Suara tangis bayi bersahut-sahutan menyambut kepulanganku. Segera kutaruh asal tas kerja di mana saja. Lalu segera beranjak cepat ke arah kembarku.Dadaku terasa panas ketika melihat pemandangan di depan mata. Nirmala tengah begitu asyik berkutat dengan novel-novel tebalnya, sedangkan dua bayi itu, dibiarkan saja tergolek di atas ranjang dengan suara tangisan yang sudah terdengar parau.Aku baru saja ingin merebut novel yang mengalihkan perhatian wanita itu, tapi tiba-tiba salah satu bayiku terjatuh berdebug ke lantai.Suara tangisan yang lebih keras lagi kembali terdengar ...Aku segera meraih tubuh mungil bayiku, tapi sang Ibu mereka itu, seperti tidak menghiraukan ia bahkan terlihat tidak terganggu sedikitpun.Dengan gemas sebelah tanganku merampas buku tebal
Aku bersimpuh di kaki ke dua bocah itu, mata mereka berkedip cemas dengan kedatangan kami. Apalagi Gifanny atau mungkin juga aku menatap dengan mata membeliak.Oh tidak, aku tidak boleh membiarkan mereka ketakutan.Gifanny juga telah bersimpuh, lutut kami menumpu pasir lunak pinggiran sungai kecil yang airnya mengalir dangkal di tempat ke dua anak itu merendam kaki mereka, tubuh mereka terlihat basah kuyup.Kedua tanganku mulai terulur meraih masing-masing wajah bulat penuh itu. Mereka pun tidak menghindar, hanya saling pandang dengan cemas.Jemariku menyentuh kulit lembut yang menghadirkan getar tidak biasa ke dalam aliran darah, aku memejamkan mata meresapi rasa yang begitu lega.Sungguh aku telah mencari-cari rasa ini selama lima tahun."Y
Aku seperti kembali pada masa lima tahun lalu. Di mana untuk pertama kali dada berdebar tidak biasa, menghentak dengan keras sehingga merasa rongga dada akan jebol saat mata ini melihat sosok wanita berparas ayu dengan mata bening bulat nan menghipnotis.Sekarang juga begitu. Untuk sesaat tubuh ini memegang kaku. Hanya saja tidak seperti dulu, sekarang jantungku seperti akan di cabut paksa dari tempatnya. Peristiwa demi peristiwa yang telah lalu seketika berkelebat dalam ingatan.Mata itu masih sama indahnya tapi, sembab yang menghiasi lingkaran itu, entah kenapa masih memantik rasa peduliku. Bahkan, aku merasa kalau seandainya ego ini, tidak mati-matian mempertahankan harga dirinya maka sudah dipastikan aku sudah berlari ke arahnya lalu, mendekap tubuh kurus nya dalam pelukan.Iya, aku begitu rindu. Aku berbohong kalau bilang darah ini, tidak lagi berdesir untuk
."Perhatian-perhatian... kita akan sangat sibuk hari ini. Setelah sekian lama, Akhirnya pemilik tempat ini, akan segera datang! Tentu saja dengan pengumuman ini, kita sudah tahu tugas masing-masing!"Pengumuman yang bergema di penjuru bungalow megah ini mengalihkan perhatianku yang sedang memakaikan baju kembarku. Mereka baru saja siap mandi."Mala, cepatlah ... kita tidak punya waktu banyak." Ibu datang dengan tergesa."Baiklah, Bu. Aku akan menyuapi si kembar dulu. Setelahnya aku menyusul ke rumah utama." Aku menoleh sekilas pada Ibu, tapi, ia telah hilang di balik pintu kamar.Aku mengusap pipi gembul kembarku, mata mereka menatapku polos. Kusambar sisir di meja rias lalu menyisir rambut Gifari selanjutnya rambut Grisa, yang ini membutuhkan waktu yang cukup l
"Kembalikan, anakku, bajingan!"Pekikan parau mengandung tangis ia gemakan di ruangan ber-cat putih ini. Mataku menyipit menatap ke arahnya, wajah bersimbah air mata, serta rambut acak-acakan, daster lusuh yang melekat ditubuhnya itu, tidak mampu membuat dadaku berdebar biasa saja."Apa, hakmu? Mereka anak-anakku, kau tidak boleh seenaknya mengambilnya dariku." Ujarnya lagi.Aku pikir ia akan berlari ke arahku, lalu melayangkan pukulan ke wajahku, tapi ia malah bersimpuh di di ubin dingin itu.Hanya Tuhan yang tahu betapa panas dadaku melihat ia seperti itu.Wanita ini, masih juga tidak berubah ... Apa sebentar lagi aku akan luluh dengan air matanya itu?"Nirmala ..." Aku melihat Gifanny meraih tubuh kurus itu, dari lantai. Lalu sep
Wanita itu telah berdiri dari pesakitannya di ubin yang dingin, masih menatap lurus kepadaku. Namun, beberapa saat kemudian ia terlihat oleng. Tangannya cepat ditumpukan pada tembok, mata itu, terlihat mengerjap beberapa kali. Apa ia pusing? Lalu dengan susah payah ia, menggapai pintu dan menarik handel lantas punggungnya menghilang dibalik kayu Jepara berukir itu.Aku memgehempas nafas kesal, mengusap wajah. Seharusnya kelegaan yang menguasai rongga dada ini, wanita itu pergi tanpa bisa berucap kata-kata lagi, tapi entah kenapa sudut hati yang paling dalam terasa ngilu.Tanganku bergerak menutup jendela yang semakin mengirimkan hawa dingin, kelap-kelip lampu di luar sana menerangi taman menyorot pemandangan yang menyejukkan mata tapi, tidak lantas memberi kedamaian di dada.Sesosok bayangan yang berdiri di sana membuat dadaku semakin nyeri. Yah, mungkin ia di sana sedang menumpahkan sesak. Aku tahu apa yang telah kukatakan tadi padanya tidak mudah di cerna. Seorang wanita yan
"Aku meminta janjimu, Mr ..."Ia terpaku terdiam beberapa saat, menatap tajam kepadaku dengan bibir tipisnya terkatup rapat. Aku senang, sepertinya kepercayaan dirinya telah kuruntuhkan.Setelahnya kekehan sinis lolos dari mulutnya itu, ia menggaruk kening melihat mencemooh ke arahku."Sepertinya kita harus kaji ulang pernyataanku tadi malam ... Apa katamu tadi? Tidak mau jadi wanitaku? Benarkah? Baguslah, kau sadar diri rupanya. Aku juga tidak berselera lagi dengan tubuh lusuhmu itu. Kau, hanya akan jadi pengasuh anak-anakku saja ...hanya pengasuh."Aku menarik telapak tanganku yang telah pegal menengadah ke arahnya, berharap ia akan menyanggupi perjanjian yang kuinginkan. Tetapi, malah kata-kata penuh hinaan yang keluar mulutnya.Tubuhku lusuh, katanya? Sungguh aku tersinggung, tapi baguslah kalau ia berpikir begitu. Jadi nanti aku tidak akan repot menghindarinya."Orang-orang nanti hanya akan tahu kalau, kau pengasuh sikembar. Bukan Ibu mereka. Kalau, kau setuju naiklah ke mobil,
Akhirnya setelah segala usaha yang kulakukan, wanita itu mendatangiku juga ke kamar, sesaat setelah kepulanganku dari kantor.Gerakannya terlihat ragu. Jelas sekali ia telah berperang dengan batinnya sebelum menginjakkan kaki di ruangan ini.Mataku tidak lepas memindai wajah itu, tetapi tatapannya tidak pernah sekalipun ia tujukan padaku, ia begitu sibuk melihat ke mana saja.Raut yang masih saja membuat gejolak yang tidak biasa dalam dada. Bibirnya memang tidak semerekah dulu, terlihat kering dan pecah-pecah, tapi aku masih harus mati-matian menahan gelora untuk tidak memagut dan membasahinya."Kau, jahat sekali ..." ucapnya lirihnya sambil menunduk dalam-dalam, mungkin ia tengah memperkirakan berapa panjang kali lebar ubin yang dipijaknya itu.Aku tekekeh, berpura-pura tidak mengerti apa yang ia ucapkan.Kubuka dasi, jas, serta rompi yang melekat di tubuh. Sekilas pikiran nakal melintas di kepala, bagaimana kalau kuseret saja tubuh kurus tapi tetap saja membuatku darah kelelakiank
"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah m
Pov narator ( Bagian akhir) "Kalau kau terus saja melakukan ini, bisa-bisa bayi kita lahir prematur...." Lirih ucapan Nirmala di sela helaan nafas memburu, seluruh tubuhnya tidak lagi memiliki tenaga, pasrah ketika sang suami mengangkat dirinya untuk menyingkirkan seprey yang telah basah oleh cairan cinta yang berasal darinya. Giantara terkekeh senang, setelah kain putih itu teronggok di lantai sepenuhnya, ia kembali meraup tubuh polos istrinya ke dalam pelukan, mengecup pucuk kepala dan dibagian manapun ia suka, jemarinya pun membelai perut buncit yang terasa masih menegang akibat pelepasan beruntun yang di alami wanita itu. "Nggak lah sayang, justru bayi kita akan semakin kuat dan lincah, lagipula kan dokter menyarankan jika di trimester terakhir ini kita harus sering melakukannya," Giantara mengusap sisa-sisa keringat yang masih menempel di sekitar wajah Nirmala, merapikan rambut panjang yang lembab, menyatukan ke belakang hingga dada dan leher seputih pualam dan sehalus sutera
Tidak dapat kuhindari, lengan kekar itu telah meraup tubuhku ke dalam dekapan dadanya, dan dapat terdengar jelas gemuruh hebat dari dalam sana, helaan nafasnya pun begitu berat begitu sesak terhempas di pucuk kepala. Ia mengecup berkali-kali di ubun-ubun, memeluk begitu erat seakan kami tidak berjumpa bertahun-tahun. "Pergilah Joana, aku mohon bawa putrimu, biarkan dia hidup dengan tenang di sisiku ... aku siap menerima hukuman apapun karena telah mengusir anakku tapi sungguh aku tidak bisa ditinggalkan oleh wanita ini," Ia bicara putus-putus di tengah helaan nafasnya yang memburu.Aku terbungkam, yang tadi hendak membebaskan diri dari pelukannya yang memabukkan menjadi tidak bisa lagi menggerakkan otot-otot tangan. Ia tengah menyeruak pada ceruk leherku, begitu terasa nafas berat terhempas membelai, seiring pelukannya yang kian mengetat, lalu kulitku menemukan rasa hangat yang lain tersebab tetesan air matanya. Aku termenung, tidak lagi mampu bicara atau melakukan sesuatu, seme
Seperempat jam sejak panggilan di ponsel itu, suara kedatangan mobil telah terdengar menderu. Aku yang memang sengaja menanti kedatangannya di balkon melihat kendaraan tersebut diparkir asal di perkarangan. sekejap kemudian lelaki itu telah mengeluarkan diri dari sana, menghempas pintu mobil dengan kekuatan penuh lalu langkah panjang setengah berlari membawa tubuhnya dengan cepat memasuki rumah.Hitungan menit dia sudah muncul di kamar yang begitu kacau, barang-barang Joanna berserakan dan barang-barangku masih belum selesai mereka kemas. Raut pria itu begitu mengeras, denyut di rahangnya nampak begitu kentara, sesaat matanya menyapu seluruh ruangan beserta isinya membuat mereka yang masih berusaha nampak mengkerut ketakutan dan menegang, setelahnya tatapan tajamnya itu hanya tertuju padaku meminta penjelasan."Sayang ...." Suaranya berat dan tercekat, aku tahu dia tengah menahan amarah yang amat sangat.Sekejap dia telah merengkuhku, membawa tubuhku tenggelam dalam pelukannya, gemur
"Mari kita buktikan, Kak. Apa memang yang kau katakan itu benar. Jika iya, dengan suka rela aku akan pergi dari kehidupan Giantaramu itu!"Aku benar-benar tidak tahan hingga melenyapkan segala kesabaran dalam jiwa ini. Aku menyambar lengannya, ingin segera menyeretnya ke dalam kamarku.Tentu saja dia sangat terkejut dengan reaksiku, itu bisa dilihat dari ekspresinya, tatapannya yang tadinya begitu percaya diri menghujaniku kini telah berubah menjadi sorot penuh cemas."Mala, apa-apaan?" Ia menepis cengkramanku di saat langkah kaki kami sudah hampir keluar dari area taman."Kenapa, Kak? Takutkah? Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tadi!" jelasku berusaha mempertahankan cengkraman di lenganku."Jangan macam-macam, Mala. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!""Oh ya? Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku tidak akan lagi bisa berada di dalam rumah ini sebelum sebuah kejelasan!" tegasku membuat matanya begitu membola."Apa maksudmu?""Seperti yang kau inginkan, Kak.
Bukan Hasrat Suamiku 66"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah merengkuh kemenangan, mungkin karena membaca kepasrahan di ekspresi wajahku yang kesal."Seharusnya kau berterimakasih padaku, Mala. Kalau tidak Glarissa akan membuat G menyingkirkanmu dari p
"Jangan suruh kami pergi Daddy, semewah apapun rumah yang telah Daddy sediakan untuk kami tidak akan ada artinya tanpa Daddy."Aku menunggu bagaimana tanggapan Mr. Giantaraku dengan permintaan putrinya itu. Hatiku berdebar sakit melihat adegan mereka yang masih berpelukan, sangat lama. Seakan-akan Suamiku tidak ingin melepas dekapan pada anaknya tersebut.Tetapi, aku segera memakai hati ini, aku tidak boleh cemburu kalau hanya tentang putrinya, yang terpenting aku tidak boleh egois."Daddy akan selalu mengunjungimu..." Aku tercekat mendengar kalimat yang di lontarkan suamiku tepat di puncak kepala putrinya."Benarkah Daddy? Setiap hari?" Gadis remaja itu mengangkat kepala dari dada Daddynya, lalu menatapnya dengan penuh harap."Tentu, kapanpun kamu menginginkan, Daddy akan selalu datang ..."Pahit. Aku menggigit bibir, rasanya sungguh tidak terperikan. Baru kali ini aku merasakan cemburu yang begitu besar, Mr. Giantaraku sepertinya sangat mencintai putrinya.Air rupanya telah jatuh d
"Cukup, Mr... sekarang aku yang benar-benar tidak mengerti, apakah kau masih Giantara yang mencintaiku?"Aku terisak, tidak menyangka lelaki yang satu tahun ini yang telah memberikan memberikan seluruh hati, cinta dan perhatiannya untukku, kini seperti menarik segalanya kembali.Hampa perlahan menyusupi dada."Kalau kau masih bersikap kekanakan maka kau akan benar-benar melihat kemarahanku." Ia tidak peduli dengan air mataku, tetap saja melontarkan kata yang menikam hati.Ia masih menatap tajam tiada berkedip. Setelah beberapa saat terdengar hempasan nafas kesalnya, lantas ia kembali bergerak ke arah lemari melanjutkan berpakaiannya yang tertunda.Aku duduk di ranjang, mengawasinya dengan air mata yang masih menetes. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dia seperti
"Semuanya tidak seperti yang kau pikirkan sayang. Tidak ada yang akan berubah, kejadian tiba-tiba ini, tidak akan ada pengaruhnya bagi kita."Aku mengusap mata yang terasa masih basah. Sungguh, aku tidak ingin memperlihatkan ketidak inginan hati di depannya. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tapi tetap saja aku tidak bisa ber-akting dengan sempurna."Aku tidak berpikir apa-apa. Hanya saja aku sangat terkejut kalau suamiku ternyata mempunyai buah cinta dari wanita lain ..."Aku menggigit bibir agar tangis ini tidak pecah di ujung kalimat."Aku juga tidak menduga." Ia berucap pelan, sambil terus mendekapku."Tentu saja, entah berapa banyak wanita yang menjadi persinggahanmu di masa lalu. Itu bisa dimengerti, kau bukan lelaki biasa. Kau tampan dan punya banyak uang. Semuanya akan takhluk padamu." Sekarang aku benar-benar terisak."Tetapi sebagai seorang istri, hatiku hancur dengan kenyataan ini. Tiba-tiba kehidupan kita yang bahagia harus terusik oleh orang dari masa lalumu. Kau membawa