Alma memeluk mama erat begitu sampai di depan pintu. Ia yang akan membuka pintu utama rumah mama, disambut mama yang langsung merentangkan tangannya.“Maafin mama ya sayang.”Alma mendongak, “Kenapa mama minta maaf?”Mama melepas pelukkannya, “Mama ke rumah Adam tadi. Ada Sezan disana.”Alma membuang muka.“Maaf mama gak percaya dan ngira kamu yang terlalu berlebihan. Setelah mama pikir-pikir lagi, keberadaan Sezan di rumah Adam aja udah gak wajar. Tadi supir kamu bilang sikap Sezan berlebihan banget sama Adam. Dia seolah istri Adam.”Alma menunduk. Sebenarnya entah apa yang terjadi antara Adam dan Sezan. Tapi sebetulnya ia sama saja dengan mereka. Ia dan Mario sudah melakukan kesalahan teramat besar. “Ma, aku ke kamar dulu ya.” Alma menyeret kopernya dan berjalan pelan menuju kamarnya.Mama membuang nafas pelan, “Alma pasti sedih denger Sezan setega itu sama dia.”Alma menutup pintu dan menyi
Saat tadi pulang ke rumah, Adam pikir barang-barangnya akan ada di luar. Suster Ruth dan Belle terlantar dan tengah menangis. Ternyata apa yang ia takutkan tidak terjadi. Ia masih punya waktu untuk berpikir mengenai kemana ia harus pergi setelah ini.Kini mobilnya berhenti di depan pagar rumah orang tua Alma. Ia rindu sekali istrinya, tapi enggan masuk apalagi mama sedang marah padanya.Tok-Tok-Tok“Den Adam?” mbok Inah mengetok kaca mobil.Adam membuka kaca jendela mobilnya, “Mbok?”“Kok malah parkir disini?”“Eum... saya...”“Non Alma ada kok di dalem.”“Alma pulang kapan, mbok?"“Tadi pagi, den.”“Sekarang lagi ngapain?”“Paling lagi tidur di kamarnya.”“Mama sama papa ada?”“Ibu ada, bapak pergi mancing sama temennya.”Adam menghela nafas berat. Kalau ada papa ia tahu akan sedikit dibela. Kenapa situasinya jadi serba sulit begini ya? Papa
Alma mendengar semua percakapan mama dan Adam di ujung tangga. Ia tidak menyangka mama akan menyerang menantu kesayangannya itu. Meski paham mama pasti akan membelanya apalagi setelah tahu Sezan perlahan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga anak semata wayangnya, tapi ia tetap terkejut dengan apa yang terjadi barusan.“Ma, ada lagi yang mau di sampaikan?”Mama diam sebentar lalu berdehem, “Jangan salahin siapapun kalau Alma minta pisah dan balik lagi sama Mario. Tadi siang Mario datang kesini buat ngomongin kelanjutan hubungan kalian, dan hubungan mereka.”Adam yang terduduk tegap langsung menurunkan bahunya. Hilang harapannya untuk minta izin bertemu Alma. Kalau begini, jangankan minta izin bertemu Alma, satu kalimat lagi yang ia lontarkan ke mama sebagai bentuk bela dirinya saja pasti akan salah.Adam bangkit, “Saya pamit, ma. Nanti saya kesini lagi untuk ketemu Alma.”“Kalo perlu nak Adam gak perlu cari Alma lagi.”Adam diam, mungkin dengan begitu ia tidak akan memantik amar
Adam yang berdiri membelakangi Alma melepas pelukannya dengan Sezan dan membalikkan badannya, “Alma?”Butiran air mata turun perlahan dari mata Alma. Sezan yang melihat itu tersenyum diam-diam. Ia masih belum mau menunjukkan kalau ia bersaing dengan Alma terang-terangan. Bermain diam-diam membuatnya terasa aman.Adam menghampiri Alma, “Sayang, aku—"Dengan lemah Alma menjatuhkan dirinya ke dalam pelukkan Adam. Ia tidak punya sisa tenaga sedikit pun untuk melawan siapapun hari ini.Penyesalannya telah berselingkuh dengan Mario membuat energinya terkuras habis. Ditambah utlimatum mama pada Adam tadi, dan kini ia melihat suaminya berpelukkan dengan salah satu sahabatnya membuatnya amat lelah.Adam merengkuh badan mungil istrinya. Dengan nafas tertahan, ia mengusap rambut panjang Alma dengan pelan. Sezan yang masih berdiri disana mendelikkan matanya kesal. Kenapa Alma diam saja? Harusnya ia marah besar memantik amarah Adam. Bagus kalau mereka bertengkar.“Sezan.”Sezan menoleh ke
