Mario menyimpan beberapa box makanan untuk sarapan Alma. Orangnya masih mandi, mungkin sedang berendam karena tidak terdengar kucuran air shower. Mario sibuk menyiapkan perlengkapan kerjanya, ia juga sudah siap dan rapi memakai kemeja kerja dan duduk menunggu Alma sambil menonton berita di televisi.Ceklek. Alma keluar dari kamar mandi. Matanya sedikit sembab.“Sayang, sarapan dulu yuk. Aku harus ke kantor sekarang karena ada rapat.”Alma mengangguk. Ia duduk disamping Mario. Meski terlihat sangat kentara, Mario tidak menanyakan apakah Alma habis menangis. Ia tidak mau membuatnya semakin sedih.“Ini sambelnya.” Mario memberikan plastik sambil ke arah Alma.“Iya.”“Kalo kamu mau jalan-jalan atau belanja boleh kok.”Alma menoleh, “Beneran boleh?”Mario mengangguk, “Bentar aku transfer dulu ya.”Alma hanya menatap Mario datar. Ia tahu keluarga mantan pacarnya sudah sangat kaya sekarang, tapi ia tidak tahu Mario akan sebaik ini sehingga akan memberikannya uang untuk jalan-jalan
Alma duduk tenang di sofa ketika jam dinding menunjukkan pukul 12.10 WIB. Ia menunggu Mario yang mungkin masih di jalan. Hatinya yang nyeri karena kecewa berubah nyeri karena benci. Ia mengingat dengan jelas Adam mengatakan tidak mentoleransi perselingkuhan dalam rumah tangga mereka, tapi nyatanya ia sendiri yang melanggar itu. Dan perselingkuhan itu dilakukannya dengan salah satu sahabatnya. Sungguh kotor dan menjijikkan.Pantas saja Adam tidak lagi mengiriminya pesan. Ternyata ia sudah menemukan orang baru untuk melampiaskan nafsunya yang besar. “Sayang, sori ya, jalannya macet.”Alma tersenyum, “Jakarta selalu macet.” Ia bangkit dan menghampiri Mario. “Mau makan sekarang? Aku udah pesenin chicken karage kesukaan kamu.”“Iya, boleh, kebetulan aku laper banget.”Alma mengangguk. ia bergegas menyiapkan keperluan makan untuk Mario.Mario duduk di sofa biasa sambil memindahkan channel televisi. Ia menggulung-gulung kemeja hitam yang cocok di kenakannya.“Ini, abisin ya.”“Past
Pov Suster RuthSuster Ruth mendorong gerbang dengan lemas. Ia masih berkabung namun tidak bisa di kampung lama-lama karena harus kembali bekerja. Ia juga rindu Belle dan Alma.“Eh, suster sudah pulang.” sapa pak Dani yang baru keluar dari garasi setelah membuat kopi.“Pak.”“Suster lemes banget. Belum makan?”“Udah.”“Ya udah masuk, sus, istirahat.”“Boro-boro bisa istirahat, pak. Kan saya harus langsung ngasuh Belle.”“Tenang aja, ada temennya kak Alma di dalem.”“Namanya Audy?”“Bukan, kak Sezan. Udah beberapa hari nginep disini.”Mata suster Ruth membulat, “Hah? Pak Dani gak bercanda ‘kan?”“Kok bercanda, enggak lah.”“Kok sampe nginep sih.”“Suster curiga ya?”“Eum....”“Bapak juga gak suka sama temennya kak Alma, sus.”Suster Ruth mengernyit, “Kenapa, pak?”Pak Dani membisikkan sesuatu di telinga kiri suster Ruth.“Hah?”“Gak percaya ya?”“Bukan gitu, pak. Tapi... masa sih?”“Bapak juga awalnya gak percaya, temennya pak Adam juga yang dokter nyebelin itu j
Adam menghampiri Sezan yang tengah mengelap kompor, “Sezan." Sezan menoleh, “Eh, iya, mas? Kenapa?” “Eum... saya berangkat ke rumah sakit satu jam lagi, kamu mau bareng?” Sezan melipat kain topo, “Aku ke rumah sakit mau ngapain, mas?” Adam menyentuh lehernya, “Maksud saya, saya anterin kamu pulang sekalian.” Sezan diam. Ia nampak terkejut mendengar usiran halus Adam. “Saya gak enak sama Armand, sama orang tua kamu juga. Suster Ruth udah pulang, jadi saya mau bilang makasih atas semua bantuan dan perhatian kamu sama Belle, sama saya beberapa hari ini.” “Eum, mas, suster Ruth kan baru sampe, kasian kalo harus langsung kerja. Gimana kalo sehari lagi aku disini?” Adam menggeleng, “Saya gak enak sama yang lain kamu terus ada disini. Apalagi sebentar lagi mama mau kesini buat jenguk Belle.” “Mamanya Alma?” Adam mengangguk. Sezan mengangguk, “Ya udah, aku beres-beres dulu.” Adam mengangguk lagi. Sezan berjalan pelan menuju lantai atas. Suster Ruth yang sengaja menguping dibalik
Pov AdamAdam bangkit dari posisi tiduran di dalam mobil. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Ponselnya yang bergetar dari tadi ia acuhkan. Ia tak peduli mendapat panggilan dari siapapun. Ia hanya ingin keadaan membaik dan bisa berbaikkan dengan Alma.Ponselnya bergetar panjang. Kali ini ia menoleh. Telpon dari Virza, “Dia mau ngapain sih, ganggu aja. Halo?”“Dam? Lo dimana sih? Dateng ke rumah sakit sekarang!”“Gue... gak bisa.”“Dam, lo dapet surat panggilan dari tim Disiplin dan dewan Komisaris.”DEG!Adam menutup matanya, “Oke gue ke rumah sakit sekarang.”Dengan lemas ia bersiap dalam mode menyetir. Mau tak mau ia harus mengikuti alur hidupnya yang menyakitkan. Tidak ada pilihan, tapi ia yang akan menentukan pilihan kedepannya. Ia tahu arah ini akan kemana.Mobilnya baru sampai di parkiran. Ada Virza dan Armand yang menunggunya.“Dam, are you okay?” Virza memastikan sahabatnya ini dalam keadaan baik.Adam mengangguk, “Gue siap cari loker di rumah sakit lain.”“Dam, jan
Alma memeluk mama erat begitu sampai di depan pintu. Ia yang akan membuka pintu utama rumah mama, disambut mama yang langsung merentangkan tangannya.“Maafin mama ya sayang.”Alma mendongak, “Kenapa mama minta maaf?”Mama melepas pelukkannya, “Mama ke rumah Adam tadi. Ada Sezan disana.”Alma membuang muka.“Maaf mama gak percaya dan ngira kamu yang terlalu berlebihan. Setelah mama pikir-pikir lagi, keberadaan Sezan di rumah Adam aja udah gak wajar. Tadi supir kamu bilang sikap Sezan berlebihan banget sama Adam. Dia seolah istri Adam.”Alma menunduk. Sebenarnya entah apa yang terjadi antara Adam dan Sezan. Tapi sebetulnya ia sama saja dengan mereka. Ia dan Mario sudah melakukan kesalahan teramat besar. “Ma, aku ke kamar dulu ya.” Alma menyeret kopernya dan berjalan pelan menuju kamarnya.Mama membuang nafas pelan, “Alma pasti sedih denger Sezan setega itu sama dia.”Alma menutup pintu dan menyi
Saat tadi pulang ke rumah, Adam pikir barang-barangnya akan ada di luar. Suster Ruth dan Belle terlantar dan tengah menangis. Ternyata apa yang ia takutkan tidak terjadi. Ia masih punya waktu untuk berpikir mengenai kemana ia harus pergi setelah ini.Kini mobilnya berhenti di depan pagar rumah orang tua Alma. Ia rindu sekali istrinya, tapi enggan masuk apalagi mama sedang marah padanya.Tok-Tok-Tok“Den Adam?” mbok Inah mengetok kaca mobil.Adam membuka kaca jendela mobilnya, “Mbok?”“Kok malah parkir disini?”“Eum... saya...”“Non Alma ada kok di dalem.”“Alma pulang kapan, mbok?"“Tadi pagi, den.”“Sekarang lagi ngapain?”“Paling lagi tidur di kamarnya.”“Mama sama papa ada?”“Ibu ada, bapak pergi mancing sama temennya.”Adam menghela nafas berat. Kalau ada papa ia tahu akan sedikit dibela. Kenapa situasinya jadi serba sulit begini ya? Papa
Alma mendengar semua percakapan mama dan Adam di ujung tangga. Ia tidak menyangka mama akan menyerang menantu kesayangannya itu. Meski paham mama pasti akan membelanya apalagi setelah tahu Sezan perlahan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga anak semata wayangnya, tapi ia tetap terkejut dengan apa yang terjadi barusan.“Ma, ada lagi yang mau di sampaikan?”Mama diam sebentar lalu berdehem, “Jangan salahin siapapun kalau Alma minta pisah dan balik lagi sama Mario. Tadi siang Mario datang kesini buat ngomongin kelanjutan hubungan kalian, dan hubungan mereka.”Adam yang terduduk tegap langsung menurunkan bahunya. Hilang harapannya untuk minta izin bertemu Alma. Kalau begini, jangankan minta izin bertemu Alma, satu kalimat lagi yang ia lontarkan ke mama sebagai bentuk bela dirinya saja pasti akan salah.Adam bangkit, “Saya pamit, ma. Nanti saya kesini lagi untuk ketemu Alma.”“Kalo perlu nak Adam gak perlu cari Alma lagi.”Adam diam, mungkin dengan begitu ia tidak akan memantik amar
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny