Akhirnya setelah segala usaha yang kulakukan, wanita itu mendatangiku juga ke kamar, sesaat setelah kepulanganku dari kantor.Gerakannya terlihat ragu. Jelas sekali ia telah berperang dengan batinnya sebelum menginjakkan kaki di ruangan ini.Mataku tidak lepas memindai wajah itu, tetapi tatapannya tidak pernah sekalipun ia tujukan padaku, ia begitu sibuk melihat ke mana saja.Raut yang masih saja membuat gejolak yang tidak biasa dalam dada. Bibirnya memang tidak semerekah dulu, terlihat kering dan pecah-pecah, tapi aku masih harus mati-matian menahan gelora untuk tidak memagut dan membasahinya."Kau, jahat sekali ..." ucapnya lirihnya sambil menunduk dalam-dalam, mungkin ia tengah memperkirakan berapa panjang kali lebar ubin yang dipijaknya itu.Aku tekekeh, berpura-pura tidak mengerti apa yang ia ucapkan.Kubuka dasi, jas, serta rompi yang melekat di tubuh. Sekilas pikiran nakal melintas di kepala, bagaimana kalau kuseret saja tubuh kurus tapi tetap saja membuatku darah kelelakiank
Aku berusaha mati-matian untuk menguasai diri ketika tubuh kuatnya kembali menindihku serta segala kepiawaiannya dalam menguasai diriku kembali ditunjukkannya."Lepaskan, aku ..." Seharusnya suaraku menggelegar keras, tapi rasa hanya terdengar seperti sebuah rengekan."Jangan ..." Aku memegang tangannya yang hendak meraih leher karet dresku. "Kenapa? Sepertinya tubuhmu mengatakan hal yang lain, ia menginginkanku sekarang." ucapnya disela napas kasarnya.Ia kembali meneruskan kegiatannya itu, tapi aku harus tetap berpikir waras. Dan di saat-saat terakhir otakku bekerja.Sebuah hantaman keras dari dengkul ku arahkan pada bagian kelelakiannya.Ia terjerembab, membenamkan wajahnya ke bantal. Sepertinya itu cukup menyakitkan buatnya.Aku cepat beranjak dari ranjang itu, merapikan pakaian."Nirmala, kau benar-benar wanita, sialan ..." Ia mengumpat dengan tubuh yang masih meringkuk."Kasihan sekali, kau Mr. Giantara, tubuh lusuhku ini, tidak akan pernah bisa kau dapatkan. Kenapa, kau masih
Aku baru saja akan merebahkan tubuh di kasur setelah setelah membuat sikembar tertidur dengan bacaan dongeng.Kamar anak-anak itu bersebelahan dengan kamarku, sebenarnya aku tidak melarang kalau mereka ingin tidur dengan Bunda mereka. Tetapi, sepertinya wanita itu, tidak lagi mau dekat-dekat denganku setelah kejadian beberapa hari lalu. Ia selalu menghindar, aku tidak mempermasalahkan sikapnya itu, selama ia tidak menggangu kebersamaanku dengan anak-anakku. Walau hatiku begitu menggebu ingin melihatnya "G ..." Terdengar pintu kamar dibuka dengan kasar, hhh .. ada apa Gifanny datang selarut ini ke kamarku?Aku enggan membalikkan badan yang tengkurap. Namun, ia pasti tahu aku belum tidur."Besok, sikembar harus pulang bersama Bunda mereka ke desa." Apa? Aku berdecak dengan mata terpejam? Kenapa tiba-tiba ia berkata begitu? Tetapi, aku masih belum mengubah posisi. "Kau, dengar itu, G?" Ia sekarang sudah naik ke kasur, menggungcang bahuku keras."Apa yang membuatmu berpikir aku akan ma
Rasa lega yang membuatku begitu senang hingga aku tidak tahan untuk tidak mengunjungi si kembar malam-malam begini.Memang sejak peristiwa beberapa hati lalu, aku tidak mau lagi berkunjung ke kamar ini. Karena bersebelahan dengan kamar ayah mereka. Aku tidak mau ia mengambil kesempatan dalam kesempitan, terlebih saat itu ia begitu marah saat kutinggalkan begitu saja.Namun, setelah Gifanny barusan mengatakan kalau ia akan jadi tamengku, dan akan membuat anak-anak ini kembali bersamaku. Kerinduan yang selama ini aku pendam karena tidak ingin memancing kelakuan anarkis lelaki itu ketika melihatku.Sekarang aku tidak takut lagi, ada Gifanny yang akan membelaku jika, sewaktu-waktu kakaknya yang berwajah mafia itu akan bertindak semena-mena padaku. Kasihan wanita itu, ia terlihat sulit percaya kalau ternyata kakaknya yamg mungkin dianggapannya selama ini sangat baik ternyata adalah seorang penjahat. Kelihatan sekali kalau Ia begitu terpukul tadi.Aku mendorong pintu dengan pelan. Mataku
"Mala ...!"Gifanny masih memanggil -manggil nama wanita itu. Ia sibuk mengecek semua tempat, balkon, kamar mandi bahkan membuka-buka lemari segala."Dia, sudah pergi, Fanny." ucapku setelah membaca berkali-kali secarik kertas yang terletak di atas nakas.Gifanny mendelik tidak percaya, sebelum mulutnya membuka untuk mengucapkan sesuatu, aku buru-buru menyodorkan kertas itu, padanya."Ya, Tuhan ... kenapa, harus seperti ini? Susah sekali ya, Nirmala itu. Kalau ia sudah mendengar semuanya, ia tinggal berlari ke pelukanmu dan semua masalah selesai. Kehidupan yang bahagia sudah menanti. Lha, ini, pakai drama kabur segala."Adikku itu, terlihat sangat kesal sekali, tapi, ia malah kembali melihat marah kepadaku."Ini semua salahmu, G! Se
Aku pasti sedang berhalusinasi sekarang. Apa aku tadi tertidur di jalan dan kini sedang bermimpi? Bagaimana mungkin orang ini, masih hidup, ketika beberapa tembakan pernah mengenai batok kepalanya itu?"Kau, tidak perlu melotot seperti itu, Mala? Kau, tidak salah lihat, ini memang aku 'Suamimu' Pandu."Wajah itu terlihat menyeringai menatapku. Kemarahan serta raut kesenangan seperti bersatu dalam dirinya.Aku menggigil dengan dengan keringat dingin telah membanjiri tubuhku, nafasku terasa kian sesak ketika dua lelaki bertampang sangar dan bertubuh besar terus mencengkram lenganku dengan kasar."Ikat, dia. Jangan beri wanita ini sedikit pun kesempatan untuk melawan!"Pandu menatap sekilas kepadaku lalu, ia terdengar berbicara berbicara tidak jelas pada seseorang y
"Mr ... "Sayup-sayup pendengaranku dipenuhi oleh suara lembut mengandung tangis.Lalu mata terasa berat untuk membuka.Namun, suara itu, makin terdengar jelas."Mr ... maafkan aku ... Semua ini terjadi karena kesalahanku, kebodohanku. Seandainya aku bisa melihat sedikit saja kepedulianmu itu, tentu semua ini tidak terjadi padamu."Memangnya apa yang terjadi? Aku kembali memejamkan mata yang hampir terbuka sedikit karena terasa sangat silau dengan cahaya.Aku mencoba mengingat-ingat apa terjadi, mencari penyebab tubuh ini terasa kaku untuk digerakkan.Sementara suara lembut yang masih mengisak tangisan penyesalan masih mengalun di telinga."Aku sungguh b
Mata tua yang terlihat lelah itu, menatap kami bergantian. Sorot heran begitu nyata di wajah setengah bayanya."Ayah, ada sesuatu yang ingin, Mala sampaikan pada, Ayah..." Entah sudah kalimat sama keberapa itu, yang telah diucapkan wanita di sebelahku ini.Semakin ke sini, suaranya lirihnya telah mengandung tangis. Benar saja saat aku menoleh pipi putih bersinya sudah basah oleh air yang merembes dari ke dua bola matanya.Aku mengusap bahunya, lalu meraih tangannya. Dengan cepat ia menepisnya. Namun aku tidak melepaskan genggaman, tapi, ia bersikeras dan terjadilah tarik ulur beberapa saat di antara kami.Sedetik kemudian aku tersadar bahwa ada Ayah dan Ibunya yang duduk berhadapan dengan kami, hanya dipisahkan oleh sebuah meja."Mala ..." Nada he