Wanita itu telah berdiri dari pesakitannya di ubin yang dingin, masih menatap lurus kepadaku. Namun, beberapa saat kemudian ia terlihat oleng. Tangannya cepat ditumpukan pada tembok, mata itu, terlihat mengerjap beberapa kali. Apa ia pusing? Lalu dengan susah payah ia, menggapai pintu dan menarik handel lantas punggungnya menghilang dibalik kayu Jepara berukir itu.Aku memgehempas nafas kesal, mengusap wajah. Seharusnya kelegaan yang menguasai rongga dada ini, wanita itu pergi tanpa bisa berucap kata-kata lagi, tapi entah kenapa sudut hati yang paling dalam terasa ngilu.Tanganku bergerak menutup jendela yang semakin mengirimkan hawa dingin, kelap-kelip lampu di luar sana menerangi taman menyorot pemandangan yang menyejukkan mata tapi, tidak lantas memberi kedamaian di dada.Sesosok bayangan yang berdiri di sana membuat dadaku semakin nyeri. Yah, mungkin ia di sana sedang menumpahkan sesak. Aku tahu apa yang telah kukatakan tadi padanya tidak mudah di cerna. Seorang wanita yan
"Aku meminta janjimu, Mr ..."Ia terpaku terdiam beberapa saat, menatap tajam kepadaku dengan bibir tipisnya terkatup rapat. Aku senang, sepertinya kepercayaan dirinya telah kuruntuhkan.Setelahnya kekehan sinis lolos dari mulutnya itu, ia menggaruk kening melihat mencemooh ke arahku."Sepertinya kita harus kaji ulang pernyataanku tadi malam ... Apa katamu tadi? Tidak mau jadi wanitaku? Benarkah? Baguslah, kau sadar diri rupanya. Aku juga tidak berselera lagi dengan tubuh lusuhmu itu. Kau, hanya akan jadi pengasuh anak-anakku saja ...hanya pengasuh."Aku menarik telapak tanganku yang telah pegal menengadah ke arahnya, berharap ia akan menyanggupi perjanjian yang kuinginkan. Tetapi, malah kata-kata penuh hinaan yang keluar mulutnya.Tubuhku lusuh, katanya? Sungguh aku tersinggung, tapi baguslah kalau ia berpikir begitu. Jadi nanti aku tidak akan repot menghindarinya."Orang-orang nanti hanya akan tahu kalau, kau pengasuh sikembar. Bukan Ibu mereka. Kalau, kau setuju naiklah ke mobil,
Akhirnya setelah segala usaha yang kulakukan, wanita itu mendatangiku juga ke kamar, sesaat setelah kepulanganku dari kantor.Gerakannya terlihat ragu. Jelas sekali ia telah berperang dengan batinnya sebelum menginjakkan kaki di ruangan ini.Mataku tidak lepas memindai wajah itu, tetapi tatapannya tidak pernah sekalipun ia tujukan padaku, ia begitu sibuk melihat ke mana saja.Raut yang masih saja membuat gejolak yang tidak biasa dalam dada. Bibirnya memang tidak semerekah dulu, terlihat kering dan pecah-pecah, tapi aku masih harus mati-matian menahan gelora untuk tidak memagut dan membasahinya."Kau, jahat sekali ..." ucapnya lirihnya sambil menunduk dalam-dalam, mungkin ia tengah memperkirakan berapa panjang kali lebar ubin yang dipijaknya itu.Aku tekekeh, berpura-pura tidak mengerti apa yang ia ucapkan.Kubuka dasi, jas, serta rompi yang melekat di tubuh. Sekilas pikiran nakal melintas di kepala, bagaimana kalau kuseret saja tubuh kurus tapi tetap saja membuatku darah kelelakiank
Aku berusaha mati-matian untuk menguasai diri ketika tubuh kuatnya kembali menindihku serta segala kepiawaiannya dalam menguasai diriku kembali ditunjukkannya."Lepaskan, aku ..." Seharusnya suaraku menggelegar keras, tapi rasa hanya terdengar seperti sebuah rengekan."Jangan ..." Aku memegang tangannya yang hendak meraih leher karet dresku. "Kenapa? Sepertinya tubuhmu mengatakan hal yang lain, ia menginginkanku sekarang." ucapnya disela napas kasarnya.Ia kembali meneruskan kegiatannya itu, tapi aku harus tetap berpikir waras. Dan di saat-saat terakhir otakku bekerja.Sebuah hantaman keras dari dengkul ku arahkan pada bagian kelelakiannya.Ia terjerembab, membenamkan wajahnya ke bantal. Sepertinya itu cukup menyakitkan buatnya.Aku cepat beranjak dari ranjang itu, merapikan pakaian."Nirmala, kau benar-benar wanita, sialan ..." Ia mengumpat dengan tubuh yang masih meringkuk."Kasihan sekali, kau Mr. Giantara, tubuh lusuhku ini, tidak akan pernah bisa kau dapatkan. Kenapa, kau masih
