanya sopir yang akan menjemputku.“Betul, Bu! Mari! Kita jalan, ya!” tukasnya sopan. Perawakan tak terlalu tinggi, tubuh agak gemoy seperti kurang olah raga, itulah penampakkanya. Aku pun lekas duduk. Pak Yoyo melajukan mobil dengan kecepatan sedang. “Pak, bisa cepetan?” “Pak Wisnu suruh saya hati-hati, Bu!” “Ya ‘kan saya gak minta gak hati-hati, minta dicepetin saja!” “Oh, baik, Bu!” tukasnya. Lalu dia menambah kecepatan laju mobil, tapi tak lama, baru beberapa menit, sudah kembali tersendat. Jalanan padat. “Macet ya, Pak?” “Anu, Bu! Ada perbaikan jalan!” Aku berulang kali melihat jam tangan. Sudah lima belas menit, mobil hanya bergerak sedikit demi sedikit. “Pak, ada jalan tikus? Kita bisa terlambat!”“Anu, Bu! Dari sini ada jug