"Isabella Anastasya Barata!” Aku sontak mendongak. Nama itu membuatku mencari-cari keberadaannya. Suster memanggilnya sekali lagi, hingga sepasang lelaki dan perempuan berdiri dari kursi agak pojok. Beberapa detik, aku menahan napas. Wajahku terasa panas. Debum di dadaku terasa bertalu lebih cepat. Yang berdiri di sana sosok yang aku kenal, Bella. Namun, bukan itu yang membuatku merasakan dunia seperti berhenti berputar. Namun, sosok lelaki yang mendampinginya. Kenapa harus suamiku? Mas Wisnu berdiri di sisinya dan berjalan mengikuti Bella. Rasa panas sudah terasa hampir meledak. Namun, kutahan. Kutarik napas panjang. Gelisah dalam hati kuredam.Tenang, Nika! Dunia belum kiamat sekarang! Aku harus segera meminta penjelasan yang paling masuk akal. Jadi, aku putuskan untuk tak menunda-nunda lagi kesempatan. Kebetulan, nomor antrianku masih terhalang beberapa orang lagi. Usai mereka keluar, akan kusergap segera. Aku duduk dengan gelisah. Beribu kali kucoba hati ini untuk tenang, tap
Mas Wisnu kembali setelah selesai menelpon. Dia menatapku dengan gamang. Lalu menggaruk kepala. “Ahm, Sayang! Mas lupa, kan ke sini bawa mobil sendiri! Kamu juga bawa, ya! Pulangnya gak bisa barengan, dong!” tukasnya dengan mata yang tak fokus menatap wajahku. Aku mengangkat dagu dan menatap wajahnya. Mencari alasan di balik perkataan yang tersirat tadi.“Ya, benar! Aku bawa mobil. Namun, aku mau ngasih syarat sama kamu! Kita pulang masing-masing dan biarkan perempuan itu pulang sendiri! Aku tak sudi, Bella duduk manis di samping kamu, sedangkan aku harus menyetir sendirian ke sini!” tegasku sambil tersenyum sinis ke arah Mas Wisnu. Mas Wisnu bergeming. Sepertinya kalimatku telak. Apa sebenarnya yang membuat Mas Wisnu lemah? Bukankah dia tak suka Bella juga?“Gimana, Mas?” tanyaku padanya. “Iy--Iya, Sayang.” Mas Wisnu mengangguk ragu. Aku tersenyum penuh kemenangan. Lekas kugandeng lengannya dan menuju ke arah luar. Hal pertama yang akan kulakukan adalah mengantarnya hingga ke dal
“Gimana Mama yakin kalau Mas Wisnu yang menghamili Bella? Apa Mama melihatnya? Enggak ‘kan? Gimana kalau orang lain?” tanyaku dengan menaik turunkan satu alis. “Orang lain? Siapa? Kamu juga gak bisa bicara tanpa bukti!” ketus Mama Rida. “Oh, ya? Mama pikir, aku gak punya bukti? Sayangnya, aku memang gak mau tunjukkin ini pada Mama sendiri! Aku ingin menunjukkannya di depan semua orang! Jadi, kuharap Mama bersabar, ya!” tukasku pelan sambil tersenyum pasti. Aku masih punya bukti dan saksi kunci. Mereka tak akan bisa mengelak lagi. “Jangan ngada-ngada kamu, Nika! Gak mungkin Bella berbuat seperti itu dengan orang lain. Dia hanya cinta sama Wisnu!” sanggahnya. Sikapnya sudah mulai menunjukkan aslinya, tak santun seperti biasa dan terkesan arogan. Aku membuang napas kasar. Lalu beranjak meninggalkan Mama Rida dan mengibaskan tangan.Mama Rida menatap Mas Wisnu lalu memanggilnya. Terjeda lagi deh obrolan kami yang sedang membahas masalah Bella.Mereka pergi keluar kamar. Sementara itu,
"S--Sayang … tolong, jangan bawa-bawa Papa dalam masalah ini!” Wajahnya menegang. Dia tampak tak suka ucapanku barusan. Hatiku sudah terasa panas. Lalu, aku pun menarik napas dalam-dalam. Jangan sampai karena masalah ini, aku dan Mas Wisnu malah bertengkar. Masih banyak hal yang harus kami selesaikan. “Oke, Mas. Aku minta maaf. Aku kebawa emosi! Habisnya kamu kek gitu,” tukasku pada akhirnya. Tak mau lama-lama memendam masalah. Namun, tetap saja kutekuk wajah, sebal. “Aku gak suka kalau kamu bawa-bawa Papa.” Dia bicara dengan nada masih tak enak didengar. Aku diam sambil memberengut. “Dasar lelaki, emang menyebalkan,” batinku meracau. Namun, di wajah, aku coba memasang senyuman. “Iya, sorry … aku minta maaf. Aku salah.” Pada akhirnya, aku kembali membujuknya dengan kata maaf. Dia terdiam. Lalu kudengar dia bicara, tapi entah padaku atau bukan. Tak terlalu jelas juga. Aku diamkan saja. Beberapa meniy, hening. Lalu kudengar dia bicara. “Mas juga minta maaf,” tukasnya
Benar saja, sopir Mas Wisnu sudah menjemputku. Dia sigap membukakan pintu dan dengan sopan menyapaku. “Dengan Bu Arunika?” tanyanya. “Betul, Pak! Ini Pak Yoyo?” tanyaku. Ingat pada nama yang diberikan Mas Wisnu tadi dalam chat. Katanya Pak Yoyo namanya sopir yang akan menjemputku.“Betul, Bu! Mari! Kita jalan, ya!” tukasnya sopan. Perawakan tak terlalu tinggi, tubuh agak gemoy seperti kurang olah raga, itulah penampakkanya. Aku pun lekas duduk. Pak Yoyo melajukan mobil dengan kecepatan sedang. “Pak, bisa cepetan?” “Pak Wisnu suruh saya hati-hati, Bu!” “Ya ‘kan saya gak minta gak hati-hati, minta dicepetin saja!” “Oh, baik, Bu!” tukasnya. Lalu dia menambah kecepatan laju mobil, tapi tak lama, baru beberapa menit, sudah kembali tersendat. Jalanan padat. “Macet ya, Pak?” “Anu, Bu! Ada perbaikan jalan!” Aku berulang kali melihat jam tangan. Sudah lima belas menit, mobil hanya bergerak sedikit demi sedikit. “Pak, ada jalan tikus? Kita bisa terlambat!”“Anu, Bu! Dari sini ada jug
“Ini fitnah! Itu pasti editan! Dia hanya tak ingin membiarkan Mas Wisnu bertanggung jawab atas janin yang kukandung!” Aku terkejut, rupanya Bella masih punya nyali. Dia masih berusaha memutar balikkan fakta dan membela diri. Namun, tunggu sebentar … aku punya bukti lain. Kubiarkan saja dulu dia mengoceh. Kutahu, pasti semua ini terlalu mengejutkan dan memalukkan untuknya. Setelah video tak senonoh itu selesai. Lekas aku mengklik file lain di sana terdengar jelas suara penjaga Villa yang telah tak berdaya itu memberikan kesaksian. Kali ini, bukan hanya Bella, tapi Mama Rida terlihat lebih shock. Bagaimana tidak, dalam rekaman ituu disebutkan jika awalnya rencana itu untuk menjebakku. Bahkan Papa Hutama tampak terkejut juga. Namun, Mama Rida memang pintar. Dia masih bisa menguasai diri. Dia pun bangun dan berjalan mendekat. Aktingnya seperti biasa, selalu sempurna. “Nika, Sayang … tolong jangan seperti ini … kamu boleh gak setuju dan kecewa sama pernikahan Bella dan Wisnu, tapi gak b
Malam harinya, Papa Hutama memanggilku dan Mas Wisnu. Kami berada di ruang kerjanya sekarang. Aku dan Mas Wisnu duduk bersisan. Di depanku duduk Papa Hutama. Pada ujung meja dan, duduk Mama Rida. Papa Hutama pun mulai membuka suara. “Papa dan Mama minta maaf atas semua kericuhan ini, Nika, Wisnu! Mama kamu sudah hubungi nomor penjaga villa itu. Dia bilang cuma salah paham. Orang penjaga villa itu pun meminta maaf. Dia bicara seperti itu hanya karena kesal sama Mama kamu. Soalnya dia mau pinjam uang, sama Mama kamu gak dikasih!” jelas Papa Hutama. Sudah kubaca, pastinya Papa Hutama lebih percaya pada istrinya dari pada rekaman itu. “Papa kenapa bisa seyakin itu kalau Mama tak bersalah! Kalau salah paham, terus buat apa penjaga villa itu menjual nama Mama? Apa dia gak takut kita laporkan ke polisi! Ini sudah pencemaran nama baik! Lagipula, sudah jelas bukti rekaman itu! Kurang jelas apa lagi?!” Mas Wisnu mendebat penuturan Papa Hutama. Mama Rida yang tengah duduk di sampingnya terseny
Setiap hari, selama menunggu pindah ke rumah baru. Tekanan demi tekanan dari Mama Rida, Maria dan Sandy, makin kerap kurasakan. Mereka kini sudah terang-terangan bersikap judes padaku jika Mas Wisnu dan Papa Hutama tidak ada.Bahkan beberapa kali, aku mendapati cairan licin di lantai, tangga, dekat wastafel. Seperti sengaja agar aku terpeleset dan jatuh. Ketika kuakses dari CCTV, pasti kameranya yang bagian area itu sedang mati. Bahkan di menu masakanpun, aku sekarang sangat berhati-hati. Tak pernah aku memakan menu yang katanya dikhususkan untukku sendiri. Aku selalu membiarkan mereka mengambil lebih dulu dari piring mana. Barulah aku mengikutinya. Yang mereka tak makan, aku tak akan menyentuhnya.Jadi, cukup lelah! Memang sudah saatnya aku keluar dari rumah ini.Karena hal itulah, meskipun badanku terasa lemah. Akhirnya aku memilih berangkat kerja. Dari pada setiap hari bertemu dengan ketiga makhluk yang membuatku mual. Duh, jangan sampai anakku mirip mereka.Sudah dua minggu ini,
Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci
Pov 3“R—Ratna … K—kamu bener ‘kan, Ratna?” Arunika, Mas Wisnu dan Mami Ratna menoleh. Rupanya Papa Hutama nekat datang dengan susah payah. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangannya yang masih normal.Suara itu, tak banyak berubah. Mami Ranta mematung kaku menatap sepasang mata yang dulu, pernah menghujani dengan tatapan penuh cinta itu. Sepasang bibirnya terkatup rapat seiring dengan gelengan kepala yang reflek. “K--Kamu m--masih hidup?” Suara Papa Hutama bergetar. Jaraknya tak berubah. Dia pun masih berdiam di tempatnya yang tadi. Mami Ratna menggeleng kepala cepat. Namun, tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menjawab. Dia menetralkan degub jantung yang bergemuruh. Degub itu bukan karena hadirnya rasa cinta, tetapi lebih kepada rasa sesak, benci dan segumpal perasaan kecewa. Lalu, bayangan-bayangan adegan menyakitkan itu kembali berlarian dalam benak Mami Ratna. Bagaimana Papa Hutama yang begitu tega menuduhnya gi-la, lalu memasukkannya ke rumah sakit jiwa
Pak Benny masuk ke dalam ruang kerja Papa Hutama. Setengah jam setelah Mas Wisnu memanggilnya dia datang. Papa Hutama tak mau ditemani siapapun, termasuk Mama Rida. Aku melihat, Mama Rida agak gelisah. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa. Papa Hutama sendiri yang tak membolehkannya. Tak berapa lama, Pak Benny keluar dengan Papa Hutama. Lelaki itu mendorong kursi roda yang diduduki Papa Hutama. Mama Rida bangun dari duduknya dan mendekat. Namun, sorot mata dingin Papa Hutama membuat wajah Mama Rida tampak heran.“K--Kamu kenapa, Pa?” tanya Mama Rida. Dia berusaha meraih Papa Hutama, tetapi lengan lelaki itu menepisnya.“Mulai hari ini, detik ini, saya jatuhkan talak tiga padamu, Rida!”“A--Apa, Pa? T--talak tiga?” “Ya, talak tiga dan silakan kemasi barang-barang kamu! Pergi dari rumah ini!” Suara Papa Hutama bergetar. Wajah Mama Rida tampak pucat. Bibirnya bergetar dan dia tampak menelan saliva. “Kamu kenapa, Pa? Kenapa tiba-tiba menceriakan aku tanpa sebab? Apa karena Maria dan S
“Lalu anak siapa mereka? Selama ini, saya lihat, Mama Rida cinta mati sama Papa ….” Mas Wisnu menerawang. “Entah, yang jelas … lelaki yang Pak Hutama minta selidiki itu bernama Berry!” Prang!Kami terkejut dengan suara benda terjatuh. Ketika kami menoleh, Mami Ratna tampak gemetar dan mematung kaku. Sepasang bibirnya terdengar lirih berucap, “B--Berry? … di--dia … m--masih hidup?”“Bu Ratna!”“Mami!” Serempak aku, Mas Wisnu dan Pak Benny menoleh ke arah Mami Ratna. Dia terlihat pucat dan tangannya terlihat tremor. Mas Wisnu bergegas menghampirinya. Lalu kulihat dia membimbingnya ke dalam. Aku pun berdiri dan berpamitan pada Pak Benny. Aku harus memastikan kondisinya Mami baik-baik saja. Bi Asih tampak tergesa menuju teras. Dia sibuk membersihkan tumpahan kopi dan serpihan beling yang berserakan. Sementara itu, aku duduk di dekat Mami Ratna yang tengah minum air bening. Mas Wisnu menyimpan gelas itu ke atas meja. “Mami kenapa? Apa yang Mami tahu tentang Om Berry?”Mami Ratna menar