Aku baru saja akan merebahkan tubuh di kasur setelah setelah membuat sikembar tertidur dengan bacaan dongeng.Kamar anak-anak itu bersebelahan dengan kamarku, sebenarnya aku tidak melarang kalau mereka ingin tidur dengan Bunda mereka. Tetapi, sepertinya wanita itu, tidak lagi mau dekat-dekat denganku setelah kejadian beberapa hari lalu. Ia selalu menghindar, aku tidak mempermasalahkan sikapnya itu, selama ia tidak menggangu kebersamaanku dengan anak-anakku. Walau hatiku begitu menggebu ingin melihatnya "G ..." Terdengar pintu kamar dibuka dengan kasar, hhh .. ada apa Gifanny datang selarut ini ke kamarku?Aku enggan membalikkan badan yang tengkurap. Namun, ia pasti tahu aku belum tidur."Besok, sikembar harus pulang bersama Bunda mereka ke desa." Apa? Aku berdecak dengan mata terpejam? Kenapa tiba-tiba ia berkata begitu? Tetapi, aku masih belum mengubah posisi. "Kau, dengar itu, G?" Ia sekarang sudah naik ke kasur, menggungcang bahuku keras."Apa yang membuatmu berpikir aku akan ma
Rasa lega yang membuatku begitu senang hingga aku tidak tahan untuk tidak mengunjungi si kembar malam-malam begini.Memang sejak peristiwa beberapa hati lalu, aku tidak mau lagi berkunjung ke kamar ini. Karena bersebelahan dengan kamar ayah mereka. Aku tidak mau ia mengambil kesempatan dalam kesempitan, terlebih saat itu ia begitu marah saat kutinggalkan begitu saja.Namun, setelah Gifanny barusan mengatakan kalau ia akan jadi tamengku, dan akan membuat anak-anak ini kembali bersamaku. Kerinduan yang selama ini aku pendam karena tidak ingin memancing kelakuan anarkis lelaki itu ketika melihatku.Sekarang aku tidak takut lagi, ada Gifanny yang akan membelaku jika, sewaktu-waktu kakaknya yang berwajah mafia itu akan bertindak semena-mena padaku. Kasihan wanita itu, ia terlihat sulit percaya kalau ternyata kakaknya yamg mungkin dianggapannya selama ini sangat baik ternyata adalah seorang penjahat. Kelihatan sekali kalau Ia begitu terpukul tadi.Aku mendorong pintu dengan pelan. Mataku
"Mala ...!"Gifanny masih memanggil -manggil nama wanita itu. Ia sibuk mengecek semua tempat, balkon, kamar mandi bahkan membuka-buka lemari segala."Dia, sudah pergi, Fanny." ucapku setelah membaca berkali-kali secarik kertas yang terletak di atas nakas.Gifanny mendelik tidak percaya, sebelum mulutnya membuka untuk mengucapkan sesuatu, aku buru-buru menyodorkan kertas itu, padanya."Ya, Tuhan ... kenapa, harus seperti ini? Susah sekali ya, Nirmala itu. Kalau ia sudah mendengar semuanya, ia tinggal berlari ke pelukanmu dan semua masalah selesai. Kehidupan yang bahagia sudah menanti. Lha, ini, pakai drama kabur segala."Adikku itu, terlihat sangat kesal sekali, tapi, ia malah kembali melihat marah kepadaku."Ini semua salahmu, G! Se
Aku pasti sedang berhalusinasi sekarang. Apa aku tadi tertidur di jalan dan kini sedang bermimpi? Bagaimana mungkin orang ini, masih hidup, ketika beberapa tembakan pernah mengenai batok kepalanya itu?"Kau, tidak perlu melotot seperti itu, Mala? Kau, tidak salah lihat, ini memang aku 'Suamimu' Pandu."Wajah itu terlihat menyeringai menatapku. Kemarahan serta raut kesenangan seperti bersatu dalam dirinya.Aku menggigil dengan dengan keringat dingin telah membanjiri tubuhku, nafasku terasa kian sesak ketika dua lelaki bertampang sangar dan bertubuh besar terus mencengkram lenganku dengan kasar."Ikat, dia. Jangan beri wanita ini sedikit pun kesempatan untuk melawan!"Pandu menatap sekilas kepadaku lalu, ia terdengar berbicara berbicara tidak jelas pada seseorang y
"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah m
Pov narator ( Bagian akhir) "Kalau kau terus saja melakukan ini, bisa-bisa bayi kita lahir prematur...." Lirih ucapan Nirmala di sela helaan nafas memburu, seluruh tubuhnya tidak lagi memiliki tenaga, pasrah ketika sang suami mengangkat dirinya untuk menyingkirkan seprey yang telah basah oleh cairan cinta yang berasal darinya. Giantara terkekeh senang, setelah kain putih itu teronggok di lantai sepenuhnya, ia kembali meraup tubuh polos istrinya ke dalam pelukan, mengecup pucuk kepala dan dibagian manapun ia suka, jemarinya pun membelai perut buncit yang terasa masih menegang akibat pelepasan beruntun yang di alami wanita itu. "Nggak lah sayang, justru bayi kita akan semakin kuat dan lincah, lagipula kan dokter menyarankan jika di trimester terakhir ini kita harus sering melakukannya," Giantara mengusap sisa-sisa keringat yang masih menempel di sekitar wajah Nirmala, merapikan rambut panjang yang lembab, menyatukan ke belakang hingga dada dan leher seputih pualam dan sehalus sutera
Tidak dapat kuhindari, lengan kekar itu telah meraup tubuhku ke dalam dekapan dadanya, dan dapat terdengar jelas gemuruh hebat dari dalam sana, helaan nafasnya pun begitu berat begitu sesak terhempas di pucuk kepala. Ia mengecup berkali-kali di ubun-ubun, memeluk begitu erat seakan kami tidak berjumpa bertahun-tahun. "Pergilah Joana, aku mohon bawa putrimu, biarkan dia hidup dengan tenang di sisiku ... aku siap menerima hukuman apapun karena telah mengusir anakku tapi sungguh aku tidak bisa ditinggalkan oleh wanita ini," Ia bicara putus-putus di tengah helaan nafasnya yang memburu.Aku terbungkam, yang tadi hendak membebaskan diri dari pelukannya yang memabukkan menjadi tidak bisa lagi menggerakkan otot-otot tangan. Ia tengah menyeruak pada ceruk leherku, begitu terasa nafas berat terhempas membelai, seiring pelukannya yang kian mengetat, lalu kulitku menemukan rasa hangat yang lain tersebab tetesan air matanya. Aku termenung, tidak lagi mampu bicara atau melakukan sesuatu, seme
Seperempat jam sejak panggilan di ponsel itu, suara kedatangan mobil telah terdengar menderu. Aku yang memang sengaja menanti kedatangannya di balkon melihat kendaraan tersebut diparkir asal di perkarangan. sekejap kemudian lelaki itu telah mengeluarkan diri dari sana, menghempas pintu mobil dengan kekuatan penuh lalu langkah panjang setengah berlari membawa tubuhnya dengan cepat memasuki rumah.Hitungan menit dia sudah muncul di kamar yang begitu kacau, barang-barang Joanna berserakan dan barang-barangku masih belum selesai mereka kemas. Raut pria itu begitu mengeras, denyut di rahangnya nampak begitu kentara, sesaat matanya menyapu seluruh ruangan beserta isinya membuat mereka yang masih berusaha nampak mengkerut ketakutan dan menegang, setelahnya tatapan tajamnya itu hanya tertuju padaku meminta penjelasan."Sayang ...." Suaranya berat dan tercekat, aku tahu dia tengah menahan amarah yang amat sangat.Sekejap dia telah merengkuhku, membawa tubuhku tenggelam dalam pelukannya, gemur
"Mari kita buktikan, Kak. Apa memang yang kau katakan itu benar. Jika iya, dengan suka rela aku akan pergi dari kehidupan Giantaramu itu!"Aku benar-benar tidak tahan hingga melenyapkan segala kesabaran dalam jiwa ini. Aku menyambar lengannya, ingin segera menyeretnya ke dalam kamarku.Tentu saja dia sangat terkejut dengan reaksiku, itu bisa dilihat dari ekspresinya, tatapannya yang tadinya begitu percaya diri menghujaniku kini telah berubah menjadi sorot penuh cemas."Mala, apa-apaan?" Ia menepis cengkramanku di saat langkah kaki kami sudah hampir keluar dari area taman."Kenapa, Kak? Takutkah? Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tadi!" jelasku berusaha mempertahankan cengkraman di lenganku."Jangan macam-macam, Mala. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!""Oh ya? Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku tidak akan lagi bisa berada di dalam rumah ini sebelum sebuah kejelasan!" tegasku membuat matanya begitu membola."Apa maksudmu?""Seperti yang kau inginkan, Kak.
Bukan Hasrat Suamiku 66"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah merengkuh kemenangan, mungkin karena membaca kepasrahan di ekspresi wajahku yang kesal."Seharusnya kau berterimakasih padaku, Mala. Kalau tidak Glarissa akan membuat G menyingkirkanmu dari p
"Jangan suruh kami pergi Daddy, semewah apapun rumah yang telah Daddy sediakan untuk kami tidak akan ada artinya tanpa Daddy."Aku menunggu bagaimana tanggapan Mr. Giantaraku dengan permintaan putrinya itu. Hatiku berdebar sakit melihat adegan mereka yang masih berpelukan, sangat lama. Seakan-akan Suamiku tidak ingin melepas dekapan pada anaknya tersebut.Tetapi, aku segera memakai hati ini, aku tidak boleh cemburu kalau hanya tentang putrinya, yang terpenting aku tidak boleh egois."Daddy akan selalu mengunjungimu..." Aku tercekat mendengar kalimat yang di lontarkan suamiku tepat di puncak kepala putrinya."Benarkah Daddy? Setiap hari?" Gadis remaja itu mengangkat kepala dari dada Daddynya, lalu menatapnya dengan penuh harap."Tentu, kapanpun kamu menginginkan, Daddy akan selalu datang ..."Pahit. Aku menggigit bibir, rasanya sungguh tidak terperikan. Baru kali ini aku merasakan cemburu yang begitu besar, Mr. Giantaraku sepertinya sangat mencintai putrinya.Air rupanya telah jatuh d
"Cukup, Mr... sekarang aku yang benar-benar tidak mengerti, apakah kau masih Giantara yang mencintaiku?"Aku terisak, tidak menyangka lelaki yang satu tahun ini yang telah memberikan memberikan seluruh hati, cinta dan perhatiannya untukku, kini seperti menarik segalanya kembali.Hampa perlahan menyusupi dada."Kalau kau masih bersikap kekanakan maka kau akan benar-benar melihat kemarahanku." Ia tidak peduli dengan air mataku, tetap saja melontarkan kata yang menikam hati.Ia masih menatap tajam tiada berkedip. Setelah beberapa saat terdengar hempasan nafas kesalnya, lantas ia kembali bergerak ke arah lemari melanjutkan berpakaiannya yang tertunda.Aku duduk di ranjang, mengawasinya dengan air mata yang masih menetes. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dia seperti
"Semuanya tidak seperti yang kau pikirkan sayang. Tidak ada yang akan berubah, kejadian tiba-tiba ini, tidak akan ada pengaruhnya bagi kita."Aku mengusap mata yang terasa masih basah. Sungguh, aku tidak ingin memperlihatkan ketidak inginan hati di depannya. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tapi tetap saja aku tidak bisa ber-akting dengan sempurna."Aku tidak berpikir apa-apa. Hanya saja aku sangat terkejut kalau suamiku ternyata mempunyai buah cinta dari wanita lain ..."Aku menggigit bibir agar tangis ini tidak pecah di ujung kalimat."Aku juga tidak menduga." Ia berucap pelan, sambil terus mendekapku."Tentu saja, entah berapa banyak wanita yang menjadi persinggahanmu di masa lalu. Itu bisa dimengerti, kau bukan lelaki biasa. Kau tampan dan punya banyak uang. Semuanya akan takhluk padamu." Sekarang aku benar-benar terisak."Tetapi sebagai seorang istri, hatiku hancur dengan kenyataan ini. Tiba-tiba kehidupan kita yang bahagia harus terusik oleh orang dari masa lalumu. Kau membawa