Alma masih menangis menahan sakit untuk banyak hal. Ia terus mengelus perut besarnya sambil berharap tidak akan terjadi apa-apa pada kandungannya. “Alma.” “Maaaah, sakit.” Mama menangis melihat Alma yang terduduk di lantai toilet bersama beberapa pengunjung lain. Ia melirik Audy, “Dy, telpon ambulance. Cepet.” “I-iya, tante.” Audy segera menelpon ambulance. Ia sangat merasa bersalah meninggalkan Alma sendirian sehingga kecelakaan seperti ini bisa terjadi. Mama memeluk Alma, “Sabar ya, sayang, sebentar lagi ambulancenya pasti dateng.” Alma mengangguk dalam pelukkan pengunjung yang menemaninya disini. Tidak lama ambulance datang, Alma dibantu tim melalui jalur evakuasi untuk bisa sampai di parkiran. Mama menemaninya di ambulance, sedangkan Audy terpaksa harus membawa mobilnya ke rumah sakit. Tadi ia sempat memaksa agar ikut menemani Alma, tapi mama bersikukuh memintanya untuk membawa mobilnya sendiri. Di
Mario gelagapan, “Eum... dari... Audy. Iya dari Audy.”“Oh. Saya permisi.”Mario membuang nafas lega ketika Adam berlari ke lorong mana, entahlah. Ia yang akan masuk dan sudah memegang handel pintu, urung. Untungnya ia bisa melihat kehadiran mama.“Sial, kenapa ada mamanya disini. Gue pikir ada si Audy aja.”“Kamu gak akan bisa ketemu Alma.”Mario menoleh, “Zan? Kenapa lo ngelakuin ini?”“Alma terlalu ikut campur.”“Zan, Alma sampe di larikan ke UGD, dan sekarang dia harus dirawat dua hari disini. Lo emang udah gila.”“Mulut Alma terlalu pedes. Aku gak bisa diem aja tiap dia ngomong. Apalagi pas dia nyebut aku perempuan Ular.”Mario tertawa, “Faktanya lo emang Ular.”“Rio, jaga mulut kamu!”“Gue? Kenapa gue harus jaga mulut gue? Sedangkan lo dengan bebas bisa celakain Alma. Zan, inget ya, hal kayak gini gak ada dalam rencana kita. Lo mencelakai Alma, itu artinya lo mencelak
Pov SezanSezan mengatur nafasnya ketika berdiri di depan cermin westafel rumah sakit. Ia tidak bisa pulang begitu saja dengan tangan kosong. Ia senang membuat Alma nyaris kehilangan bayinya, tapi itu belum cukup. Kalau bisa ia ingin melenyapkan bayi itu agar Adam bisa menyalahkannya dan menuduh tidak becus menjaga kandungan. Tapi sekarang tidak mungkin karena mamanya dan Audy terus berada disampingnya.“Aku harus cari cara lain bikin Alma kehilangan anaknya. Tapi apa ya? Ah, aku tahu.”Sezan merogoh ponsel dari tas tangannya, ia mencari kontak Armand dan menelponnya, “Bang?”“Kenapa?”“Aku... boleh minta obat waktu itu lagi gak?”“Buat?”“Aku lagi butuh, bang. Di rumah ada ‘kan?”“Bentar, Zan, ada Virza.”Sezan tetap menaruh ponselnya ditelinga, barangkali ia bisa mendengar percakapan Armand dengan Virza.“Hah? Alma masuk rumah sakit karena jatoh di toilet mall?” terdengar suara Arma
Setelah dua hari mendapatkan perawatan intensif, Alma diperbolehkan pulang dengan syarat ia harus melakukan bedrest sampai kontrol berikutnya. Adam yang sangat sibuk di rumah sakit tidak bisa mengantar pulang, sehingga ia meminta mama dan Audy untuk mengantar Alma pulang sekalian menginap. Sudah beberapa hari ini Adam tidak bisa pulang karena banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan segera. “Sayang, maaf ya aku gak ikut anterin kamu.” Adam berjongkok di depan kursi roda. Ia terus memegangi dan mencium punggung tangan Alma. Alma mengangguk, “Iya, gak papa, kok, mas. Aku udah denger dari dokter residen, pasien kamu dari rumah sakit lama pada pindah kesini demi bisa dapetin jasa perawatan dari kamu.” “Aku janji langsung pulang dan kita akan liburan ke Puncak.” Alma manyun, “Kan aku harus bedrest, mas, jadi gak bisa kemana-mana dulu. Perut aku rasanya masih ngilu banget.” Mama dan Audy tertawa. “Kalo gitu kalian liburannya di kamar aja. Kunci pintunya dan jauhkan Belle dari kamar. K
“Papa pulaaaaang.” Adam melenggang membawa beberapa goodie bag berisi makanan pesanan Alma dan Belle.“Papa.” Belle berlari menghampiri Adam. “Belle naneun.”“Oyah?” Adam memangku Belle, “Tapi papa gak kangen sama Belle.”“Papa hahat.”Adam tertawa.Alma berjalan mendekati Adam, “Iya ya, papa jahat karena baru pulang. Kita bukan prioritasnya lagi, Belle.”“Iya.”Adam menurunkan Belle dan membiarkannya berjalan ke arah ruang tv membawa salah satu goodie bag berisi waffle, “Enak ya sekarang udah ngajakin Belle buat jadi koloni kamu.”Alma tertawa, “Cemburu nih yeee.”Adam berjongkok dan mengusap perut Alma, “Dia suka nendang ‘kan?”Alma mengangguk, “Suka dong. Tendangannya mirip sama tendangan aku.”Adam menatap Alma, “Wah, bahaya sih itu.” ia mengelus perut besar Alma, “Dek? Ini papa, mana papa pengen liat tendangan kamu.”Tidak ada pergerakkan.Adam mena
Alma cemberut begitu selesai masak. Ia duduk karena kelelahan. Adam yang pagi ini masih ada waktu untuk dirumah sedang senang menggodanya.“Kan udah aku bilang kamu gak usah masak.”“Aku capek bukan karena masak, mas, tapi karena... ah males aku bilangnya.”Adam tertawa, “Mereka meyakini anak ini ‘kan anak Mario. Sebelum kamu bisa tunjukin hasil tes DNA aku yakin hal kayak gini pasti bakal terus terjadi.”Alma melirik Adam yang tengah memotong buah mangga.“Kamu nikmatin aja. Sabar ya, sebentar lagi. Tiga minggu lagi semua drama ini bakal selesai. Ya.... itu pun kalo tes DNA nunjukin itu anak aku.”“Maaas.” rajuknya.Adam tertawa, “Sana kamu ke kamar aja rebahan.”“Gak mau. Nanti kamu tiba-tiba hilang.”“Hah? Aku hilang?”“Kamu tuh suka ke rumah sakit diem-diem kalo aku tidur di kamar.”“Aku nyuruh kamu rebahan, bukan tidur.”Alma tertawa canggung, “Aku suka ngant
Alma merebahkan diri di sofa ruang tv dengan nyaman begitu keluaga Mario pamit pulang. Ia membuang nafas super lega dan membiarkan Belle membuka semua bungkus hadiah yang mama Mario bawa.“Gimana sekarang perasaannya?” tanya suster Ruth.Alma menoleh, “Lega banget, sus. Ah, akhirnya mereka pulang.”Suster Ruth tertawa, “Enak ya jadi orang kaya mau beli ini itu gak pake mikir. Barang-barang ini ‘kan harganya mahal.”Alma melirik barang-barang yang memenuhi ruang tv rumahnya, “Emang pada mahal ya?”Suster Ruth mengangguk, “Ini barang-barang yang sering di pake influencer di internet.”“Oh gitu. Tapi aku lebih suka barang dari mas Adam.”Suster Ruth tersenyum, “Oh iya dong. Barang dari bapak meskipun harganya gak sama kayak barang-barang ini, tapi semuanya berkualitas.”Alma bangun dan duduk nyaman, “Sus, minggu depan ibu kesini. Ibu... kira-kira tahu gak ya masalah rumah tangga aku?”“Masalah rumah tangga yang mana?”Alma mengelus perut buncitnya, “Soal ayah dari anak ini yang
Alma melirik orang yang melewati tempatnya duduk di lobi rumah sakit. Ia tengah menunggu Adam yang masih ada jadwal praktek konsultasi rawat jalan, sehingga ia harus menunggu lebih lama agar bisa ditemani kontrol. Kemarin sore saat Arden memeriksa telapak tangannya karena jebakan dari Alma, diam-diam suster Ruth mengeluarkan ponselnya untuk memfoto Arden diam-diam. Malamnya saat Adam pulang kerja, Alma menunjukkan foto Arden padanya. Respon Adam hanya diam saja. Ya. Tidak ada respon yang diberikannya sama sekali. “Sayang, maaf lama. Tadi ada dua pasien yang baru dateng. Kasian, mereka dari Bogor.” Adam duduk disebelah Alma. “Iya, mas, gak papa.” “Kamu udah daftar?” Alma mengangguk, “Aku udah tensi darah sama cek berat badan juga.” “Terus kenapa nunggu disini? Padahal kamu bisa tiduran di ruangan aku.” “Gak papa, mas. Ya udah, yuk sekarang.” Adam membantu Alma untuk berdiri. Menjelang melahirkan Alma melakukan kontrol lebih sering. Apalagi beberapa hari lalu ia sempat dirawat i