"Cukup, Mr... sekarang aku yang benar-benar tidak mengerti, apakah kau masih Giantara yang mencintaiku?"Aku terisak, tidak menyangka lelaki yang satu tahun ini yang telah memberikan memberikan seluruh hati, cinta dan perhatiannya untukku, kini seperti menarik segalanya kembali.Hampa perlahan menyusupi dada."Kalau kau masih bersikap kekanakan maka kau akan benar-benar melihat kemarahanku." Ia tidak peduli dengan air mataku, tetap saja melontarkan kata yang menikam hati.Ia masih menatap tajam tiada berkedip. Setelah beberapa saat terdengar hempasan nafas kesalnya, lantas ia kembali bergerak ke arah lemari melanjutkan berpakaiannya yang tertunda.Aku duduk di ranjang, mengawasinya dengan air mata yang masih menetes. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dia seperti
"Jangan suruh kami pergi Daddy, semewah apapun rumah yang telah Daddy sediakan untuk kami tidak akan ada artinya tanpa Daddy."Aku menunggu bagaimana tanggapan Mr. Giantaraku dengan permintaan putrinya itu. Hatiku berdebar sakit melihat adegan mereka yang masih berpelukan, sangat lama. Seakan-akan Suamiku tidak ingin melepas dekapan pada anaknya tersebut.Tetapi, aku segera memakai hati ini, aku tidak boleh cemburu kalau hanya tentang putrinya, yang terpenting aku tidak boleh egois."Daddy akan selalu mengunjungimu..." Aku tercekat mendengar kalimat yang di lontarkan suamiku tepat di puncak kepala putrinya."Benarkah Daddy? Setiap hari?" Gadis remaja itu mengangkat kepala dari dada Daddynya, lalu menatapnya dengan penuh harap."Tentu, kapanpun kamu menginginkan, Daddy akan selalu datang ..."Pahit. Aku menggigit bibir, rasanya sungguh tidak terperikan. Baru kali ini aku merasakan cemburu yang begitu besar, Mr. Giantaraku sepertinya sangat mencintai putrinya.Air rupanya telah jatuh d
Bukan Hasrat Suamiku 66"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah merengkuh kemenangan, mungkin karena membaca kepasrahan di ekspresi wajahku yang kesal."Seharusnya kau berterimakasih padaku, Mala. Kalau tidak Glarissa akan membuat G menyingkirkanmu dari p
"Mari kita buktikan, Kak. Apa memang yang kau katakan itu benar. Jika iya, dengan suka rela aku akan pergi dari kehidupan Giantaramu itu!"Aku benar-benar tidak tahan hingga melenyapkan segala kesabaran dalam jiwa ini. Aku menyambar lengannya, ingin segera menyeretnya ke dalam kamarku.Tentu saja dia sangat terkejut dengan reaksiku, itu bisa dilihat dari ekspresinya, tatapannya yang tadinya begitu percaya diri menghujaniku kini telah berubah menjadi sorot penuh cemas."Mala, apa-apaan?" Ia menepis cengkramanku di saat langkah kaki kami sudah hampir keluar dari area taman."Kenapa, Kak? Takutkah? Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tadi!" jelasku berusaha mempertahankan cengkraman di lenganku."Jangan macam-macam, Mala. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!""Oh ya? Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku tidak akan lagi bisa berada di dalam rumah ini sebelum sebuah kejelasan!" tegasku membuat matanya begitu membola."Apa maksudmu?""Seperti yang kau inginkan, Kak.
Seperempat jam sejak panggilan di ponsel itu, suara kedatangan mobil telah terdengar menderu. Aku yang memang sengaja menanti kedatangannya di balkon melihat kendaraan tersebut diparkir asal di perkarangan. sekejap kemudian lelaki itu telah mengeluarkan diri dari sana, menghempas pintu mobil dengan kekuatan penuh lalu langkah panjang setengah berlari membawa tubuhnya dengan cepat memasuki rumah.Hitungan menit dia sudah muncul di kamar yang begitu kacau, barang-barang Joanna berserakan dan barang-barangku masih belum selesai mereka kemas. Raut pria itu begitu mengeras, denyut di rahangnya nampak begitu kentara, sesaat matanya menyapu seluruh ruangan beserta isinya membuat mereka yang masih berusaha nampak mengkerut ketakutan dan menegang, setelahnya tatapan tajamnya itu hanya tertuju padaku meminta penjelasan."Sayang ...." Suaranya berat dan tercekat, aku tahu dia tengah menahan amarah yang amat sangat.Sekejap dia telah merengkuhku, membawa tubuhku tenggelam dalam pelukannya, gemur
Tidak dapat kuhindari, lengan kekar itu telah meraup tubuhku ke dalam dekapan dadanya, dan dapat terdengar jelas gemuruh hebat dari dalam sana, helaan nafasnya pun begitu berat begitu sesak terhempas di pucuk kepala. Ia mengecup berkali-kali di ubun-ubun, memeluk begitu erat seakan kami tidak berjumpa bertahun-tahun. "Pergilah Joana, aku mohon bawa putrimu, biarkan dia hidup dengan tenang di sisiku ... aku siap menerima hukuman apapun karena telah mengusir anakku tapi sungguh aku tidak bisa ditinggalkan oleh wanita ini," Ia bicara putus-putus di tengah helaan nafasnya yang memburu.Aku terbungkam, yang tadi hendak membebaskan diri dari pelukannya yang memabukkan menjadi tidak bisa lagi menggerakkan otot-otot tangan. Ia tengah menyeruak pada ceruk leherku, begitu terasa nafas berat terhempas membelai, seiring pelukannya yang kian mengetat, lalu kulitku menemukan rasa hangat yang lain tersebab tetesan air matanya. Aku termenung, tidak lagi mampu bicara atau melakukan sesuatu, seme
Pov narator ( Bagian akhir) "Kalau kau terus saja melakukan ini, bisa-bisa bayi kita lahir prematur...." Lirih ucapan Nirmala di sela helaan nafas memburu, seluruh tubuhnya tidak lagi memiliki tenaga, pasrah ketika sang suami mengangkat dirinya untuk menyingkirkan seprey yang telah basah oleh cairan cinta yang berasal darinya. Giantara terkekeh senang, setelah kain putih itu teronggok di lantai sepenuhnya, ia kembali meraup tubuh polos istrinya ke dalam pelukan, mengecup pucuk kepala dan dibagian manapun ia suka, jemarinya pun membelai perut buncit yang terasa masih menegang akibat pelepasan beruntun yang di alami wanita itu. "Nggak lah sayang, justru bayi kita akan semakin kuat dan lincah, lagipula kan dokter menyarankan jika di trimester terakhir ini kita harus sering melakukannya," Giantara mengusap sisa-sisa keringat yang masih menempel di sekitar wajah Nirmala, merapikan rambut panjang yang lembab, menyatukan ke belakang hingga dada dan leher seputih pualam dan sehalus sutera
"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah m