Share

Bab 24

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-04 04:37:57

“Mas!”

Tak ada yang menjawab. Aku pun hendak memutar tubuh, ketika tiba-tiba tanganku ditarik seseorang. Aku baru hendak berteriak, ketika tangan itu membekapku.

Bugh!

Siku kuayun sekuat tenaga. Suara teriakkan tertahan, sepertinya seranganku mengenai ulu hatinya. Bekapannya mengendur, aku menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Lalu, aku berbalik dan menghajarnya. Gerakan-gerakan karate yang kupelajari, rupanya berguna. Aku memang cukup pandai dan hapal. Pernah ikut kelas karate selama masa SMPA dan SMA dulu di Riau, aku memang aktif dalam kelas karate. Ketika berangkat ke Bandung untuk kuliah, aku sudah memperoleh sabuk cokelat atau kyu tingkat satu. Meskipun, belum sampai pada sabuk hitam, tetapi aku sudah bisa menggunakan jurus-jurus karate tersebut dengan baik.

Rupanya orang yang ditugaskan hmmm sepertinya oleh Mama Rida untuk membekukku, hanya orang biasa. Dalam beberapa kali gerakkan dia sudah tumbang tak berdaya. Lelaki yang rambutnya sudah beruban sebagian itu ter
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Harsa Amerta Nawasena
Senja makan tuan
goodnovel comment avatar
Norsham Yusof
makin mendebarkann..lanjut thorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 25

    Setelah mengirim pesan. Aku pun keluar dari kamar mandi. Dengan dalih cuci muka, aku mengaku sudah lebih segar. Lalu bergegas mengajak Mas Wisnu keluar. Rupanya di ruang keluarga semua masih lengkap formasinya, kecuali Antony dan Bella. Wajah Mama Rida tampak terkejut sekali melihatku berjalan dengan Mas Wisnu sambil tertawa-tawa. “Kalian habis dari mana?” Mama Rida menautkan alisnya. Sepasang mata itu menatapku tajam. “Astaghfirulloh! Bella!” Aku memekik. Sengaja dengan suara keras. Semuanya menoleh padaku dengan pandangan heran. Tak terkecuali Mama Rida. “Kenapa, Sayang?” Mas Wisnu menatapku. “Bella, Bella diculik!” Aku bicara dengan panik. Pak Barata---ayah Bella mematikan suara musik. Semua menatap ke arahku yang tengah memasang wajah panik. “Diculik? Siapa yang nyulik, Sayang? Mana ada penculik masuk ke villa?” Mas Wisnu menautkan alis. Benar, kan? Semua tak akan percaya jika ada penculikkan di sini. Andai aku yang kena. Maka pasti, ketika aku bilang aku diculik, semua han

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 26

    Kami tengah mengobrol ketika Bi Narti muncul. Ekspresinya terlihat terkejut. Dia membawakan minuman dan kue-kue dalam nampan. Lalu dia meletakkan dia tas meja. Setelah itu, dia berpamitan hendak ke belakang lagi. “Bibi, sebetulnya Mas Wisnu ke sini mau ketemu Bibi. Boleh Mas Wisnu bicara sebentar!” ucapanku menghentikkan langkahnya. Bi Narti mengangguk ragu. “B—baik.” Bi Narti menjawab singkat. “Di kebun belakang, ya, Bi!” tukas Mas Wisnu. Nenek menatap heran pada Mas Wisnu, tapi Mas Wisnu tak bicara banyak. Dia hanya mengatakan ada hal penting yang harus dibahas. Akhirnya kami beranjak ke taman belakang. Mas Wisnu yang memilih tempatnya. Nenek tak ikut. Dia memilih menunggu di ruang tengah. Meskipun terlihat heran ketika kami memilih bicara di belakang. Namun, perempuan sepuh itu tak terlalu banyak tanya. Kami duduk di bangku taman yang berhadap-hadapan. Taman belakang cukup luas. Mungkin ada sekitar seratus meter persegi. Ada tiang jemuran, satu pohon mangga dan juga rumput go

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 27

    “Mas, kumohon! Jangan! Ini hanya akan membuat kamu dan Papa bertengkar. Aku, hanya mau kamu bisa bertemu dengan Wak Ratna, mengakuinya sebagai Ibu. Aku hanya ingin dia sembuh!” tukasku.Namun, dia seperti tengah kesetanan. Dia tak menjawab. Beberapa kali klakson dia pijit karena mengendarai mobil secara zigzag. “Mas, kamu sudah berjanji waktu itu, kamu akan mengabulkan tiga permintaanku. Aku memintanya sekarang, satu! Jangan bocorkan dulu apapun pada keluarga kamu! Jangan katakan, kamu sudah tahu tentang ini. Bisa kan 'Mas?” Mas Wisnu masih bergeming. Hanya saja laju mobil tidak separah tadi. Sekarang sudah lebih terkendali. “Aku ingin, kita diam-diam dulu menyembuhkan Wak Ratna. Aku yakin sekali, Mas. Obat dia hanyalah kamu. Setelah Wak Ratna sembuh, barulah kita ajak Wak Ratna bertemu dengan orang-orang yang sudah menyakitinya! Aku sudah ada ide, Mas! Aku ingin Wak Ratna kembali menempati posisinya. Kamu mau 'kan Ibu kandung kamu sehat lagi?” Hembusan napas kasar terdengar. Mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-10
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 28

    Usai makan bersama, kami pulang. Hanya aku dan Nek Ecih yang makan bersama. Mas Wisnu lebih memilih menyuapi Wak Ratna. Mereka makan berdua di kamar itu. Nek Ecih sempat heran. Mas Wisnu terlihat berubah begitu drastis. Namun, aku hanya bilang, dia tengah berempati. Syukurlah, Nek Ecih tak terlalu banyak tanya lagi. “Rencananya gimana setelah ini? Kita gak mungkin bolak-balik ke rumah Nek Ecih tiap minggu.” “Mas mau cari psikolog. Mungkin akan memintanya untuk kontrol sesuai jadwal.”“Nek Ecih tak pernah mau terima kalau Wak Ratna dikatakan sakit.” “Mas ada teman, psikolog. Kalau ke sana paling Mas sekalian mintakan tolong bawain apa saja buat Wak Ratna dan Nek Ecih. Mas akan kenalkan dia sebagai asisten Mas. Jadi Nek Ecih gak perlu tahu dia siapa."Aku menatap wajah Mas Wisnu. Dia tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Bahkan, dia langsung bergerak cepat. Lebih cepat dari pada yang kuperkirakan. Dia pun bahkan tak mempertanyakan sedikit pun hasil test DNA. Dia langsung saja p

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-10
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 29

    "Isabella Anastasya Barata!” Aku sontak mendongak. Nama itu membuatku mencari-cari keberadaannya. Suster memanggilnya sekali lagi, hingga sepasang lelaki dan perempuan berdiri dari kursi agak pojok. Beberapa detik, aku menahan napas. Wajahku terasa panas. Debum di dadaku terasa bertalu lebih cepat. Yang berdiri di sana sosok yang aku kenal, Bella. Namun, bukan itu yang membuatku merasakan dunia seperti berhenti berputar. Namun, sosok lelaki yang mendampinginya. Kenapa harus suamiku? Mas Wisnu berdiri di sisinya dan berjalan mengikuti Bella. Rasa panas sudah terasa hampir meledak. Namun, kutahan. Kutarik napas panjang. Gelisah dalam hati kuredam.Tenang, Nika! Dunia belum kiamat sekarang! Aku harus segera meminta penjelasan yang paling masuk akal. Jadi, aku putuskan untuk tak menunda-nunda lagi kesempatan. Kebetulan, nomor antrianku masih terhalang beberapa orang lagi. Usai mereka keluar, akan kusergap segera. Aku duduk dengan gelisah. Beribu kali kucoba hati ini untuk tenang, tap

