“Kok kalian gak masuk?” tanya Amih lagi karena Alma dan Audy hanya berdiri diteras rumah.
“Eum... itu, tante tadi aku benerin sepatu dulu.” kilah Audy. “Alma, Audy?” Sezan dan bang Armand berdiri menatap Alma dan Audy di teras rumah. “Kalian dari kapan disini?” bang Armand tampak takut dua sahabat adiknya mendengar percakapan mereka. “Baru aja, bang.” Alma menatap Audy, “Ya kan, Dy?” Audy mengangguk buru-buru. “Oyah, gue kesini cuma mau balikin ini. Barangkali lo cari ini kemana-mana.” Alma menyerahkan goodie bag pada Sezan. “Ini apa?” “Punya lo. Suster Ruth yang nemuin.” Sezan menerima goodie bag itu, “Makasih, ya, Ma. Padahal aku bisa ambil sendiri ke rumah. Kalo gini jadi nyusahin kamu.” Alma membuang mukanya. Kalau tidak ada Amih ia akan menjambak rambut Sezan, “Gak papa, gue juga lagi santai kok, jadinya bisa nganterin sendiri ke elo.” “Ayo masuk dulu, Ma, Dy, amih biAdam membuka kursi untuk Alma, “Silakan mami Belle.”Alma tertawa, “Terima kasih papa Belle.”Adam duduk dihadapan Alma dan tersenyum, “Akhirnya aku bisa tepatin janji aku untuk kita makan berdua.”“Padahal kalo sama Belle juga gak papa kok, mas.”“Aku udah janji ‘kan buat pergi cuma berdua sama kamu? Ya meskipun cuma makan gini sih.”“Gak papa kok, mas. Aku tahu karena kamu baru pindah ke rumah sakit baru, jadi kamu gak bisa cuti dulu.”“Nanti aku usahain untuk ambil cuti supaya kita bisa nginep di puncak berdua.”Alma mengangguk.Adam memanggil pramusaji untuk memesan menu spesial di resto ini. Alma memesan sate sapi.“Sayang,”“Hm?”“Selama kamu hamil kurangin makan yang dibakar ya. Kalo lagi pengen banget boleh, tapi jangan keseringan.”“Kenapa, mas?”“Kurang baik buat janin. Kamu pesen yang lain aja dulu.”“Oh, ya udah aku pesen Bistik Sapi aja. Kamu apa, mas?”Adam menatap pramusaji yang sedang mencatat pesanan mereka, “Samain aja. Bistik Sapi dua, minumnya jus
Mobil melaju cepat, membuat Alma yang berdiri takut semakin percaya bahwa itu adalah Arden. Badannya limbung. Seharusnya ia bisa menahan Arden lebih lama untuk bisa menanyakan banyak hal mengenai Adam.“Alma, kok udah pulang? Cepet banget.” Virza keluar dibuntuti suster Ruth yang memangku Belle.Alma membalikkan badannya menatap Virza, “Dokter Virza punya kontak dokter atau perawat yang kerja di rumah sakit tempat mas Adam kerja sekarang gak?”Virza mengangguk, “Ada.”“Aku mau minta tolong tanyain ada mas Adam gak dirumah sakit.”“Hah?”Alma menangkupkan kedua tangannya, “Plis, sekarang.”Virza mengangguk, ia merogoh ponselnya dari belakang saku celananya. Tidak lama sambungan telpon tersambung, “Halo, dokter Aul?”“Halo, dokter Virza, ada yang bisa dibantu?”“Dokter Aul masih kerja dibagian UGD?”“Masih, dok. Ada apa ya?”“Ada dokter Adam disana?”“Ada, dok. Sekitar lima lima belas menit lalu sampai. Dokter Adam langsung melakukan operasi pada pasien yang mengalami trauma
Pov AdamAdam mengecek kateter yang menempel pada tubuh pasien yang semalam di operasinya. Aman. Selang infus juga bekerja dengan baik. Kesadaran pasiennya baru ada menjelang pagi, sehingga kini saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, ia masih berada di ruang perawatan intensif untuk terus memantau perkembangan pasiennya.“Permisi, dok, untuk jadwal konsultasi rawat jalan apakah mau di jadwalkan ulang? Dokter belum istirahat.” seorang suster menemuinya di depan ruang ICU.“Gak usah, sus. Kita mulai lima belas menit lagi. Saya mandi dulu. Paling nanti pasien di batasi aja sampe... dua belas pasien.”“Baik, dok. Dokter mau saya pesankan makan di ruangan?”Adam menggeleng, “Saya udah makan roti tadi. Paling saya minta tolong beliin kopi tanpa gula di kantin, terus taruh aja di ruangan praktek.” Ia merogoh dompetnya lalu menyerahkan kartu debit pada suster, “Ini kartunya. Kalo suster mau beli yang lain silakan.”“Baik, dokter, terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi.”Adam
