Aku sudah lama sekali memendam rasa, ingin melihat bagaimana ekspresi gadis cantik yang bernama Nirmala itu, ketika berhadapan secara langsung denganku. Apa apa netra bulat jernih itu, akan berkilau indah dan terpesona saat menatapku? Apa ia tidak akan berkedip beberapa saat? Atau malah ia tidak tertarik sama sekali.Jantungku selalu berdebar ketika membayangkan itu. Namun, aku bertekad kali ini, ia harus melihatku. Tatapan lembut yang berpendar itu, hanya akan tertuju padaku.Dan perayaan kecil dari perusahaan adalah saat yang paling tepat untuk mewujudkan keinginan itu.Aku mengirimkannya gaun yang didesain oleh perancang terkenal dunia ke rumahnya. Berikut perhiasan yang menurut orang lain pasti sangat mahal tapi, tentu saja aku sangat sanggup membelinya puluhan lusin jika dibutuhkan.Sekitar pukul 10 malam aku baru menginjakkan kaki di gerbang aula pesta. Sedikit terlambat dari yang kurencanakan, dikarenakan tadi ada urusan mendadak dengan para kolega penting. Padahal aku sudah
"Kenapa, kau tidak mencoba untuk berkaca, G?" "Lihatlah, kau masih saja berpenampilan seperti narapidana bahkan, setelah satu bulan keluar dari tempat terkutuk itu." "G ... kau, benar-benar lelaki yang lemah ...!" "Melihatmu seperti ini, aku ingin sekali bertemu wanita yang 'hebat' itu, G ... aku ingin melihatnya, seseorang yang telah menghabisi seluruh kepercayaan diri seorang Giantara..." "Siapa, namanya, G? Nirma..." "Cukup, Gifanny! Sudah cukup ocehanmu, dan jangan pernah sebut nama itu, di depanku!" Givanny nampaknya sedikit terkejut dengan bentakanku. Bibirnya yang dari tadi tidak berhenti nyiyir sekarang terkatup rapat. Aku menatapnya nyalang pada duplikat wajahku versi perempuan itu. Ia menunduk, lantas meraih tangan suaminya yang duduk diam di sebelahnya . Aku mengusap wajah. Kembali menatap saudari kembarku ini, kali ini dengan sorot yang lebih lunak. Aku melihat ada raut sedih di wajahnya itu. "Sebaiknya, kau kembali saja ke, Dubai, Fanny." desahk
Suara tangis bayi bersahut-sahutan menyambut kepulanganku. Segera kutaruh asal tas kerja di mana saja. Lalu segera beranjak cepat ke arah kembarku.Dadaku terasa panas ketika melihat pemandangan di depan mata. Nirmala tengah begitu asyik berkutat dengan novel-novel tebalnya, sedangkan dua bayi itu, dibiarkan saja tergolek di atas ranjang dengan suara tangisan yang sudah terdengar parau.Aku baru saja ingin merebut novel yang mengalihkan perhatian wanita itu, tapi tiba-tiba salah satu bayiku terjatuh berdebug ke lantai.Suara tangisan yang lebih keras lagi kembali terdengar ...Aku segera meraih tubuh mungil bayiku, tapi sang Ibu mereka itu, seperti tidak menghiraukan ia bahkan terlihat tidak terganggu sedikitpun.Dengan gemas sebelah tanganku merampas buku tebal
Aku bersimpuh di kaki ke dua bocah itu, mata mereka berkedip cemas dengan kedatangan kami. Apalagi Gifanny atau mungkin juga aku menatap dengan mata membeliak.Oh tidak, aku tidak boleh membiarkan mereka ketakutan.Gifanny juga telah bersimpuh, lutut kami menumpu pasir lunak pinggiran sungai kecil yang airnya mengalir dangkal di tempat ke dua anak itu merendam kaki mereka, tubuh mereka terlihat basah kuyup.Kedua tanganku mulai terulur meraih masing-masing wajah bulat penuh itu. Mereka pun tidak menghindar, hanya saling pandang dengan cemas.Jemariku menyentuh kulit lembut yang menghadirkan getar tidak biasa ke dalam aliran darah, aku memejamkan mata meresapi rasa yang begitu lega.Sungguh aku telah mencari-cari rasa ini selama lima tahun."Y
Aku seperti kembali pada masa lima tahun lalu. Di mana untuk pertama kali dada berdebar tidak biasa, menghentak dengan keras sehingga merasa rongga dada akan jebol saat mata ini melihat sosok wanita berparas ayu dengan mata bening bulat nan menghipnotis.Sekarang juga begitu. Untuk sesaat tubuh ini memegang kaku. Hanya saja tidak seperti dulu, sekarang jantungku seperti akan di cabut paksa dari tempatnya. Peristiwa demi peristiwa yang telah lalu seketika berkelebat dalam ingatan.Mata itu masih sama indahnya tapi, sembab yang menghiasi lingkaran itu, entah kenapa masih memantik rasa peduliku. Bahkan, aku merasa kalau seandainya ego ini, tidak mati-matian mempertahankan harga dirinya maka sudah dipastikan aku sudah berlari ke arahnya lalu, mendekap tubuh kurus nya dalam pelukan.Iya, aku begitu rindu. Aku berbohong kalau bilang darah ini, tidak lagi berdesir untuk
."Perhatian-perhatian... kita akan sangat sibuk hari ini. Setelah sekian lama, Akhirnya pemilik tempat ini, akan segera datang! Tentu saja dengan pengumuman ini, kita sudah tahu tugas masing-masing!"Pengumuman yang bergema di penjuru bungalow megah ini mengalihkan perhatianku yang sedang memakaikan baju kembarku. Mereka baru saja siap mandi."Mala, cepatlah ... kita tidak punya waktu banyak." Ibu datang dengan tergesa."Baiklah, Bu. Aku akan menyuapi si kembar dulu. Setelahnya aku menyusul ke rumah utama." Aku menoleh sekilas pada Ibu, tapi, ia telah hilang di balik pintu kamar.Aku mengusap pipi gembul kembarku, mata mereka menatapku polos. Kusambar sisir di meja rias lalu menyisir rambut Gifari selanjutnya rambut Grisa, yang ini membutuhkan waktu yang cukup l
"Kembalikan, anakku, bajingan!"Pekikan parau mengandung tangis ia gemakan di ruangan ber-cat putih ini. Mataku menyipit menatap ke arahnya, wajah bersimbah air mata, serta rambut acak-acakan, daster lusuh yang melekat ditubuhnya itu, tidak mampu membuat dadaku berdebar biasa saja."Apa, hakmu? Mereka anak-anakku, kau tidak boleh seenaknya mengambilnya dariku." Ujarnya lagi.Aku pikir ia akan berlari ke arahku, lalu melayangkan pukulan ke wajahku, tapi ia malah bersimpuh di di ubin dingin itu.Hanya Tuhan yang tahu betapa panas dadaku melihat ia seperti itu.Wanita ini, masih juga tidak berubah ... Apa sebentar lagi aku akan luluh dengan air matanya itu?"Nirmala ..." Aku melihat Gifanny meraih tubuh kurus itu, dari lantai. Lalu sep
Wanita itu telah berdiri dari pesakitannya di ubin yang dingin, masih menatap lurus kepadaku. Namun, beberapa saat kemudian ia terlihat oleng. Tangannya cepat ditumpukan pada tembok, mata itu, terlihat mengerjap beberapa kali. Apa ia pusing? Lalu dengan susah payah ia, menggapai pintu dan menarik handel lantas punggungnya menghilang dibalik kayu Jepara berukir itu.Aku memgehempas nafas kesal, mengusap wajah. Seharusnya kelegaan yang menguasai rongga dada ini, wanita itu pergi tanpa bisa berucap kata-kata lagi, tapi entah kenapa sudut hati yang paling dalam terasa ngilu.Tanganku bergerak menutup jendela yang semakin mengirimkan hawa dingin, kelap-kelip lampu di luar sana menerangi taman menyorot pemandangan yang menyejukkan mata tapi, tidak lantas memberi kedamaian di dada.Sesosok bayangan yang berdiri di sana membuat dadaku semakin nyeri. Yah, mungkin ia di sana sedang menumpahkan sesak. Aku tahu apa yang telah kukatakan tadi padanya tidak mudah di cerna. Seorang wanita yan