Virza keluar dari mobilnya. Ia datang kesini untuk menjemput Adam dan mengantarkannya kerja di rumah sakit tempat kerja barunya. Karena pintu utama terbuka, ia nyelonong masuk dan mendapati Alma sedang di kipas-kipas oleh suster Ruth dan pak Dani.“Sus?”“Dokter.”“Alma kenapa?”Suster Ruth yang sedang menangis, berdiri menghadapi Virza memberikan surat gugatan cerai Adam yang ia temukan dilantai dekat lokasi Alma pingsan. Dengan wajah super serius Virza membacanya.“Adam mana?”“Bapak udah berangkat, dok.”“Naek taksi?”“Kemaein lusa bapak beli mobil baru.”“Oh gitu.” Virza melipat kertas gugatan dan menghampiri Alma, “Udah lama pingsannya?”tanyanya sambil memeriksa kondisi Alma.“Sekitar sepuluh menit lalu.” jawab pak Dani.Virza melirik suster Ruth yang terus menangis. Setelah melihat pak Dani terus berusaha membangunkan Alma dengan memberikan minyak angin, Virza menghampiri suster Ruth dan mengajaknya ke belakang rumah.“Gimana ceritanya Alma ada disini?”“Kemaren Al
Alma menangis melihat hasil tespek. Ia tidak menyangka Tuhan mendengar doanya. Ia tidak tahu akan seperti apa jadinya jika harus bercerai dari Adam. Dengan cepat ia keluar dari kamar mandi dan mencari Virza.“Dok, dokter.”Virza yang sedang menyesap kopi di dapur berdiri, “Kenapa, Ma?”Suster Ruth yang baru selesai menceboki Belle menghampiri Alma, “Ada apa?”Alma menunjukkan hasil tespeknya pada Virza dan suster Ruth, “Aku hamil. Masih samar sih tapi ini garisnya dua.”Suster Ruth yang sedang memangku Belle menyerahkan Belle pada Virza dan memeluk Alma. Mereka loncat-loncat sama persis ketika dikehamilan pertamanya dengan Audy. Virza yang memangku Belle yang belum pakai celana meringis.“Hey, jangan lama-lama pelukannya, ini Belle gimana?”Suster Ruth melepaskan pelukkannya dan membawa Belle dari pangkuan Virza, “Maaf ya, sangking senengnya aku lupa Belle baru beres cebok.”Virza menggelengkan kepalanya dan mejauhkan tangannya. Ia berlari menuju wastafel untuk cuci tangan. Su
Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi batang hidung Adam belum terlihat. Alma yang keukeuh ingin tidur setelah Adam pulang hanya berjalan lalu-lalang di ruang tamu. Sesekali ia melihat ke arah jendela, barangkali mobil suaminya itu masuk. Tapi tidak ada. Entah Adam sengaja atau tidak untuk tidak pulang malam ini.“Aduh laper lagi. Tapi gue udah makan.” Alma memainkan ponselnya sambil duduk santai di sofa untuk mengalihkan perasaan laparnya. Tapi semakin ditahan, perasaan ingin makan itu terus keluar.“Argh, bodo amat gue bakal gendut atau gimana. Gue laper banget.” Ia berlari ke dapur dan mencari daging untuk dibuat steik di lemari es, tak lupa sayur dan kentangnya juga. Sambil bersenandung Alma berhasil membuat steik sapi ala dirinya yang entah rasanya akan seperti apa. Ia membawa dua porsi steik ke ruang tamu.“Yang satu buat mas Adam. Kali aja dia belum makan.”Ia mulai memakan itu dengan lahap. Rasanya
Alma menggigit roti sandwich dengan malas. Ia tidak ingin makan setelah ucapan Adam mengenai kelanjutan gugatan cerai dan keraguan Adam soal anak siapa yang ada di dalam kandungannya. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk meyakinkan Adam kalau ini memang anaknya.“Mami?”Alma melirik suster Ruth yang baru selesai memandikan Belle, “Iya, sus?”Suster Ruth memberikan goodie bag berukuran sedang, “Aku nemu ini waktu beres-beres barang pindahan kemarin di tas Belle.”Alma menerimanya. Ia membuka goodie bag dan menemukan dalaman yang entah milik siapa, “Ini punya sus kali.”“Bukan, mami.”Alma melirik Belle yang sedang berjalan berkeliling meja makan, “Kan gak mungkin punya Belle.”Suster Ruth mendecek, “Ya bukan. Ini pasti punya... Sezan.”Alma buru-buru menutup goodie bag dan menjauhkannnya, “Ih, bakar aja, sus, biar gak menyeruak baunya.”“Hah? Daleman Sezan bau?”Alma melirik suster
“Kok kalian gak masuk?” tanya Amih lagi karena Alma dan Audy hanya berdiri diteras rumah.“Eum... itu, tante tadi aku benerin sepatu dulu.” kilah Audy. “Alma, Audy?” Sezan dan bang Armand berdiri menatap Alma dan Audy di teras rumah.“Kalian dari kapan disini?” bang Armand tampak takut dua sahabat adiknya mendengar percakapan mereka.“Baru aja, bang.” Alma menatap Audy, “Ya kan, Dy?”Audy mengangguk buru-buru.“Oyah, gue kesini cuma mau balikin ini. Barangkali lo cari ini kemana-mana.” Alma menyerahkan goodie bag pada Sezan.“Ini apa?”“Punya lo. Suster Ruth yang nemuin.”Sezan menerima goodie bag itu, “Makasih, ya, Ma. Padahal aku bisa ambil sendiri ke rumah. Kalo gini jadi nyusahin kamu.”Alma membuang mukanya. Kalau tidak ada Amih ia akan menjambak rambut Sezan, “Gak papa, gue juga lagi santai kok, jadinya bisa nganterin sendiri ke elo.”“Ayo masuk dulu, Ma, Dy, amih bi
Adam membuka kursi untuk Alma, “Silakan mami Belle.”Alma tertawa, “Terima kasih papa Belle.”Adam duduk dihadapan Alma dan tersenyum, “Akhirnya aku bisa tepatin janji aku untuk kita makan berdua.”“Padahal kalo sama Belle juga gak papa kok, mas.”“Aku udah janji ‘kan buat pergi cuma berdua sama kamu? Ya meskipun cuma makan gini sih.”“Gak papa kok, mas. Aku tahu karena kamu baru pindah ke rumah sakit baru, jadi kamu gak bisa cuti dulu.”“Nanti aku usahain untuk ambil cuti supaya kita bisa nginep di puncak berdua.”Alma mengangguk.Adam memanggil pramusaji untuk memesan menu spesial di resto ini. Alma memesan sate sapi.“Sayang,”“Hm?”“Selama kamu hamil kurangin makan yang dibakar ya. Kalo lagi pengen banget boleh, tapi jangan keseringan.”“Kenapa, mas?”“Kurang baik buat janin. Kamu pesen yang lain aja dulu.”“Oh, ya udah aku pesen Bistik Sapi aja. Kamu apa, mas?”Adam menatap pramusaji yang sedang mencatat pesanan mereka, “Samain aja. Bistik Sapi dua, minumnya jus
Mobil melaju cepat, membuat Alma yang berdiri takut semakin percaya bahwa itu adalah Arden. Badannya limbung. Seharusnya ia bisa menahan Arden lebih lama untuk bisa menanyakan banyak hal mengenai Adam.“Alma, kok udah pulang? Cepet banget.” Virza keluar dibuntuti suster Ruth yang memangku Belle.Alma membalikkan badannya menatap Virza, “Dokter Virza punya kontak dokter atau perawat yang kerja di rumah sakit tempat mas Adam kerja sekarang gak?”Virza mengangguk, “Ada.”“Aku mau minta tolong tanyain ada mas Adam gak dirumah sakit.”“Hah?”Alma menangkupkan kedua tangannya, “Plis, sekarang.”Virza mengangguk, ia merogoh ponselnya dari belakang saku celananya. Tidak lama sambungan telpon tersambung, “Halo, dokter Aul?”“Halo, dokter Virza, ada yang bisa dibantu?”“Dokter Aul masih kerja dibagian UGD?”“Masih, dok. Ada apa ya?”“Ada dokter Adam disana?”“Ada, dok. Sekitar lima lima belas menit lalu sampai. Dokter Adam langsung melakukan operasi pada pasien yang mengalami trauma
Pov AdamAdam mengecek kateter yang menempel pada tubuh pasien yang semalam di operasinya. Aman. Selang infus juga bekerja dengan baik. Kesadaran pasiennya baru ada menjelang pagi, sehingga kini saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, ia masih berada di ruang perawatan intensif untuk terus memantau perkembangan pasiennya.“Permisi, dok, untuk jadwal konsultasi rawat jalan apakah mau di jadwalkan ulang? Dokter belum istirahat.” seorang suster menemuinya di depan ruang ICU.“Gak usah, sus. Kita mulai lima belas menit lagi. Saya mandi dulu. Paling nanti pasien di batasi aja sampe... dua belas pasien.”“Baik, dok. Dokter mau saya pesankan makan di ruangan?”Adam menggeleng, “Saya udah makan roti tadi. Paling saya minta tolong beliin kopi tanpa gula di kantin, terus taruh aja di ruangan praktek.” Ia merogoh dompetnya lalu menyerahkan kartu debit pada suster, “Ini kartunya. Kalo suster mau beli yang lain silakan.”“Baik, dokter, terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi.”Adam