8 bulan kemudian...Alma bersusah payah menuruni anak tangga. Ia yang sudah tidak sanggup naik turun tangga meminta Adam untuk memindahkan kamar mereka sementara di kamar bawah.“Sayang, ‘kan aku udah bilang kamu diem aja. Biar aku yang bawa barang-barangnya dari atas.”“Mas, aku cuma bawa ini aja. Gak berat kok.” Alma menunjukkan sekotak skincare yang ia bawa.Adam membawa kotak itu, “Ini yang terakhir. Kamu duduk aja, aku yang beresin di kamar.”Alma tersenyum. Delapan bulan ini hidupnya amat bahagia, bersama Adam yang semakin perhatian padanya, dan bersama Belle yang kini sudah tumbuh makin besar dan cantik. Suster Ruth yang masih bekerja disini juga memiliki hubungan yang serius dengan Virza.“Mamii.” Belle yang baru pulang jalan-jalan dengan suster Ruth mengelilingi komplek menghampirinya yang tengah duduk di sofa ruang tv.“Sini, duduk samping mami, Belle.”Belle yang kini sudah mau berusia dua tahun sudah bisa mengikuti perintah dengan baik. Ia menaiki sofa sendiri, “M
Alma masih menangis menahan sakit untuk banyak hal. Ia terus mengelus perut besarnya sambil berharap tidak akan terjadi apa-apa pada kandungannya. “Alma.” “Maaaah, sakit.” Mama menangis melihat Alma yang terduduk di lantai toilet bersama beberapa pengunjung lain. Ia melirik Audy, “Dy, telpon ambulance. Cepet.” “I-iya, tante.” Audy segera menelpon ambulance. Ia sangat merasa bersalah meninggalkan Alma sendirian sehingga kecelakaan seperti ini bisa terjadi. Mama memeluk Alma, “Sabar ya, sayang, sebentar lagi ambulancenya pasti dateng.” Alma mengangguk dalam pelukkan pengunjung yang menemaninya disini. Tidak lama ambulance datang, Alma dibantu tim melalui jalur evakuasi untuk bisa sampai di parkiran. Mama menemaninya di ambulance, sedangkan Audy terpaksa harus membawa mobilnya ke rumah sakit. Tadi ia sempat memaksa agar ikut menemani Alma, tapi mama bersikukuh memintanya untuk membawa mobilnya sendiri. Di
Mario gelagapan, “Eum... dari... Audy. Iya dari Audy.”“Oh. Saya permisi.”Mario membuang nafas lega ketika Adam berlari ke lorong mana, entahlah. Ia yang akan masuk dan sudah memegang handel pintu, urung. Untungnya ia bisa melihat kehadiran mama.“Sial, kenapa ada mamanya disini. Gue pikir ada si Audy aja.”“Kamu gak akan bisa ketemu Alma.”Mario menoleh, “Zan? Kenapa lo ngelakuin ini?”“Alma terlalu ikut campur.”“Zan, Alma sampe di larikan ke UGD, dan sekarang dia harus dirawat dua hari disini. Lo emang udah gila.”“Mulut Alma terlalu pedes. Aku gak bisa diem aja tiap dia ngomong. Apalagi pas dia nyebut aku perempuan Ular.”Mario tertawa, “Faktanya lo emang Ular.”“Rio, jaga mulut kamu!”“Gue? Kenapa gue harus jaga mulut gue? Sedangkan lo dengan bebas bisa celakain Alma. Zan, inget ya, hal kayak gini gak ada dalam rencana kita. Lo mencelakai Alma, itu artinya lo mencelak
Pov SezanSezan mengatur nafasnya ketika berdiri di depan cermin westafel rumah sakit. Ia tidak bisa pulang begitu saja dengan tangan kosong. Ia senang membuat Alma nyaris kehilangan bayinya, tapi itu belum cukup. Kalau bisa ia ingin melenyapkan bayi itu agar Adam bisa menyalahkannya dan menuduh tidak becus menjaga kandungan. Tapi sekarang tidak mungkin karena mamanya dan Audy terus berada disampingnya.“Aku harus cari cara lain bikin Alma kehilangan anaknya. Tapi apa ya? Ah, aku tahu.”Sezan merogoh ponsel dari tas tangannya, ia mencari kontak Armand dan menelponnya, “Bang?”“Kenapa?”“Aku... boleh minta obat waktu itu lagi gak?”“Buat?”“Aku lagi butuh, bang. Di rumah ada ‘kan?”“Bentar, Zan, ada Virza.”Sezan tetap menaruh ponselnya ditelinga, barangkali ia bisa mendengar percakapan Armand dengan Virza.“Hah? Alma masuk rumah sakit karena jatoh di toilet mall?” terdengar suara Arma
Setelah dua hari mendapatkan perawatan intensif, Alma diperbolehkan pulang dengan syarat ia harus melakukan bedrest sampai kontrol berikutnya. Adam yang sangat sibuk di rumah sakit tidak bisa mengantar pulang, sehingga ia meminta mama dan Audy untuk mengantar Alma pulang sekalian menginap. Sudah beberapa hari ini Adam tidak bisa pulang karena banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan segera. “Sayang, maaf ya aku gak ikut anterin kamu.” Adam berjongkok di depan kursi roda. Ia terus memegangi dan mencium punggung tangan Alma. Alma mengangguk, “Iya, gak papa, kok, mas. Aku udah denger dari dokter residen, pasien kamu dari rumah sakit lama pada pindah kesini demi bisa dapetin jasa perawatan dari kamu.” “Aku janji langsung pulang dan kita akan liburan ke Puncak.” Alma manyun, “Kan aku harus bedrest, mas, jadi gak bisa kemana-mana dulu. Perut aku rasanya masih ngilu banget.” Mama dan Audy tertawa. “Kalo gitu kalian liburannya di kamar aja. Kunci pintunya dan jauhkan Belle dari kamar. K
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny