Adam yang berdiri membelakangi Alma melepas pelukannya dengan Sezan dan membalikkan badannya, “Alma?”Butiran air mata turun perlahan dari mata Alma. Sezan yang melihat itu tersenyum diam-diam. Ia masih belum mau menunjukkan kalau ia bersaing dengan Alma terang-terangan. Bermain diam-diam membuatnya terasa aman.Adam menghampiri Alma, “Sayang, aku—"Dengan lemah Alma menjatuhkan dirinya ke dalam pelukkan Adam. Ia tidak punya sisa tenaga sedikit pun untuk melawan siapapun hari ini.Penyesalannya telah berselingkuh dengan Mario membuat energinya terkuras habis. Ditambah utlimatum mama pada Adam tadi, dan kini ia melihat suaminya berpelukkan dengan salah satu sahabatnya membuatnya amat lelah.Adam merengkuh badan mungil istrinya. Dengan nafas tertahan, ia mengusap rambut panjang Alma dengan pelan. Sezan yang masih berdiri disana mendelikkan matanya kesal. Kenapa Alma diam saja? Harusnya ia marah besar memantik amarah Adam. Bagus kalau mereka bertengkar.“Sezan.”Sezan menoleh ke
Alma mendorong Sezan pada Armand, “Bawa Sezan pulang, bang. Aku gak mau dia sampe nginjekin kaki dirumah ini lagi!”Armand melirik Sezan. Adiknya yang mendapat tatapan sinis hanya menunduk. Armand merogoh sesuatu dari saku jaketnya, “Dam, gue mau kasih ini. Ada rumah sakit baru yang butuhin dokter bedah. Lo coba aja daftar kesana.”Adam menerima brosur itu, “Makasih, Mand.”Armand mengangguk, “Zan, ayo pulang.”Sezan mengangguk. Ia tidak punya pilihan selain pulang bersama Armand.Armand melirik Alma sebelum membalikkan badannya, “Abang seneng kamu udah pulang dan baik-baik aja.”Alma mengangguk, “Makasih kemaren udah mau repot-repot cari aku.”Armand tertawa, “Masa sahabat adik abang ilang gak di cariin sih.”Alma mengangguk, “Meskipun gak ketemu, tapi ya... usahanya oke lah.”Armand tertawa.Adam yang baru tahu tadi sore mengenai Armand yang pernah meminta Alma untuk menjadi istrinya mendadak cemburu. Setidaknya ia tidak menyesal pernah menonjoknya beberapa malam lalu. Mes
Alma menaiki taksi yang ia pesan sepuluh menit setelah ia dan Adam selesai bergulat. Pikirannya melayang mengingat ucapan Adam saat ia menanyakan darimana ia tahu soal Arden. Entah ada apa dengan hubungan kakak adik ini. Ia semakin penasaran dengan yang terjadi antara mereka.Sedangkan Adam hanya bisa mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Kesempatan yang ia punya untuk berbaikkan dengan Alma malah begini jadinya. Jika sudah menyangkut Arden darahnya selalu menjadi panas dan kesal. Entah Alma tahu dari mana mengenai kakaknya itu. Virza tidak mungkin mengatakannya pada Alma. Apalagi sejujurnya Virza tidak tahu apa-apa soal Arden.“Mbak, sudah sampai.” supir taksi menoleh untuk berbicara dengan Alma.Tak ada jawaban. Sepanjang jalan Alma hanya diam melamun. Tatapannya kosong. Ia sedang merenungi hidupnya kedepan akan seperti apa. Ia yang sudah membiasakan diri dengan hal-hal penuh kejutan dan terburu-buru menjadi sedikit siap menghadapinya meskipun enggan.“Mbak?”“Kenapa, pak?”
Setelah Niko dan papanya pulang Alma masih terus duduk dipinggir kolam. Ia tidak mau makan, tidak mau tidur dan tidak mau melakukan apapun. Ia masih mau tetap disini, memutar ucapan Niko yang ada benarnya, sangat benar malahan.Menikah dengan Adam adalah keterpaksaan, tapi ia bahagia. Menikah dengan Adam memang keterpaksaan, tapi itu pilihannya. Ia bisa memilih kabur saat itu juga untuk menghindari acara ijab qabul seperti di sinetron yang sering mama tonton. Tapi ia memilih untuk menghadapi dan menikah dengan Adam.“Sayang, kok belum tidur?” papa datang dan langsung duduk disamping Alma.“Pa?”“Gimana tadi setelah ketemu Audy? Seneng?”Alma mengangguk.“Syukurlah.”Papa tidak bicara apapun lagi. Papa sibuk menatap langit yang terang karena cahaya bulan.“Pa?”Papa menoleh, “Hm?”“Tadi papa ngobrol apa aja sama papanya Mario?”“Ngobrolin kamu.”Alma mengangguk-angguk.“Tadi kita bahas pernikahan kamu sama Adam dan bahas soal kelanjutan hubungan kamu sama Mario.”Alma me
Sudah jam dua belas siang tapi Alma belum juga turun ke bawah. Ia biasanya akan bangun jam delapan dan turun ke bawah untuk makan lalu bermain ponsel sepuasanya hingga Audy dan Sezan datang menjemputnya untuk nongkrong di kafe. Tapi ini belum ada tanda-tanda sama sekali ia akan turun. Mama sedang membaca majalah di ruang tengah sambil pura-pura menonton televisi untuk menunggu Alma. Tapi tidak ada hasil. Tidak terdengar ada suara musik yang berisik atau pintu yang terbuka. “Mbok, kesini dulu.” Mbok Inah yang akan pergi ke belakang rumah berlari kecil menghampiri mama, “Kenapa, bu?” “Alma belum turun?” “Belum, bu. Apa perlu mbok bawa makannya ke atas?” “Jangan-jangan, udah biarin aja dia turun.” “Mbok takutnya non Alma emang gak mau turun, bu.” “Kenapa?” “Semalem waktu mbok kebangun jam dua malem, non Alma masih duduk lesehan sambil nangis dilawang pintu. Terus mbok samperin. Non Alma bilang dia minta mbok bujuk ibu sama bapak buat gak bikin keputusan sepihak soal perceraian n
Sudah tiga hari Alma tidak keluar kamar. Dengan sangat terpaksa makanan dibawakan ke kamarnya. Mama yang tidak terbiasa meminta Alma makan di kamar sekali pun tengah sakit terpaksa melakukan itu dari pada Alma sakit.“Ma, apa gak sebaiknya aja kita minta Adam kesini?”Mama yang sedang mengupas buah jeruk setelah selesai sarapan melirik papa dan membuang nafas pelan.“Udah tiga hari Alma terus begini. Dia gak mau mandi, makan cuma sedikit. Papa cuma gak mau Alma sakit.”“Dia gak akan sakit, pa.”“Ma, Alma selalu tidur setiap kali kita ke kamarnya. Apapun yang berlebihan pasti menimbulkan penyakit.”“Jadi papa mau nyerah? Papa mau Alma berhadapan sama masalah lagi?”“Bukan gitu, ma. Coba sekarang papa tanya, mama ada solusi biar Alma bisa kembali beraktifitas seperti biasa lagi kalau bukan kita pertemukan dia sama Adam?”Mama menaruh jeruk dan diam untuk memikirkan jalan keluar agar Alma tidak terus tidur.“Papa panggil dokter Maya aja ya kesini?”“Buat apa, pa? Kan mama udah
Mama menutup pintu kamar Alma dan mengajak dokter Maya dan papa ngobrol di balkon yang jauh dari kamar Alma.“Ada apa, dokter? Apa... keadaan Alma memprihatinkan?” papa mewakili pertanyaannya dengan mama.Dokter Maya tersenyum, “Mohon maaf sebelumnya, om, tante, saya mau tanya. Hubungan Alma sama suaminya lagi baik ‘kan?”Mama dan papa saling menatap.“Memangnya kenapa ya, dok?” papa tampak penasaran karena tebakan dokter Maya bisa tepat. “Eum... keadaan Alma seperti yang kita lihat barusan, mungkin karena masalah rumah tangganya, om."“Dokter Maya kenal sama nak Adam?” tanya mama.Dokter Maya mengangguk, “Kami pernah ko-as bareng dulu, tante. Saat acara pernikahan Alma juga kami sempet berbincang.”“Oh begitu.” “Alma tadi terus ngeliat ke arah cincin pernikahannya. Itu yang bikin saya berpikir kalau apa yang terjadi sama Alma mungkin karena masalah pernikahannya.”Mama menunduk dan papa membuang nafasnya pelan.“Saya sempet denger kabar kalo Alma pernah beberapa kali di
Alma hanya menunduk ketika Virza sibuk makan siang. Ia yang akan kembali ke rumah sakit lanjut ke rumah sakit jiwa, tidak memiliki banyak waktu sehingga ia tidak bisa ikut berempati dan menemani Alma yang tak menyentuh makanannya sama sekali.“Habis dari sini aku langsung pergi, Ma. Aku sibuk banget hari ini.”“Dokter?”“Hm?”“Bawa aku ke rumah mas Adam sekarang.”Virza berhenti mengunyah. Ia menyimpan sendok dan garpu.“Cuma anterin aja. Aku akan pulang naek taksi.”“Mama kamu bilang—”“Kalo gak sekarang aku gak tau kapan punya kesempatan untuk ketemu mas Adam lagi.”Virza mengelap mulutnya dengan tisu, “Ya udah, kamu makan dulu.”“Sekarang!”“Hah?”Alma berdiri, “Ayo.”Mau tak mau Virza harus menuruti mau Alma. Ia yang masih lapar memasukkan semua nasi goreng pesanannya ke dalam mulut, “Kamu duluan aja ke parkiran, Ma.” ucapnya dengan mulut penuh.“Tanpa disuruh juga aku bakal pergi duluan. Cepet.”“Iya.”Alma menunggu Virza yang entah sedang apa di dalam kafe. Ia me