Alma menaiki taksi yang ia pesan sepuluh menit setelah ia dan Adam selesai bergulat. Pikirannya melayang mengingat ucapan Adam saat ia menanyakan darimana ia tahu soal Arden. Entah ada apa dengan hubungan kakak adik ini. Ia semakin penasaran dengan yang terjadi antara mereka.Sedangkan Adam hanya bisa mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Kesempatan yang ia punya untuk berbaikkan dengan Alma malah begini jadinya. Jika sudah menyangkut Arden darahnya selalu menjadi panas dan kesal. Entah Alma tahu dari mana mengenai kakaknya itu. Virza tidak mungkin mengatakannya pada Alma. Apalagi sejujurnya Virza tidak tahu apa-apa soal Arden.“Mbak, sudah sampai.” supir taksi menoleh untuk berbicara dengan Alma.Tak ada jawaban. Sepanjang jalan Alma hanya diam melamun. Tatapannya kosong. Ia sedang merenungi hidupnya kedepan akan seperti apa. Ia yang sudah membiasakan diri dengan hal-hal penuh kejutan dan terburu-buru menjadi sedikit siap menghadapinya meskipun enggan.“Mbak?”“Kenapa, pak?”
Setelah Niko dan papanya pulang Alma masih terus duduk dipinggir kolam. Ia tidak mau makan, tidak mau tidur dan tidak mau melakukan apapun. Ia masih mau tetap disini, memutar ucapan Niko yang ada benarnya, sangat benar malahan.Menikah dengan Adam adalah keterpaksaan, tapi ia bahagia. Menikah dengan Adam memang keterpaksaan, tapi itu pilihannya. Ia bisa memilih kabur saat itu juga untuk menghindari acara ijab qabul seperti di sinetron yang sering mama tonton. Tapi ia memilih untuk menghadapi dan menikah dengan Adam.“Sayang, kok belum tidur?” papa datang dan langsung duduk disamping Alma.“Pa?”“Gimana tadi setelah ketemu Audy? Seneng?”Alma mengangguk.“Syukurlah.”Papa tidak bicara apapun lagi. Papa sibuk menatap langit yang terang karena cahaya bulan.“Pa?”Papa menoleh, “Hm?”“Tadi papa ngobrol apa aja sama papanya Mario?”“Ngobrolin kamu.”Alma mengangguk-angguk.“Tadi kita bahas pernikahan kamu sama Adam dan bahas soal kelanjutan hubungan kamu sama Mario.”Alma me
Sudah jam dua belas siang tapi Alma belum juga turun ke bawah. Ia biasanya akan bangun jam delapan dan turun ke bawah untuk makan lalu bermain ponsel sepuasanya hingga Audy dan Sezan datang menjemputnya untuk nongkrong di kafe. Tapi ini belum ada tanda-tanda sama sekali ia akan turun. Mama sedang membaca majalah di ruang tengah sambil pura-pura menonton televisi untuk menunggu Alma. Tapi tidak ada hasil. Tidak terdengar ada suara musik yang berisik atau pintu yang terbuka. “Mbok, kesini dulu.” Mbok Inah yang akan pergi ke belakang rumah berlari kecil menghampiri mama, “Kenapa, bu?” “Alma belum turun?” “Belum, bu. Apa perlu mbok bawa makannya ke atas?” “Jangan-jangan, udah biarin aja dia turun.” “Mbok takutnya non Alma emang gak mau turun, bu.” “Kenapa?” “Semalem waktu mbok kebangun jam dua malem, non Alma masih duduk lesehan sambil nangis dilawang pintu. Terus mbok samperin. Non Alma bilang dia minta mbok bujuk ibu sama bapak buat gak bikin keputusan sepihak soal perceraian n
Sudah tiga hari Alma tidak keluar kamar. Dengan sangat terpaksa makanan dibawakan ke kamarnya. Mama yang tidak terbiasa meminta Alma makan di kamar sekali pun tengah sakit terpaksa melakukan itu dari pada Alma sakit.“Ma, apa gak sebaiknya aja kita minta Adam kesini?”Mama yang sedang mengupas buah jeruk setelah selesai sarapan melirik papa dan membuang nafas pelan.“Udah tiga hari Alma terus begini. Dia gak mau mandi, makan cuma sedikit. Papa cuma gak mau Alma sakit.”“Dia gak akan sakit, pa.”“Ma, Alma selalu tidur setiap kali kita ke kamarnya. Apapun yang berlebihan pasti menimbulkan penyakit.”“Jadi papa mau nyerah? Papa mau Alma berhadapan sama masalah lagi?”“Bukan gitu, ma. Coba sekarang papa tanya, mama ada solusi biar Alma bisa kembali beraktifitas seperti biasa lagi kalau bukan kita pertemukan dia sama Adam?”Mama menaruh jeruk dan diam untuk memikirkan jalan keluar agar Alma tidak terus tidur.“Papa panggil dokter Maya aja ya kesini?”“Buat apa, pa? Kan mama udah
Mama menutup pintu kamar Alma dan mengajak dokter Maya dan papa ngobrol di balkon yang jauh dari kamar Alma.“Ada apa, dokter? Apa... keadaan Alma memprihatinkan?” papa mewakili pertanyaannya dengan mama.Dokter Maya tersenyum, “Mohon maaf sebelumnya, om, tante, saya mau tanya. Hubungan Alma sama suaminya lagi baik ‘kan?”Mama dan papa saling menatap.“Memangnya kenapa ya, dok?” papa tampak penasaran karena tebakan dokter Maya bisa tepat. “Eum... keadaan Alma seperti yang kita lihat barusan, mungkin karena masalah rumah tangganya, om."“Dokter Maya kenal sama nak Adam?” tanya mama.Dokter Maya mengangguk, “Kami pernah ko-as bareng dulu, tante. Saat acara pernikahan Alma juga kami sempet berbincang.”“Oh begitu.” “Alma tadi terus ngeliat ke arah cincin pernikahannya. Itu yang bikin saya berpikir kalau apa yang terjadi sama Alma mungkin karena masalah pernikahannya.”Mama menunduk dan papa membuang nafasnya pelan.“Saya sempet denger kabar kalo Alma pernah beberapa kali di
Alma hanya menunduk ketika Virza sibuk makan siang. Ia yang akan kembali ke rumah sakit lanjut ke rumah sakit jiwa, tidak memiliki banyak waktu sehingga ia tidak bisa ikut berempati dan menemani Alma yang tak menyentuh makanannya sama sekali.“Habis dari sini aku langsung pergi, Ma. Aku sibuk banget hari ini.”“Dokter?”“Hm?”“Bawa aku ke rumah mas Adam sekarang.”Virza berhenti mengunyah. Ia menyimpan sendok dan garpu.“Cuma anterin aja. Aku akan pulang naek taksi.”“Mama kamu bilang—”“Kalo gak sekarang aku gak tau kapan punya kesempatan untuk ketemu mas Adam lagi.”Virza mengelap mulutnya dengan tisu, “Ya udah, kamu makan dulu.”“Sekarang!”“Hah?”Alma berdiri, “Ayo.”Mau tak mau Virza harus menuruti mau Alma. Ia yang masih lapar memasukkan semua nasi goreng pesanannya ke dalam mulut, “Kamu duluan aja ke parkiran, Ma.” ucapnya dengan mulut penuh.“Tanpa disuruh juga aku bakal pergi duluan. Cepet.”“Iya.”Alma menunggu Virza yang entah sedang apa di dalam kafe. Ia me
Usai Alma dan Virza pergi, Adam masuk ke dalam rumah menggeser sofa dan memecahkan piring hias yang tergantung di dinding. Sezan yang melihat itu menjadi ketakutan. “ARGH!" Suster Ruth yang melihat dari jauh melotot. Ia tidak menyangka Adam akan marah setelah pertengakarannya dengan Alma. Ia mengerti maksud ucapan Alma. Berita mengenai Adam membunuh Dara dengan sengaja sudah tersebar ke seluruh penjuru rumah sakit saat itu. Tapi dengan cepat berita menghilang. Jika ada pegawai rumah sakit yang membahas itu maka pemecatan akan dilakukan. Setelah satu tahun lebih berlalu, suster Ruth jadi mengingat itu kembali. Dari mana Alma tahu ya masalah itu? Ia yakin Virza tidak akan pernah membahas itu dengan Alma. “Mas... kamu gak papa?” Sezan perlahan menghampiri Adam untuk menenangkannya. “Keluar!" “Tapi, mas—" Adam membalikkan badannya, “Keluar saya bilang!” Sezan gemetaran. Ia tidak terbiasa dibentak siapapun.
Satu minggu berlalu. Alma yang baru menyelesaikan konseling dengan dokter Virza dirumah sakit berdiri didepan ruang kerja Adam. Di pintu itu tak lagi tertulis nama dr Adam Peter, Sp.B. Namanya berubah menjadi nama lain. Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter pria se-usia Adam keluar dan menatap Alma.“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”Alma menggeleng, “Maaf, dok, saya cuma lewat.”Dokter itu melihat papan nama yang tertempel di pintu, “Ini ruangan bekas temen saya, dokter Adam. Mbak ada perlu sama beliau?”Alma menggeleng, “Enggak, dok.”“Kalo mbak ada perlu dengan beliau, saya bisa berikan kartu namanya.”Alma tertawa diam-diam. Dokter ini pasti teman jauh Adam, sehingga tidak tahu kalau ia adalah istrinya.“Eum, dokter Adam sekarang kerja di rumah sakit mana ya, dok?” tanyanya iseng sekalian mencari informasi.“Belum, mbak. Dokter Adam masih bingung katanya mau tetap di Jakarta atau pindah ke Surabaya.”“Surabaya?”Dokter itu mengangguk, “Semoga saja dokter Adam tidak ber