Aku bersimpuh di kaki ke dua bocah itu, mata mereka berkedip cemas dengan kedatangan kami. Apalagi Gifanny atau mungkin juga aku menatap dengan mata membeliak.Oh tidak, aku tidak boleh membiarkan mereka ketakutan.Gifanny juga telah bersimpuh, lutut kami menumpu pasir lunak pinggiran sungai kecil yang airnya mengalir dangkal di tempat ke dua anak itu merendam kaki mereka, tubuh mereka terlihat basah kuyup.Kedua tanganku mulai terulur meraih masing-masing wajah bulat penuh itu. Mereka pun tidak menghindar, hanya saling pandang dengan cemas.Jemariku menyentuh kulit lembut yang menghadirkan getar tidak biasa ke dalam aliran darah, aku memejamkan mata meresapi rasa yang begitu lega.Sungguh aku telah mencari-cari rasa ini selama lima tahun."Y
Aku seperti kembali pada masa lima tahun lalu. Di mana untuk pertama kali dada berdebar tidak biasa, menghentak dengan keras sehingga merasa rongga dada akan jebol saat mata ini melihat sosok wanita berparas ayu dengan mata bening bulat nan menghipnotis.Sekarang juga begitu. Untuk sesaat tubuh ini memegang kaku. Hanya saja tidak seperti dulu, sekarang jantungku seperti akan di cabut paksa dari tempatnya. Peristiwa demi peristiwa yang telah lalu seketika berkelebat dalam ingatan.Mata itu masih sama indahnya tapi, sembab yang menghiasi lingkaran itu, entah kenapa masih memantik rasa peduliku. Bahkan, aku merasa kalau seandainya ego ini, tidak mati-matian mempertahankan harga dirinya maka sudah dipastikan aku sudah berlari ke arahnya lalu, mendekap tubuh kurus nya dalam pelukan.Iya, aku begitu rindu. Aku berbohong kalau bilang darah ini, tidak lagi berdesir untuk
."Perhatian-perhatian... kita akan sangat sibuk hari ini. Setelah sekian lama, Akhirnya pemilik tempat ini, akan segera datang! Tentu saja dengan pengumuman ini, kita sudah tahu tugas masing-masing!"Pengumuman yang bergema di penjuru bungalow megah ini mengalihkan perhatianku yang sedang memakaikan baju kembarku. Mereka baru saja siap mandi."Mala, cepatlah ... kita tidak punya waktu banyak." Ibu datang dengan tergesa."Baiklah, Bu. Aku akan menyuapi si kembar dulu. Setelahnya aku menyusul ke rumah utama." Aku menoleh sekilas pada Ibu, tapi, ia telah hilang di balik pintu kamar.Aku mengusap pipi gembul kembarku, mata mereka menatapku polos. Kusambar sisir di meja rias lalu menyisir rambut Gifari selanjutnya rambut Grisa, yang ini membutuhkan waktu yang cukup l
"Kembalikan, anakku, bajingan!"Pekikan parau mengandung tangis ia gemakan di ruangan ber-cat putih ini. Mataku menyipit menatap ke arahnya, wajah bersimbah air mata, serta rambut acak-acakan, daster lusuh yang melekat ditubuhnya itu, tidak mampu membuat dadaku berdebar biasa saja."Apa, hakmu? Mereka anak-anakku, kau tidak boleh seenaknya mengambilnya dariku." Ujarnya lagi.Aku pikir ia akan berlari ke arahku, lalu melayangkan pukulan ke wajahku, tapi ia malah bersimpuh di di ubin dingin itu.Hanya Tuhan yang tahu betapa panas dadaku melihat ia seperti itu.Wanita ini, masih juga tidak berubah ... Apa sebentar lagi aku akan luluh dengan air matanya itu?"Nirmala ..." Aku melihat Gifanny meraih tubuh kurus itu, dari lantai. Lalu sep
Wanita itu telah berdiri dari pesakitannya di ubin yang dingin, masih menatap lurus kepadaku. Namun, beberapa saat kemudian ia terlihat oleng. Tangannya cepat ditumpukan pada tembok, mata itu, terlihat mengerjap beberapa kali. Apa ia pusing? Lalu dengan susah payah ia, menggapai pintu dan menarik handel lantas punggungnya menghilang dibalik kayu Jepara berukir itu.Aku memgehempas nafas kesal, mengusap wajah. Seharusnya kelegaan yang menguasai rongga dada ini, wanita itu pergi tanpa bisa berucap kata-kata lagi, tapi entah kenapa sudut hati yang paling dalam terasa ngilu.Tanganku bergerak menutup jendela yang semakin mengirimkan hawa dingin, kelap-kelip lampu di luar sana menerangi taman menyorot pemandangan yang menyejukkan mata tapi, tidak lantas memberi kedamaian di dada.Sesosok bayangan yang berdiri di sana membuat dadaku semakin nyeri. Yah, mungkin ia di sana sedang menumpahkan sesak. Aku tahu apa yang telah kukatakan tadi padanya tidak mudah di cerna. Seorang wanita yan
"Aku meminta janjimu, Mr ..."Ia terpaku terdiam beberapa saat, menatap tajam kepadaku dengan bibir tipisnya terkatup rapat. Aku senang, sepertinya kepercayaan dirinya telah kuruntuhkan.Setelahnya kekehan sinis lolos dari mulutnya itu, ia menggaruk kening melihat mencemooh ke arahku."Sepertinya kita harus kaji ulang pernyataanku tadi malam ... Apa katamu tadi? Tidak mau jadi wanitaku? Benarkah? Baguslah, kau sadar diri rupanya. Aku juga tidak berselera lagi dengan tubuh lusuhmu itu. Kau, hanya akan jadi pengasuh anak-anakku saja ...hanya pengasuh."Aku menarik telapak tanganku yang telah pegal menengadah ke arahnya, berharap ia akan menyanggupi perjanjian yang kuinginkan. Tetapi, malah kata-kata penuh hinaan yang keluar mulutnya.Tubuhku lusuh, katanya? Sungguh aku tersinggung, tapi baguslah kalau ia berpikir begitu. Jadi nanti aku tidak akan repot menghindarinya."Orang-orang nanti hanya akan tahu kalau, kau pengasuh sikembar. Bukan Ibu mereka. Kalau, kau setuju naiklah ke mobil,
Akhirnya setelah segala usaha yang kulakukan, wanita itu mendatangiku juga ke kamar, sesaat setelah kepulanganku dari kantor.Gerakannya terlihat ragu. Jelas sekali ia telah berperang dengan batinnya sebelum menginjakkan kaki di ruangan ini.Mataku tidak lepas memindai wajah itu, tetapi tatapannya tidak pernah sekalipun ia tujukan padaku, ia begitu sibuk melihat ke mana saja.Raut yang masih saja membuat gejolak yang tidak biasa dalam dada. Bibirnya memang tidak semerekah dulu, terlihat kering dan pecah-pecah, tapi aku masih harus mati-matian menahan gelora untuk tidak memagut dan membasahinya."Kau, jahat sekali ..." ucapnya lirihnya sambil menunduk dalam-dalam, mungkin ia tengah memperkirakan berapa panjang kali lebar ubin yang dipijaknya itu.Aku tekekeh, berpura-pura tidak mengerti apa yang ia ucapkan.Kubuka dasi, jas, serta rompi yang melekat di tubuh. Sekilas pikiran nakal melintas di kepala, bagaimana kalau kuseret saja tubuh kurus tapi tetap saja membuatku darah kelelakiank
Aku berusaha mati-matian untuk menguasai diri ketika tubuh kuatnya kembali menindihku serta segala kepiawaiannya dalam menguasai diriku kembali ditunjukkannya."Lepaskan, aku ..." Seharusnya suaraku menggelegar keras, tapi rasa hanya terdengar seperti sebuah rengekan."Jangan ..." Aku memegang tangannya yang hendak meraih leher karet dresku. "Kenapa? Sepertinya tubuhmu mengatakan hal yang lain, ia menginginkanku sekarang." ucapnya disela napas kasarnya.Ia kembali meneruskan kegiatannya itu, tapi aku harus tetap berpikir waras. Dan di saat-saat terakhir otakku bekerja.Sebuah hantaman keras dari dengkul ku arahkan pada bagian kelelakiannya.Ia terjerembab, membenamkan wajahnya ke bantal. Sepertinya itu cukup menyakitkan buatnya.Aku cepat beranjak dari ranjang itu, merapikan pakaian."Nirmala, kau benar-benar wanita, sialan ..." Ia mengumpat dengan tubuh yang masih meringkuk."Kasihan sekali, kau Mr. Giantara, tubuh lusuhku ini, tidak akan pernah bisa kau dapatkan. Kenapa, kau masih