Pov AdamAdam mengecek kateter yang menempel pada tubuh pasien yang semalam di operasinya. Aman. Selang infus juga bekerja dengan baik. Kesadaran pasiennya baru ada menjelang pagi, sehingga kini saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, ia masih berada di ruang perawatan intensif untuk terus memantau perkembangan pasiennya.“Permisi, dok, untuk jadwal konsultasi rawat jalan apakah mau di jadwalkan ulang? Dokter belum istirahat.” seorang suster menemuinya di depan ruang ICU.“Gak usah, sus. Kita mulai lima belas menit lagi. Saya mandi dulu. Paling nanti pasien di batasi aja sampe... dua belas pasien.”“Baik, dok. Dokter mau saya pesankan makan di ruangan?”Adam menggeleng, “Saya udah makan roti tadi. Paling saya minta tolong beliin kopi tanpa gula di kantin, terus taruh aja di ruangan praktek.” Ia merogoh dompetnya lalu menyerahkan kartu debit pada suster, “Ini kartunya. Kalo suster mau beli yang lain silakan.”“Baik, dokter, terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi.”Adam
8 bulan kemudian...Alma bersusah payah menuruni anak tangga. Ia yang sudah tidak sanggup naik turun tangga meminta Adam untuk memindahkan kamar mereka sementara di kamar bawah.“Sayang, ‘kan aku udah bilang kamu diem aja. Biar aku yang bawa barang-barangnya dari atas.”“Mas, aku cuma bawa ini aja. Gak berat kok.” Alma menunjukkan sekotak skincare yang ia bawa.Adam membawa kotak itu, “Ini yang terakhir. Kamu duduk aja, aku yang beresin di kamar.”Alma tersenyum. Delapan bulan ini hidupnya amat bahagia, bersama Adam yang semakin perhatian padanya, dan bersama Belle yang kini sudah tumbuh makin besar dan cantik. Suster Ruth yang masih bekerja disini juga memiliki hubungan yang serius dengan Virza.“Mamii.” Belle yang baru pulang jalan-jalan dengan suster Ruth mengelilingi komplek menghampirinya yang tengah duduk di sofa ruang tv.“Sini, duduk samping mami, Belle.”Belle yang kini sudah mau berusia dua tahun sudah bisa mengikuti perintah dengan baik. Ia menaiki sofa sendiri, “M
Alma masih menangis menahan sakit untuk banyak hal. Ia terus mengelus perut besarnya sambil berharap tidak akan terjadi apa-apa pada kandungannya. “Alma.” “Maaaah, sakit.” Mama menangis melihat Alma yang terduduk di lantai toilet bersama beberapa pengunjung lain. Ia melirik Audy, “Dy, telpon ambulance. Cepet.” “I-iya, tante.” Audy segera menelpon ambulance. Ia sangat merasa bersalah meninggalkan Alma sendirian sehingga kecelakaan seperti ini bisa terjadi. Mama memeluk Alma, “Sabar ya, sayang, sebentar lagi ambulancenya pasti dateng.” Alma mengangguk dalam pelukkan pengunjung yang menemaninya disini. Tidak lama ambulance datang, Alma dibantu tim melalui jalur evakuasi untuk bisa sampai di parkiran. Mama menemaninya di ambulance, sedangkan Audy terpaksa harus membawa mobilnya ke rumah sakit. Tadi ia sempat memaksa agar ikut menemani Alma, tapi mama bersikukuh memintanya untuk membawa mobilnya sendiri. Di
Mario gelagapan, “Eum... dari... Audy. Iya dari Audy.”“Oh. Saya permisi.”Mario membuang nafas lega ketika Adam berlari ke lorong mana, entahlah. Ia yang akan masuk dan sudah memegang handel pintu, urung. Untungnya ia bisa melihat kehadiran mama.“Sial, kenapa ada mamanya disini. Gue pikir ada si Audy aja.”“Kamu gak akan bisa ketemu Alma.”Mario menoleh, “Zan? Kenapa lo ngelakuin ini?”“Alma terlalu ikut campur.”“Zan, Alma sampe di larikan ke UGD, dan sekarang dia harus dirawat dua hari disini. Lo emang udah gila.”“Mulut Alma terlalu pedes. Aku gak bisa diem aja tiap dia ngomong. Apalagi pas dia nyebut aku perempuan Ular.”Mario tertawa, “Faktanya lo emang Ular.”“Rio, jaga mulut kamu!”“Gue? Kenapa gue harus jaga mulut gue? Sedangkan lo dengan bebas bisa celakain Alma. Zan, inget ya, hal kayak gini gak ada dalam rencana kita. Lo mencelakai Alma, itu artinya lo mencelak
Pov SezanSezan mengatur nafasnya ketika berdiri di depan cermin westafel rumah sakit. Ia tidak bisa pulang begitu saja dengan tangan kosong. Ia senang membuat Alma nyaris kehilangan bayinya, tapi itu belum cukup. Kalau bisa ia ingin melenyapkan bayi itu agar Adam bisa menyalahkannya dan menuduh tidak becus menjaga kandungan. Tapi sekarang tidak mungkin karena mamanya dan Audy terus berada disampingnya.“Aku harus cari cara lain bikin Alma kehilangan anaknya. Tapi apa ya? Ah, aku tahu.”Sezan merogoh ponsel dari tas tangannya, ia mencari kontak Armand dan menelponnya, “Bang?”“Kenapa?”“Aku... boleh minta obat waktu itu lagi gak?”“Buat?”“Aku lagi butuh, bang. Di rumah ada ‘kan?”“Bentar, Zan, ada Virza.”Sezan tetap menaruh ponselnya ditelinga, barangkali ia bisa mendengar percakapan Armand dengan Virza.“Hah? Alma masuk rumah sakit karena jatoh di toilet mall?” terdengar suara Arma
Setelah dua hari mendapatkan perawatan intensif, Alma diperbolehkan pulang dengan syarat ia harus melakukan bedrest sampai kontrol berikutnya. Adam yang sangat sibuk di rumah sakit tidak bisa mengantar pulang, sehingga ia meminta mama dan Audy untuk mengantar Alma pulang sekalian menginap. Sudah beberapa hari ini Adam tidak bisa pulang karena banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan segera. “Sayang, maaf ya aku gak ikut anterin kamu.” Adam berjongkok di depan kursi roda. Ia terus memegangi dan mencium punggung tangan Alma. Alma mengangguk, “Iya, gak papa, kok, mas. Aku udah denger dari dokter residen, pasien kamu dari rumah sakit lama pada pindah kesini demi bisa dapetin jasa perawatan dari kamu.” “Aku janji langsung pulang dan kita akan liburan ke Puncak.” Alma manyun, “Kan aku harus bedrest, mas, jadi gak bisa kemana-mana dulu. Perut aku rasanya masih ngilu banget.” Mama dan Audy tertawa. “Kalo gitu kalian liburannya di kamar aja. Kunci pintunya dan jauhkan Belle dari kamar. K
“Papa pulaaaaang.” Adam melenggang membawa beberapa goodie bag berisi makanan pesanan Alma dan Belle.“Papa.” Belle berlari menghampiri Adam. “Belle naneun.”“Oyah?” Adam memangku Belle, “Tapi papa gak kangen sama Belle.”“Papa hahat.”Adam tertawa.Alma berjalan mendekati Adam, “Iya ya, papa jahat karena baru pulang. Kita bukan prioritasnya lagi, Belle.”“Iya.”Adam menurunkan Belle dan membiarkannya berjalan ke arah ruang tv membawa salah satu goodie bag berisi waffle, “Enak ya sekarang udah ngajakin Belle buat jadi koloni kamu.”Alma tertawa, “Cemburu nih yeee.”Adam berjongkok dan mengusap perut Alma, “Dia suka nendang ‘kan?”Alma mengangguk, “Suka dong. Tendangannya mirip sama tendangan aku.”Adam menatap Alma, “Wah, bahaya sih itu.” ia mengelus perut besar Alma, “Dek? Ini papa, mana papa pengen liat tendangan kamu.”Tidak ada pergerakkan.Adam mena
Alma cemberut begitu selesai masak. Ia duduk karena kelelahan. Adam yang pagi ini masih ada waktu untuk dirumah sedang senang menggodanya.“Kan udah aku bilang kamu gak usah masak.”“Aku capek bukan karena masak, mas, tapi karena... ah males aku bilangnya.”Adam tertawa, “Mereka meyakini anak ini ‘kan anak Mario. Sebelum kamu bisa tunjukin hasil tes DNA aku yakin hal kayak gini pasti bakal terus terjadi.”Alma melirik Adam yang tengah memotong buah mangga.“Kamu nikmatin aja. Sabar ya, sebentar lagi. Tiga minggu lagi semua drama ini bakal selesai. Ya.... itu pun kalo tes DNA nunjukin itu anak aku.”“Maaas.” rajuknya.Adam tertawa, “Sana kamu ke kamar aja rebahan.”“Gak mau. Nanti kamu tiba-tiba hilang.”“Hah? Aku hilang?”“Kamu tuh suka ke rumah sakit diem-diem kalo aku tidur di kamar.”“Aku nyuruh kamu rebahan, bukan tidur.”Alma tertawa canggung, “Aku suka ngant