Dengan riang Alma menaiki tangga sepulang dari rumah sakit. Ia bersenandung riang seperti dulu. Mama yang baru keluar kamar senang melihat itu. Alma yang ceria akhirnya kembali.“Konselingnya dapet es krim stroberi ya?”Alma berhenti menaiki anak tangga, ia melirik mama yang berdiri di depan kamarnya. Ia menggeleng, “Lebih dari es krim stroberi.”“Kebun stroberi?”Alma tertawa, “Aku ganti baju dulu ya, ma.”Mama mengangguk, “Eh, Ma, kalo mau tidur siang sekarang aja.”“Kenapa?”“Nanti kamu kamu mau pergi ‘kan sama Mario?”“Hah?”“Loh, kok kamu gak tahu? Mario gak bilang?”Alma membuka tas tangannya dan melihat ponselnya. Ada banyak pesan dari Mario tapi ia belum membacanya. Ia melirik mama, “Chatnya belum kebuka. Aku... kayaknya mau dirumah aja deh, ma.”Mama menghampiri Alma dan diam diujung tangga, “Kenapa? Bukannya Mario ngajak kamu ke Lounge Resto Flamingo impian kamu itu ya?”Alma menggaruk rambutnya, “Aku pernah kesana sama temen yang lain. Dan... disana biasa aja te
Alma yang mengira itu Adam datang untuk menyelamatkannya entah dengan cara apapun seperti di tivi-tivi, menoleh sambil menangis dan menutup bagian pahanya yang memerah karena ulah Mario.“Niko?”“Kak, lo apa-apaan sih. Apa yang lo lakuin sama Alma?” Niko menghadang Mario.“Lo tahu apa sih, Nik. Udah, gak usah ikut campur sama urusan gue!”Alma mendekati Niko. Ia berdiri dibelakang tubuh tinggi besarnya untuk berlindung.“Apa yang lo lakuin itu salah, kak! Alma bukan orang yang bisa lo perlakukan begini.”Mario diam, entah karena apa. Tapi seingat Alma, Mario memang selalu diam saat bertengkar dengan Niko.“Alma itu istri orang. Terlepas dari itu lo gak bisa ngelakuin hal menjijikan itu sama dia.”Mario lagi-lagi diam. Niko yang mendengar isak tangis Alma dibelakang tubuhnya, meliriknya, “Ma, lo gak papa kan?”Alma tak menjawab. Badannya gemetaran. Niko yang merasa harus membawa Alma segera keluar dari sini memegang tangannya. Ia melirik Mario dengan marah, “Kalo lo ulangin
Setelah pertengakaran mengenai Alma yang mengakui bahwa ia pernah melakukan kesalahan besar dengan Mario, mama belum bicara apapun dengan anak tunggalnya. Mama hanya membangunkannya, memintanya makan dan minum obat teratur agar tetap waras.Papa yang sudah tahu semua dari mama, hanya bisa memberikan wejangan pada Alma. Papa merasa bersalah karena sempat meminta Adam menceraikan putri kesayangannya. Kini ia meminta Alma untuk merenungi perbuatannya. “Mama kamu bener, sekarang kita ubah niat kamu untuk tetap bertahan sama Adam. Bukan karena Adam yang masih pantas untuk kamu, tapi apakah kamu masih pantas untuk Adam.”Pernyataan itu membuat Alma hanya terus diam merenung di kamar. Ia yang berencana pulang ke rumah Adam kemarin pagi, urung. Ia malu dan takut Adam akan mengacuhkannya.Ceklek.“Ma, lo kok gak angkat telpon gue terus sih.” Audy tahu-tahu nyelonong masuk ke dalam kamar Alma dan menjatuhkan dirinya ke kasur. “Gila panas banget di luar.”Alma menatap Audy tak berkedip.
“Mama bener gak mau ikut?” papa bertanya untuk ke sekian kalinya pada mama yang enggan ikut mengantarkan Alma ke rumah Adam. Mama menggeleng, “Mama malu. Sampein aja maaf mama ke Adam. Nanti kalo udah siap, mama pasti kesana untuk ketemu Adam langsung." Papa mengangguk, “Ya sudah.” Papa meninggalkan mama di belakang rumah. Alma yang mengatakan akan pulang hari ini ke rumah Adam kemarin malam, disambut baik oleh papa dan mama. Memang seharusnya Alma pulang dan berbaikkan dengan Adam. Soal Adam memaafkannya atau tidak itu urusan belakangan. “Kopernya udah di bagasi?” tanya papa pada Alma yang sudah duduk di samping kursi kemudi. “Udah, pa.” Papa duduk disamping Alma, “Oke, kita berangkat sekarang.” “Pa, mama... gak ikut?” tanya Alma saat papa baru menstater mobil. “Mama katanya malu sama Adam. Nanti kalo udah siap, mama pasti mau minta maaf langsung sama Adam.” “Oh gitu.” “Udah gak papa, Adam pasti ngerti.” Alma mengangguk. Papa segera melajukan mobilnya. Mobil sedan yang d
Alma menyimpan piring berisi ayam goreng ungkep, plecing kangkung, dan bakwan jagung di atas meja makan. Adam yang sudah duduk menunggunya hanya menatap istrinya tanpa bicara banyak.“Suster mana ya. Sus, ayo makan bareng.” teriak Alma.“Suster Ruth udah makan duluan tadi.” “Oh.” Alma membawa piring dan menuangkan nasi diatasnya, “Cukup, mas?”Adam mengangguk.“Aku ambilin ayamnya dua ya. Kangkungnya mau?”“Boleh.”Alma menyiukkan kangkung di atas piringnya. Tak lupa dua buah bakwan jagung juga ia taruh disana, “Makan, mas.”Adam mengangguk.Alma duduk dihadapannya menyiuk nasi, ayam, dan kangkung. Ia menunggu Adam memberikan komentar sebelum memakannya, “Gimana, mas?”Adam berhenti mengunyah dan menatap Alma, “Kamu coba aja.”Alma mencicipi masakannya. Ia mengernyit dan diam, “Mas, gak usah dimakan, rasanya aneh.”Adam tertawa, “Mubadzir kalo gak di makan. Kalo kamu gak suka, biar aku yang abisin.”Alma tersenyum malu bercampur haru, “Mas, maaf ya.”“Gak papa. Kamu pas
Adam membuka pintu kamar ketika Alma sedang memakai skincare di depan meja rias. Ia berdehem pelan ketika melihat Alma memakai lingeri kesukaannya. Dengan cepat ia membawa selimut dari lemari. “Selimut buat apa, mas?" Adam menoleh, “Buat...” ia juga mengambil bantal dari kasur, “Aku tidur di kamar lain." Alma menyimpan botol serum dan berdiri menghadap Adam, “Kenapa tidur di kamar lain?” “Gak papa." Alma menghampiri dan meraih lengan Adam, “Mas, aku minta maaf. Hal kayak kemaren sama Mario gak akan pernah terulang lagi, aku mohon maafin aku.” Adam melepaskan tangan Alma dari lengannya, “Aku udah maafin. Aku tidur dikamar lain karena besok harus bangun pagi.” Alma tak menjawab. Alasan macam apa itu. “Kalo tidur disini...” Adam melirik tubuh Alma, “Aku gak akan bisa tidur semaleman.” Adam langsung keluar dan menutup pintu dari luar. Alma duduk ditepian kasur sambil menangis. Ucapan Adam meski terdengar seperti pujian tapi ia tahu suaminya masih menghindarinya.*** Alma bangu
Virza keluar dari mobilnya. Ia datang kesini untuk menjemput Adam dan mengantarkannya kerja di rumah sakit tempat kerja barunya. Karena pintu utama terbuka, ia nyelonong masuk dan mendapati Alma sedang di kipas-kipas oleh suster Ruth dan pak Dani.“Sus?”“Dokter.”“Alma kenapa?”Suster Ruth yang sedang menangis, berdiri menghadapi Virza memberikan surat gugatan cerai Adam yang ia temukan dilantai dekat lokasi Alma pingsan. Dengan wajah super serius Virza membacanya.“Adam mana?”“Bapak udah berangkat, dok.”“Naek taksi?”“Kemaein lusa bapak beli mobil baru.”“Oh gitu.” Virza melipat kertas gugatan dan menghampiri Alma, “Udah lama pingsannya?”tanyanya sambil memeriksa kondisi Alma.“Sekitar sepuluh menit lalu.” jawab pak Dani.Virza melirik suster Ruth yang terus menangis. Setelah melihat pak Dani terus berusaha membangunkan Alma dengan memberikan minyak angin, Virza menghampiri suster Ruth dan mengajaknya ke belakang rumah.“Gimana ceritanya Alma ada disini?”“Kemaren Al
Alma menangis melihat hasil tespek. Ia tidak menyangka Tuhan mendengar doanya. Ia tidak tahu akan seperti apa jadinya jika harus bercerai dari Adam. Dengan cepat ia keluar dari kamar mandi dan mencari Virza.“Dok, dokter.”Virza yang sedang menyesap kopi di dapur berdiri, “Kenapa, Ma?”Suster Ruth yang baru selesai menceboki Belle menghampiri Alma, “Ada apa?”Alma menunjukkan hasil tespeknya pada Virza dan suster Ruth, “Aku hamil. Masih samar sih tapi ini garisnya dua.”Suster Ruth yang sedang memangku Belle menyerahkan Belle pada Virza dan memeluk Alma. Mereka loncat-loncat sama persis ketika dikehamilan pertamanya dengan Audy. Virza yang memangku Belle yang belum pakai celana meringis.“Hey, jangan lama-lama pelukannya, ini Belle gimana?”Suster Ruth melepaskan pelukkannya dan membawa Belle dari pangkuan Virza, “Maaf ya, sangking senengnya aku lupa Belle baru beres cebok.”Virza menggelengkan kepalanya dan mejauhkan tangannya. Ia berlari menuju wastafel untuk cuci tangan. Su