Alma mendorong Sezan pada Armand, “Bawa Sezan pulang, bang. Aku gak mau dia sampe nginjekin kaki dirumah ini lagi!”Armand melirik Sezan. Adiknya yang mendapat tatapan sinis hanya menunduk. Armand merogoh sesuatu dari saku jaketnya, “Dam, gue mau kasih ini. Ada rumah sakit baru yang butuhin dokter bedah. Lo coba aja daftar kesana.”Adam menerima brosur itu, “Makasih, Mand.”Armand mengangguk, “Zan, ayo pulang.”Sezan mengangguk. Ia tidak punya pilihan selain pulang bersama Armand.Armand melirik Alma sebelum membalikkan badannya, “Abang seneng kamu udah pulang dan baik-baik aja.”Alma mengangguk, “Makasih kemaren udah mau repot-repot cari aku.”Armand tertawa, “Masa sahabat adik abang ilang gak di cariin sih.”Alma mengangguk, “Meskipun gak ketemu, tapi ya... usahanya oke lah.”Armand tertawa.Adam yang baru tahu tadi sore mengenai Armand yang pernah meminta Alma untuk menjadi istrinya mendadak cemburu. Setidaknya ia tidak menyesal pernah menonjoknya beberapa malam lalu. Mes
Alma menaiki taksi yang ia pesan sepuluh menit setelah ia dan Adam selesai bergulat. Pikirannya melayang mengingat ucapan Adam saat ia menanyakan darimana ia tahu soal Arden. Entah ada apa dengan hubungan kakak adik ini. Ia semakin penasaran dengan yang terjadi antara mereka.Sedangkan Adam hanya bisa mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Kesempatan yang ia punya untuk berbaikkan dengan Alma malah begini jadinya. Jika sudah menyangkut Arden darahnya selalu menjadi panas dan kesal. Entah Alma tahu dari mana mengenai kakaknya itu. Virza tidak mungkin mengatakannya pada Alma. Apalagi sejujurnya Virza tidak tahu apa-apa soal Arden.“Mbak, sudah sampai.” supir taksi menoleh untuk berbicara dengan Alma.Tak ada jawaban. Sepanjang jalan Alma hanya diam melamun. Tatapannya kosong. Ia sedang merenungi hidupnya kedepan akan seperti apa. Ia yang sudah membiasakan diri dengan hal-hal penuh kejutan dan terburu-buru menjadi sedikit siap menghadapinya meskipun enggan.“Mbak?”“Kenapa, pak?”
Setelah Niko dan papanya pulang Alma masih terus duduk dipinggir kolam. Ia tidak mau makan, tidak mau tidur dan tidak mau melakukan apapun. Ia masih mau tetap disini, memutar ucapan Niko yang ada benarnya, sangat benar malahan.Menikah dengan Adam adalah keterpaksaan, tapi ia bahagia. Menikah dengan Adam memang keterpaksaan, tapi itu pilihannya. Ia bisa memilih kabur saat itu juga untuk menghindari acara ijab qabul seperti di sinetron yang sering mama tonton. Tapi ia memilih untuk menghadapi dan menikah dengan Adam.“Sayang, kok belum tidur?” papa datang dan langsung duduk disamping Alma.“Pa?”“Gimana tadi setelah ketemu Audy? Seneng?”Alma mengangguk.“Syukurlah.”Papa tidak bicara apapun lagi. Papa sibuk menatap langit yang terang karena cahaya bulan.“Pa?”Papa menoleh, “Hm?”“Tadi papa ngobrol apa aja sama papanya Mario?”“Ngobrolin kamu.”Alma mengangguk-angguk.“Tadi kita bahas pernikahan kamu sama Adam dan bahas soal kelanjutan hubungan kamu sama Mario.”Alma me
Sudah jam dua belas siang tapi Alma belum juga turun ke bawah. Ia biasanya akan bangun jam delapan dan turun ke bawah untuk makan lalu bermain ponsel sepuasanya hingga Audy dan Sezan datang menjemputnya untuk nongkrong di kafe. Tapi ini belum ada tanda-tanda sama sekali ia akan turun. Mama sedang membaca majalah di ruang tengah sambil pura-pura menonton televisi untuk menunggu Alma. Tapi tidak ada hasil. Tidak terdengar ada suara musik yang berisik atau pintu yang terbuka. “Mbok, kesini dulu.” Mbok Inah yang akan pergi ke belakang rumah berlari kecil menghampiri mama, “Kenapa, bu?” “Alma belum turun?” “Belum, bu. Apa perlu mbok bawa makannya ke atas?” “Jangan-jangan, udah biarin aja dia turun.” “Mbok takutnya non Alma emang gak mau turun, bu.” “Kenapa?” “Semalem waktu mbok kebangun jam dua malem, non Alma masih duduk lesehan sambil nangis dilawang pintu. Terus mbok samperin. Non Alma bilang dia minta mbok bujuk ibu sama bapak buat gak bikin keputusan sepihak soal perceraian n
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny