Usai Alma dan Virza pergi, Adam masuk ke dalam rumah menggeser sofa dan memecahkan piring hias yang tergantung di dinding. Sezan yang melihat itu menjadi ketakutan. “ARGH!" Suster Ruth yang melihat dari jauh melotot. Ia tidak menyangka Adam akan marah setelah pertengakarannya dengan Alma. Ia mengerti maksud ucapan Alma. Berita mengenai Adam membunuh Dara dengan sengaja sudah tersebar ke seluruh penjuru rumah sakit saat itu. Tapi dengan cepat berita menghilang. Jika ada pegawai rumah sakit yang membahas itu maka pemecatan akan dilakukan. Setelah satu tahun lebih berlalu, suster Ruth jadi mengingat itu kembali. Dari mana Alma tahu ya masalah itu? Ia yakin Virza tidak akan pernah membahas itu dengan Alma. “Mas... kamu gak papa?” Sezan perlahan menghampiri Adam untuk menenangkannya. “Keluar!" “Tapi, mas—" Adam membalikkan badannya, “Keluar saya bilang!” Sezan gemetaran. Ia tidak terbiasa dibentak siapapun.
Satu minggu berlalu. Alma yang baru menyelesaikan konseling dengan dokter Virza dirumah sakit berdiri didepan ruang kerja Adam. Di pintu itu tak lagi tertulis nama dr Adam Peter, Sp.B. Namanya berubah menjadi nama lain. Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter pria se-usia Adam keluar dan menatap Alma.“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”Alma menggeleng, “Maaf, dok, saya cuma lewat.”Dokter itu melihat papan nama yang tertempel di pintu, “Ini ruangan bekas temen saya, dokter Adam. Mbak ada perlu sama beliau?”Alma menggeleng, “Enggak, dok.”“Kalo mbak ada perlu dengan beliau, saya bisa berikan kartu namanya.”Alma tertawa diam-diam. Dokter ini pasti teman jauh Adam, sehingga tidak tahu kalau ia adalah istrinya.“Eum, dokter Adam sekarang kerja di rumah sakit mana ya, dok?” tanyanya iseng sekalian mencari informasi.“Belum, mbak. Dokter Adam masih bingung katanya mau tetap di Jakarta atau pindah ke Surabaya.”“Surabaya?”Dokter itu mengangguk, “Semoga saja dokter Adam tidak ber
Dengan riang Alma menaiki tangga sepulang dari rumah sakit. Ia bersenandung riang seperti dulu. Mama yang baru keluar kamar senang melihat itu. Alma yang ceria akhirnya kembali.“Konselingnya dapet es krim stroberi ya?”Alma berhenti menaiki anak tangga, ia melirik mama yang berdiri di depan kamarnya. Ia menggeleng, “Lebih dari es krim stroberi.”“Kebun stroberi?”Alma tertawa, “Aku ganti baju dulu ya, ma.”Mama mengangguk, “Eh, Ma, kalo mau tidur siang sekarang aja.”“Kenapa?”“Nanti kamu kamu mau pergi ‘kan sama Mario?”“Hah?”“Loh, kok kamu gak tahu? Mario gak bilang?”Alma membuka tas tangannya dan melihat ponselnya. Ada banyak pesan dari Mario tapi ia belum membacanya. Ia melirik mama, “Chatnya belum kebuka. Aku... kayaknya mau dirumah aja deh, ma.”Mama menghampiri Alma dan diam diujung tangga, “Kenapa? Bukannya Mario ngajak kamu ke Lounge Resto Flamingo impian kamu itu ya?”Alma menggaruk rambutnya, “Aku pernah kesana sama temen yang lain. Dan... disana biasa aja te
Alma yang mengira itu Adam datang untuk menyelamatkannya entah dengan cara apapun seperti di tivi-tivi, menoleh sambil menangis dan menutup bagian pahanya yang memerah karena ulah Mario.“Niko?”“Kak, lo apa-apaan sih. Apa yang lo lakuin sama Alma?” Niko menghadang Mario.“Lo tahu apa sih, Nik. Udah, gak usah ikut campur sama urusan gue!”Alma mendekati Niko. Ia berdiri dibelakang tubuh tinggi besarnya untuk berlindung.“Apa yang lo lakuin itu salah, kak! Alma bukan orang yang bisa lo perlakukan begini.”Mario diam, entah karena apa. Tapi seingat Alma, Mario memang selalu diam saat bertengkar dengan Niko.“Alma itu istri orang. Terlepas dari itu lo gak bisa ngelakuin hal menjijikan itu sama dia.”Mario lagi-lagi diam. Niko yang mendengar isak tangis Alma dibelakang tubuhnya, meliriknya, “Ma, lo gak papa kan?”Alma tak menjawab. Badannya gemetaran. Niko yang merasa harus membawa Alma segera keluar dari sini memegang tangannya. Ia melirik Mario dengan marah, “Kalo lo ulangin
Setelah pertengakaran mengenai Alma yang mengakui bahwa ia pernah melakukan kesalahan besar dengan Mario, mama belum bicara apapun dengan anak tunggalnya. Mama hanya membangunkannya, memintanya makan dan minum obat teratur agar tetap waras.Papa yang sudah tahu semua dari mama, hanya bisa memberikan wejangan pada Alma. Papa merasa bersalah karena sempat meminta Adam menceraikan putri kesayangannya. Kini ia meminta Alma untuk merenungi perbuatannya. “Mama kamu bener, sekarang kita ubah niat kamu untuk tetap bertahan sama Adam. Bukan karena Adam yang masih pantas untuk kamu, tapi apakah kamu masih pantas untuk Adam.”Pernyataan itu membuat Alma hanya terus diam merenung di kamar. Ia yang berencana pulang ke rumah Adam kemarin pagi, urung. Ia malu dan takut Adam akan mengacuhkannya.Ceklek.“Ma, lo kok gak angkat telpon gue terus sih.” Audy tahu-tahu nyelonong masuk ke dalam kamar Alma dan menjatuhkan dirinya ke kasur. “Gila panas banget di luar.”Alma menatap Audy tak berkedip.
“Mama bener gak mau ikut?” papa bertanya untuk ke sekian kalinya pada mama yang enggan ikut mengantarkan Alma ke rumah Adam. Mama menggeleng, “Mama malu. Sampein aja maaf mama ke Adam. Nanti kalo udah siap, mama pasti kesana untuk ketemu Adam langsung." Papa mengangguk, “Ya sudah.” Papa meninggalkan mama di belakang rumah. Alma yang mengatakan akan pulang hari ini ke rumah Adam kemarin malam, disambut baik oleh papa dan mama. Memang seharusnya Alma pulang dan berbaikkan dengan Adam. Soal Adam memaafkannya atau tidak itu urusan belakangan. “Kopernya udah di bagasi?” tanya papa pada Alma yang sudah duduk di samping kursi kemudi. “Udah, pa.” Papa duduk disamping Alma, “Oke, kita berangkat sekarang.” “Pa, mama... gak ikut?” tanya Alma saat papa baru menstater mobil. “Mama katanya malu sama Adam. Nanti kalo udah siap, mama pasti mau minta maaf langsung sama Adam.” “Oh gitu.” “Udah gak papa, Adam pasti ngerti.” Alma mengangguk. Papa segera melajukan mobilnya. Mobil sedan yang d
Alma menyimpan piring berisi ayam goreng ungkep, plecing kangkung, dan bakwan jagung di atas meja makan. Adam yang sudah duduk menunggunya hanya menatap istrinya tanpa bicara banyak.“Suster mana ya. Sus, ayo makan bareng.” teriak Alma.“Suster Ruth udah makan duluan tadi.” “Oh.” Alma membawa piring dan menuangkan nasi diatasnya, “Cukup, mas?”Adam mengangguk.“Aku ambilin ayamnya dua ya. Kangkungnya mau?”“Boleh.”Alma menyiukkan kangkung di atas piringnya. Tak lupa dua buah bakwan jagung juga ia taruh disana, “Makan, mas.”Adam mengangguk.Alma duduk dihadapannya menyiuk nasi, ayam, dan kangkung. Ia menunggu Adam memberikan komentar sebelum memakannya, “Gimana, mas?”Adam berhenti mengunyah dan menatap Alma, “Kamu coba aja.”Alma mencicipi masakannya. Ia mengernyit dan diam, “Mas, gak usah dimakan, rasanya aneh.”Adam tertawa, “Mubadzir kalo gak di makan. Kalo kamu gak suka, biar aku yang abisin.”Alma tersenyum malu bercampur haru, “Mas, maaf ya.”“Gak papa. Kamu pas
Adam membuka pintu kamar ketika Alma sedang memakai skincare di depan meja rias. Ia berdehem pelan ketika melihat Alma memakai lingeri kesukaannya. Dengan cepat ia membawa selimut dari lemari. “Selimut buat apa, mas?" Adam menoleh, “Buat...” ia juga mengambil bantal dari kasur, “Aku tidur di kamar lain." Alma menyimpan botol serum dan berdiri menghadap Adam, “Kenapa tidur di kamar lain?” “Gak papa." Alma menghampiri dan meraih lengan Adam, “Mas, aku minta maaf. Hal kayak kemaren sama Mario gak akan pernah terulang lagi, aku mohon maafin aku.” Adam melepaskan tangan Alma dari lengannya, “Aku udah maafin. Aku tidur dikamar lain karena besok harus bangun pagi.” Alma tak menjawab. Alasan macam apa itu. “Kalo tidur disini...” Adam melirik tubuh Alma, “Aku gak akan bisa tidur semaleman.” Adam langsung keluar dan menutup pintu dari luar. Alma duduk ditepian kasur sambil menangis. Ucapan Adam meski terdengar seperti pujian tapi ia tahu suaminya masih menghindarinya.*** Alma bangu
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny