Alma melirik orang yang melewati tempatnya duduk di lobi rumah sakit. Ia tengah menunggu Adam yang masih ada jadwal praktek konsultasi rawat jalan, sehingga ia harus menunggu lebih lama agar bisa ditemani kontrol. Kemarin sore saat Arden memeriksa telapak tangannya karena jebakan dari Alma, diam-diam suster Ruth mengeluarkan ponselnya untuk memfoto Arden diam-diam. Malamnya saat Adam pulang kerja, Alma menunjukkan foto Arden padanya. Respon Adam hanya diam saja. Ya. Tidak ada respon yang diberikannya sama sekali. “Sayang, maaf lama. Tadi ada dua pasien yang baru dateng. Kasian, mereka dari Bogor.” Adam duduk disebelah Alma. “Iya, mas, gak papa.” “Kamu udah daftar?” Alma mengangguk, “Aku udah tensi darah sama cek berat badan juga.” “Terus kenapa nunggu disini? Padahal kamu bisa tiduran di ruangan aku.” “Gak papa, mas. Ya udah, yuk sekarang.” Adam membantu Alma untuk berdiri. Menjelang melahirkan Alma melakukan kontrol lebih sering. Apalagi beberapa hari lalu ia sempat dirawat i
Alma tidak bisa pura-pura tidak ada apa-apa setelah Mario bicara banyak soal tuntutan pak Bowo pada Adam. Ia takut sekali suaminya akan di penjara karena kesalahannya di masa lalu. Apalagi ini Adam membunuh istrinya sendiri, anak tunggal dari pak Bowo yang setelah dicari tahu ternyata punya pengaruh yang cukup kuat di Jakarta.“Alma, kamu kenapa?”Alma menoleh, “Sus, soal pembunuhan mama Belle... eh Belle lagi tidur ‘kan?”Suster Ruth mengangguk, “Kenapa soal itu?”“Suster percaya mas Adam bener-bener ngelakuin itu sama mamanya Belle?”“Aku... gak tahu. Tapi rasanya gak mungkin, Ma.”“Dulu tuh gimana sih kronologinya?”Suster Ruth duduk disamping Alma, “Kronologi dari mana? Dari kabar pembunuhan itu atau dari mereka ketahuan ngelakuin itu sampe ada Belle?"“Boleh, dari awal aja.”Suster Ruth mengangguk, “Dulu mereka lagi sibuk persiapan ujian kualifikasi dokter bedah umum. Bapak sama mama Belle
Mama membuka pintu mobil dan membantu Alma keluar, “Sini mama bantu.”Alma bergerak bersusah payah. Badannya yang mungil harus menopang perutnya yang besar.“Belle gak kamu ajak?”“Dia lagi batuk, ma.”“Adam gak papa kamu kesini pas Belle lagi sakit?”“Gak papa lah, ma. Justru mas Adam suruh aku kesini, katanya jangan sampe aku ketularan batuk.”Mama menuntun Alma menaiki teras, “Tuh ‘kan, kalo kamu akur sama Belle, Adam pasti kasih kebebasan buat kamu.”Pak Tono membawa koper dari bagasi, “Bu, ini kopernya langsung bawa ke kamar?”Mama melirik Alma, “Kok sampe bawa koper segala? Kamu mau lama disini?”“Yah, ma, baju-baju aku yang di lemari ‘kan udah pada gak muat, jadi mau gak mau semuanya aku bawa dari rumah.”“Oh iya mama lupa.” Mama melirik pak Tono. “Pak, kopernya langsung bawa ke kamar aja."“Baik, bu.”Alma duduk di sofa ruang tamu sambil mengelus perut besarnya. Mama yang melihatnya sedikit tidak tega.“Gimana kata dokter waktu kamu kontrol kemaren?”“Semuanya ba
Pov AdamAdam keluar dari ruang ICU setelah memeriksa kesadaran pasien pasca operasi transplantasi Liver. Berhubung dokter utamanya harus melakukan operasi kembali, ia menjadi penanggung jawab pasien. Ketika membuka nurse cupnya, ia memainkan ponsel sambil berjalan.“Adam?”Adam mengangkat wajahnya, “Papa?”“Apa kabar?”“Baik, pa.”Papa tersenyum dan mengangguk.“Eum, kita ngobrol aja di ruangan saya, pa.”Papa mengangguk.Saat papa duduk di sofa ruangan, Adam membawakan sebotol air mineral dan menaruhnya di meja, “Silakan, pa.”“Terima kasih.”“Papa apa kabar?”“Tiga bulan kemarin papa sempet kena Stroke ringan. Sebelah tangan papa gak gerak. Sekarang berangsur membaik.”Adam melongo, “Kenapa gak ada yang kabarin saya?”“Papa yang minta. Papa denger kamu sibuk dirumah sakit, kamu juga harus nemenin istri kamu yang kehamilannya sudah membesar, da
Adam melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar bisa cepat sampai ke rumah mama untuk melihat Alma. Setelah Virza mengatakan melihat pak Bowo berbincang dengan Mario di rumah sakit beberapa hari lalu, pikiran Adam menjadi tidak tenang. Untungnya ia masih memiliki kewarasan untuk melakukan visit pasien dengan baik. “Mbok Nah, Alma ada ‘kan di dalem?” tanya Adam pada mbok Nah yang sedang menyapu di halaman depan rumah.“Ada, den.”“Alma gak pergi kemana-mana ‘kan?”“Tadi sih sempet mau pergi sama ibu. Katanya mau makan diluar, tapi habis liat hape gak jadi pergi.”Adam membuang nafas lega, “Ya udah saya masuk dulu ke dalem, mbok.”“Monggo, den.”Adam berlari. Ia sangat tidak sabar untuk melihat istrinya. Saat masuk, di ruang tv hanya ada mama yang sedang menonton acara gosip, “Ma?”“Eh, nak Adam.” Mama berdiri, “Lagi istirahat jam makan siang ya?”“Iya, ma. Eum, Alma... mana, ma?”
Alma menutup matanya ketika Adam mencium keningnya, “Jam makan siang kamu pulang ‘kan, mas?” “Belum tahu. Aku ada dua operasi hari ini. Kalo sempet aku pasti pulang.” Alma mengangguk, “Ya udah aku masuk ya.” Adam menangguk, “I love you.” “Love you too.” Alma keluar dari mobil dan melambaikan tangan ketika ia sudah berdiri disamping mobil Adam yang langsung melesat ke rumah sakit. Ia langsung masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka. “Tuh mami udah pulang. Yeeee, mami pulang.” “Halo Belle. Gimana batuknya? Udah baikkan?” Suster Ruth memainkan tangan Belle yang sedang bermain boneka, “Udah baikkan, mami. Belle mau berenang.” “Berenang? Dimana, sus?” “Bapak kemaren beliin kolam yang dari karet. Tapi batuknya masih parah banget kemaren, jadi baru hari ini renangnya.” “Oh gitu. Eh, sus, jadi ‘kan ketemu keluarga dokter Virza hari ini?” Suster Ruth tersenyum, “Jadi.” “Ah, senengnya. Cepet jadiin dong, sus. Belle gak usah di pikirin. Maksudnya, kan ada suster Tiwi nanti.” Suste
Alma mencoba mengatur nafasnya sebaik mungkin.Sezan berdiri, ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan memberikan sebuah amplop putih, “Ini hasil pemeriksaannya.”Alma enggan menerimanya. Tangannya tetap diam tak bergerak.Sezan memaksa Alma menerimanya, “Kamu harus liat, Ma.”Alma menerima amplop itu. Matanya yang siap menangis membuka amplop itu perlahan. Ia bisa melihat deretan tulisan yang ia terima delapan bulan lalu soal kehamilannya. Bedanya disini tertera nama Sezan Safira besar-besar. Ada hasil USG nya juga disana.“Aku gak mau ganggu kehamilan kamu, tapi aku pikir aku jahat kalo biarin kamu gak tahu.”Alma melipat kertas itu dan menaruhnya di meja. Sekuat tenaga, dengan keadaan jantung berdetak hebat ia menatap Sezan, “Gimana bisa lo sebut ini anak mas Adam?”“Karena aku tidur sama mas Adam.”Alma tertawa meledek, “Zan, mas Adam cuma cium bibir lo aja. Lo gak akan hamil karena itu.”“
Alma memunggungi Virza ketika suster baru selesai memasang selang infus. Saat di UGD tadi, Virza yang sedang menunduk bisa melihat tetesan darah yang keluar mengalir perlahan dari kaki Alma. Dengan sigap ia memanggil dokter yang berjaga untuk memeriksa keadaannya.“Ma, aku perlu telpon mama kamu gak buat nungguin kamu disini?”Alma menggeleng.“Dokter obgyn kamu bilang ‘kan kamu harus di rawat inap karena pendarahan.”Tak ada jawaban.“Mau aku telpon Audy?”Alma mengangguk.“Oke.”Alma membalikkan badannya, “Dok, Belle bakal baik-baik aja ‘kan?”Virza mengangguk, “Tadi hasil EKGnya bagus, Analisa Gas Darah dan fungsi Ginjalnya juga oke. Itu pasti karena kamu sigap gendong dia dari kolam.”“Mas Adam marah sama aku.”“Adam mungkin cuma lagi kalut. Dia ngadepin dua operasi hari ini. Gak papa kok. Nanti kalo udah tenang Adam pasti bisa kembali kayak biasanya.”Alma men