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 30

    Mas Wisnu kembali setelah selesai menelpon. Dia menatapku dengan gamang. Lalu menggaruk kepala. “Ahm, Sayang! Mas lupa, kan ke sini bawa mobil sendiri! Kamu juga bawa, ya! Pulangnya gak bisa barengan, dong!” tukasnya dengan mata yang tak fokus menatap wajahku. Aku mengangkat dagu dan menatap wajahnya. Mencari alasan di balik perkataan yang tersirat tadi.“Ya, benar! Aku bawa mobil. Namun, aku mau ngasih syarat sama kamu! Kita pulang masing-masing dan biarkan perempuan itu pulang sendiri! Aku tak sudi, Bella duduk manis di samping kamu, sedangkan aku harus menyetir sendirian ke sini!” tegasku sambil tersenyum sinis ke arah Mas Wisnu. Mas Wisnu bergeming. Sepertinya kalimatku telak. Apa sebenarnya yang membuat Mas Wisnu lemah? Bukankah dia tak suka Bella juga?“Gimana, Mas?” tanyaku padanya. “Iy--Iya, Sayang.” Mas Wisnu mengangguk ragu. Aku tersenyum penuh kemenangan. Lekas kugandeng lengannya dan menuju ke arah luar. Hal pertama yang akan kulakukan adalah mengantarnya hingga ke dal

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 31

    “Gimana Mama yakin kalau Mas Wisnu yang menghamili Bella? Apa Mama melihatnya? Enggak ‘kan? Gimana kalau orang lain?” tanyaku dengan menaik turunkan satu alis. “Orang lain? Siapa? Kamu juga gak bisa bicara tanpa bukti!” ketus Mama Rida. “Oh, ya? Mama pikir, aku gak punya bukti? Sayangnya, aku memang gak mau tunjukkin ini pada Mama sendiri! Aku ingin menunjukkannya di depan semua orang! Jadi, kuharap Mama bersabar, ya!” tukasku pelan sambil tersenyum pasti. Aku masih punya bukti dan saksi kunci. Mereka tak akan bisa mengelak lagi. “Jangan ngada-ngada kamu, Nika! Gak mungkin Bella berbuat seperti itu dengan orang lain. Dia hanya cinta sama Wisnu!” sanggahnya. Sikapnya sudah mulai menunjukkan aslinya, tak santun seperti biasa dan terkesan arogan. Aku membuang napas kasar. Lalu beranjak meninggalkan Mama Rida dan mengibaskan tangan.Mama Rida menatap Mas Wisnu lalu memanggilnya. Terjeda lagi deh obrolan kami yang sedang membahas masalah Bella.Mereka pergi keluar kamar. Sementara itu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 32

    "S--Sayang … tolong, jangan bawa-bawa Papa dalam masalah ini!” Wajahnya menegang. Dia tampak tak suka ucapanku barusan. Hatiku sudah terasa panas. Lalu, aku pun menarik napas dalam-dalam. Jangan sampai karena masalah ini, aku dan Mas Wisnu malah bertengkar. Masih banyak hal yang harus kami selesaikan. “Oke, Mas. Aku minta maaf. Aku kebawa emosi! Habisnya kamu kek gitu,” tukasku pada akhirnya. Tak mau lama-lama memendam masalah. Namun, tetap saja kutekuk wajah, sebal. “Aku gak suka kalau kamu bawa-bawa Papa.” Dia bicara dengan nada masih tak enak didengar. Aku diam sambil memberengut. “Dasar lelaki, emang menyebalkan,” batinku meracau. Namun, di wajah, aku coba memasang senyuman. “Iya, sorry … aku minta maaf. Aku salah.” Pada akhirnya, aku kembali membujuknya dengan kata maaf. Dia terdiam. Lalu kudengar dia bicara, tapi entah padaku atau bukan. Tak terlalu jelas juga. Aku diamkan saja. Beberapa meniy, hening. Lalu kudengar dia bicara. “Mas juga minta maaf,” tukasnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12

Bab terbaru

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 47 - End

    Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 46

    Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 45

    Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 44

    “Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 43

    Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 42

    Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 41

    Pov 3“R—Ratna … K—kamu bener ‘kan, Ratna?” Arunika, Mas Wisnu dan Mami Ratna menoleh. Rupanya Papa Hutama nekat datang dengan susah payah. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangannya yang masih normal.Suara itu, tak banyak berubah. Mami Ranta mematung kaku menatap sepasang mata yang dulu, pernah menghujani dengan tatapan penuh cinta itu. Sepasang bibirnya terkatup rapat seiring dengan gelengan kepala yang reflek. “K--Kamu m--masih hidup?” Suara Papa Hutama bergetar. Jaraknya tak berubah. Dia pun masih berdiam di tempatnya yang tadi. Mami Ratna menggeleng kepala cepat. Namun, tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menjawab. Dia menetralkan degub jantung yang bergemuruh. Degub itu bukan karena hadirnya rasa cinta, tetapi lebih kepada rasa sesak, benci dan segumpal perasaan kecewa. Lalu, bayangan-bayangan adegan menyakitkan itu kembali berlarian dalam benak Mami Ratna. Bagaimana Papa Hutama yang begitu tega menuduhnya gi-la, lalu memasukkannya ke rumah sakit jiwa

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 40

    Pak Benny masuk ke dalam ruang kerja Papa Hutama. Setengah jam setelah Mas Wisnu memanggilnya dia datang. Papa Hutama tak mau ditemani siapapun, termasuk Mama Rida. Aku melihat, Mama Rida agak gelisah. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa. Papa Hutama sendiri yang tak membolehkannya. Tak berapa lama, Pak Benny keluar dengan Papa Hutama. Lelaki itu mendorong kursi roda yang diduduki Papa Hutama. Mama Rida bangun dari duduknya dan mendekat. Namun, sorot mata dingin Papa Hutama membuat wajah Mama Rida tampak heran.“K--Kamu kenapa, Pa?” tanya Mama Rida. Dia berusaha meraih Papa Hutama, tetapi lengan lelaki itu menepisnya.“Mulai hari ini, detik ini, saya jatuhkan talak tiga padamu, Rida!”“A--Apa, Pa? T--talak tiga?” “Ya, talak tiga dan silakan kemasi barang-barang kamu! Pergi dari rumah ini!” Suara Papa Hutama bergetar. Wajah Mama Rida tampak pucat. Bibirnya bergetar dan dia tampak menelan saliva. “Kamu kenapa, Pa? Kenapa tiba-tiba menceriakan aku tanpa sebab? Apa karena Maria dan S

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 39

    “Lalu anak siapa mereka? Selama ini, saya lihat, Mama Rida cinta mati sama Papa ….” Mas Wisnu menerawang. “Entah, yang jelas … lelaki yang Pak Hutama minta selidiki itu bernama Berry!” Prang!Kami terkejut dengan suara benda terjatuh. Ketika kami menoleh, Mami Ratna tampak gemetar dan mematung kaku. Sepasang bibirnya terdengar lirih berucap, “B--Berry? … di--dia … m--masih hidup?”“Bu Ratna!”“Mami!” Serempak aku, Mas Wisnu dan Pak Benny menoleh ke arah Mami Ratna. Dia terlihat pucat dan tangannya terlihat tremor. Mas Wisnu bergegas menghampirinya. Lalu kulihat dia membimbingnya ke dalam. Aku pun berdiri dan berpamitan pada Pak Benny. Aku harus memastikan kondisinya Mami baik-baik saja. Bi Asih tampak tergesa menuju teras. Dia sibuk membersihkan tumpahan kopi dan serpihan beling yang berserakan. Sementara itu, aku duduk di dekat Mami Ratna yang tengah minum air bening. Mas Wisnu menyimpan gelas itu ke atas meja. “Mami kenapa? Apa yang Mami tahu tentang Om Berry?”Mami Ratna menar

DMCA.com Protection Status