Sudah jam dua belas siang tapi Alma belum juga turun ke bawah. Ia biasanya akan bangun jam delapan dan turun ke bawah untuk makan lalu bermain ponsel sepuasanya hingga Audy dan Sezan datang menjemputnya untuk nongkrong di kafe. Tapi ini belum ada tanda-tanda sama sekali ia akan turun. Mama sedang membaca majalah di ruang tengah sambil pura-pura menonton televisi untuk menunggu Alma. Tapi tidak ada hasil. Tidak terdengar ada suara musik yang berisik atau pintu yang terbuka. “Mbok, kesini dulu.” Mbok Inah yang akan pergi ke belakang rumah berlari kecil menghampiri mama, “Kenapa, bu?” “Alma belum turun?” “Belum, bu. Apa perlu mbok bawa makannya ke atas?” “Jangan-jangan, udah biarin aja dia turun.” “Mbok takutnya non Alma emang gak mau turun, bu.” “Kenapa?” “Semalem waktu mbok kebangun jam dua malem, non Alma masih duduk lesehan sambil nangis dilawang pintu. Terus mbok samperin. Non Alma bilang dia minta mbok bujuk ibu sama bapak buat gak bikin keputusan sepihak soal perceraian n
Sudah tiga hari Alma tidak keluar kamar. Dengan sangat terpaksa makanan dibawakan ke kamarnya. Mama yang tidak terbiasa meminta Alma makan di kamar sekali pun tengah sakit terpaksa melakukan itu dari pada Alma sakit.“Ma, apa gak sebaiknya aja kita minta Adam kesini?”Mama yang sedang mengupas buah jeruk setelah selesai sarapan melirik papa dan membuang nafas pelan.“Udah tiga hari Alma terus begini. Dia gak mau mandi, makan cuma sedikit. Papa cuma gak mau Alma sakit.”“Dia gak akan sakit, pa.”“Ma, Alma selalu tidur setiap kali kita ke kamarnya. Apapun yang berlebihan pasti menimbulkan penyakit.”“Jadi papa mau nyerah? Papa mau Alma berhadapan sama masalah lagi?”“Bukan gitu, ma. Coba sekarang papa tanya, mama ada solusi biar Alma bisa kembali beraktifitas seperti biasa lagi kalau bukan kita pertemukan dia sama Adam?”Mama menaruh jeruk dan diam untuk memikirkan jalan keluar agar Alma tidak terus tidur.“Papa panggil dokter Maya aja ya kesini?”“Buat apa, pa? Kan mama udah
Mama menutup pintu kamar Alma dan mengajak dokter Maya dan papa ngobrol di balkon yang jauh dari kamar Alma.“Ada apa, dokter? Apa... keadaan Alma memprihatinkan?” papa mewakili pertanyaannya dengan mama.Dokter Maya tersenyum, “Mohon maaf sebelumnya, om, tante, saya mau tanya. Hubungan Alma sama suaminya lagi baik ‘kan?”Mama dan papa saling menatap.“Memangnya kenapa ya, dok?” papa tampak penasaran karena tebakan dokter Maya bisa tepat. “Eum... keadaan Alma seperti yang kita lihat barusan, mungkin karena masalah rumah tangganya, om."“Dokter Maya kenal sama nak Adam?” tanya mama.Dokter Maya mengangguk, “Kami pernah ko-as bareng dulu, tante. Saat acara pernikahan Alma juga kami sempet berbincang.”“Oh begitu.” “Alma tadi terus ngeliat ke arah cincin pernikahannya. Itu yang bikin saya berpikir kalau apa yang terjadi sama Alma mungkin karena masalah pernikahannya.”Mama menunduk dan papa membuang nafasnya pelan.“Saya sempet denger kabar kalo Alma pernah beberapa kali di
Alma hanya menunduk ketika Virza sibuk makan siang. Ia yang akan kembali ke rumah sakit lanjut ke rumah sakit jiwa, tidak memiliki banyak waktu sehingga ia tidak bisa ikut berempati dan menemani Alma yang tak menyentuh makanannya sama sekali.“Habis dari sini aku langsung pergi, Ma. Aku sibuk banget hari ini.”“Dokter?”“Hm?”“Bawa aku ke rumah mas Adam sekarang.”Virza berhenti mengunyah. Ia menyimpan sendok dan garpu.“Cuma anterin aja. Aku akan pulang naek taksi.”“Mama kamu bilang—”“Kalo gak sekarang aku gak tau kapan punya kesempatan untuk ketemu mas Adam lagi.”Virza mengelap mulutnya dengan tisu, “Ya udah, kamu makan dulu.”“Sekarang!”“Hah?”Alma berdiri, “Ayo.”Mau tak mau Virza harus menuruti mau Alma. Ia yang masih lapar memasukkan semua nasi goreng pesanannya ke dalam mulut, “Kamu duluan aja ke parkiran, Ma.” ucapnya dengan mulut penuh.“Tanpa disuruh juga aku bakal pergi duluan. Cepet.”“Iya.”Alma menunggu Virza yang entah sedang apa di dalam kafe. Ia me
Usai Alma dan Virza pergi, Adam masuk ke dalam rumah menggeser sofa dan memecahkan piring hias yang tergantung di dinding. Sezan yang melihat itu menjadi ketakutan. “ARGH!" Suster Ruth yang melihat dari jauh melotot. Ia tidak menyangka Adam akan marah setelah pertengakarannya dengan Alma. Ia mengerti maksud ucapan Alma. Berita mengenai Adam membunuh Dara dengan sengaja sudah tersebar ke seluruh penjuru rumah sakit saat itu. Tapi dengan cepat berita menghilang. Jika ada pegawai rumah sakit yang membahas itu maka pemecatan akan dilakukan. Setelah satu tahun lebih berlalu, suster Ruth jadi mengingat itu kembali. Dari mana Alma tahu ya masalah itu? Ia yakin Virza tidak akan pernah membahas itu dengan Alma. “Mas... kamu gak papa?” Sezan perlahan menghampiri Adam untuk menenangkannya. “Keluar!" “Tapi, mas—" Adam membalikkan badannya, “Keluar saya bilang!” Sezan gemetaran. Ia tidak terbiasa dibentak siapapun.
Satu minggu berlalu. Alma yang baru menyelesaikan konseling dengan dokter Virza dirumah sakit berdiri didepan ruang kerja Adam. Di pintu itu tak lagi tertulis nama dr Adam Peter, Sp.B. Namanya berubah menjadi nama lain. Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter pria se-usia Adam keluar dan menatap Alma.“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”Alma menggeleng, “Maaf, dok, saya cuma lewat.”Dokter itu melihat papan nama yang tertempel di pintu, “Ini ruangan bekas temen saya, dokter Adam. Mbak ada perlu sama beliau?”Alma menggeleng, “Enggak, dok.”“Kalo mbak ada perlu dengan beliau, saya bisa berikan kartu namanya.”Alma tertawa diam-diam. Dokter ini pasti teman jauh Adam, sehingga tidak tahu kalau ia adalah istrinya.“Eum, dokter Adam sekarang kerja di rumah sakit mana ya, dok?” tanyanya iseng sekalian mencari informasi.“Belum, mbak. Dokter Adam masih bingung katanya mau tetap di Jakarta atau pindah ke Surabaya.”“Surabaya?”Dokter itu mengangguk, “Semoga saja dokter Adam tidak ber
Dengan riang Alma menaiki tangga sepulang dari rumah sakit. Ia bersenandung riang seperti dulu. Mama yang baru keluar kamar senang melihat itu. Alma yang ceria akhirnya kembali.“Konselingnya dapet es krim stroberi ya?”Alma berhenti menaiki anak tangga, ia melirik mama yang berdiri di depan kamarnya. Ia menggeleng, “Lebih dari es krim stroberi.”“Kebun stroberi?”Alma tertawa, “Aku ganti baju dulu ya, ma.”Mama mengangguk, “Eh, Ma, kalo mau tidur siang sekarang aja.”“Kenapa?”“Nanti kamu kamu mau pergi ‘kan sama Mario?”“Hah?”“Loh, kok kamu gak tahu? Mario gak bilang?”Alma membuka tas tangannya dan melihat ponselnya. Ada banyak pesan dari Mario tapi ia belum membacanya. Ia melirik mama, “Chatnya belum kebuka. Aku... kayaknya mau dirumah aja deh, ma.”Mama menghampiri Alma dan diam diujung tangga, “Kenapa? Bukannya Mario ngajak kamu ke Lounge Resto Flamingo impian kamu itu ya?”Alma menggaruk rambutnya, “Aku pernah kesana sama temen yang lain. Dan... disana biasa aja te
Alma yang mengira itu Adam datang untuk menyelamatkannya entah dengan cara apapun seperti di tivi-tivi, menoleh sambil menangis dan menutup bagian pahanya yang memerah karena ulah Mario.“Niko?”“Kak, lo apa-apaan sih. Apa yang lo lakuin sama Alma?” Niko menghadang Mario.“Lo tahu apa sih, Nik. Udah, gak usah ikut campur sama urusan gue!”Alma mendekati Niko. Ia berdiri dibelakang tubuh tinggi besarnya untuk berlindung.“Apa yang lo lakuin itu salah, kak! Alma bukan orang yang bisa lo perlakukan begini.”Mario diam, entah karena apa. Tapi seingat Alma, Mario memang selalu diam saat bertengkar dengan Niko.“Alma itu istri orang. Terlepas dari itu lo gak bisa ngelakuin hal menjijikan itu sama dia.”Mario lagi-lagi diam. Niko yang mendengar isak tangis Alma dibelakang tubuhnya, meliriknya, “Ma, lo gak papa kan?”Alma tak menjawab. Badannya gemetaran. Niko yang merasa harus membawa Alma segera keluar dari sini memegang tangannya. Ia melirik Mario dengan marah, “Kalo lo ulangin