Pov AdamAdam bangkit dari posisi tiduran di dalam mobil. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Ponselnya yang bergetar dari tadi ia acuhkan. Ia tak peduli mendapat panggilan dari siapapun. Ia hanya ingin keadaan membaik dan bisa berbaikkan dengan Alma.Ponselnya bergetar panjang. Kali ini ia menoleh. Telpon dari Virza, “Dia mau ngapain sih, ganggu aja. Halo?”“Dam? Lo dimana sih? Dateng ke rumah sakit sekarang!”“Gue... gak bisa.”“Dam, lo dapet surat panggilan dari tim Disiplin dan dewan Komisaris.”DEG!Adam menutup matanya, “Oke gue ke rumah sakit sekarang.”Dengan lemas ia bersiap dalam mode menyetir. Mau tak mau ia harus mengikuti alur hidupnya yang menyakitkan. Tidak ada pilihan, tapi ia yang akan menentukan pilihan kedepannya. Ia tahu arah ini akan kemana.Mobilnya baru sampai di parkiran. Ada Virza dan Armand yang menunggunya.“Dam, are you okay?” Virza memastikan sahabatnya ini dalam keadaan baik.Adam mengangguk, “Gue siap cari loker di rumah sakit lain.”“Dam, jan
Alma memeluk mama erat begitu sampai di depan pintu. Ia yang akan membuka pintu utama rumah mama, disambut mama yang langsung merentangkan tangannya.“Maafin mama ya sayang.”Alma mendongak, “Kenapa mama minta maaf?”Mama melepas pelukkannya, “Mama ke rumah Adam tadi. Ada Sezan disana.”Alma membuang muka.“Maaf mama gak percaya dan ngira kamu yang terlalu berlebihan. Setelah mama pikir-pikir lagi, keberadaan Sezan di rumah Adam aja udah gak wajar. Tadi supir kamu bilang sikap Sezan berlebihan banget sama Adam. Dia seolah istri Adam.”Alma menunduk. Sebenarnya entah apa yang terjadi antara Adam dan Sezan. Tapi sebetulnya ia sama saja dengan mereka. Ia dan Mario sudah melakukan kesalahan teramat besar. “Ma, aku ke kamar dulu ya.” Alma menyeret kopernya dan berjalan pelan menuju kamarnya.Mama membuang nafas pelan, “Alma pasti sedih denger Sezan setega itu sama dia.”Alma menutup pintu dan menyi
Saat tadi pulang ke rumah, Adam pikir barang-barangnya akan ada di luar. Suster Ruth dan Belle terlantar dan tengah menangis. Ternyata apa yang ia takutkan tidak terjadi. Ia masih punya waktu untuk berpikir mengenai kemana ia harus pergi setelah ini.Kini mobilnya berhenti di depan pagar rumah orang tua Alma. Ia rindu sekali istrinya, tapi enggan masuk apalagi mama sedang marah padanya.Tok-Tok-Tok“Den Adam?” mbok Inah mengetok kaca mobil.Adam membuka kaca jendela mobilnya, “Mbok?”“Kok malah parkir disini?”“Eum... saya...”“Non Alma ada kok di dalem.”“Alma pulang kapan, mbok?"“Tadi pagi, den.”“Sekarang lagi ngapain?”“Paling lagi tidur di kamarnya.”“Mama sama papa ada?”“Ibu ada, bapak pergi mancing sama temennya.”Adam menghela nafas berat. Kalau ada papa ia tahu akan sedikit dibela. Kenapa situasinya jadi serba sulit begini ya? Papa
Alma mendengar semua percakapan mama dan Adam di ujung tangga. Ia tidak menyangka mama akan menyerang menantu kesayangannya itu. Meski paham mama pasti akan membelanya apalagi setelah tahu Sezan perlahan masuk ke dalam kehidupan rumah tangga anak semata wayangnya, tapi ia tetap terkejut dengan apa yang terjadi barusan.“Ma, ada lagi yang mau di sampaikan?”Mama diam sebentar lalu berdehem, “Jangan salahin siapapun kalau Alma minta pisah dan balik lagi sama Mario. Tadi siang Mario datang kesini buat ngomongin kelanjutan hubungan kalian, dan hubungan mereka.”Adam yang terduduk tegap langsung menurunkan bahunya. Hilang harapannya untuk minta izin bertemu Alma. Kalau begini, jangankan minta izin bertemu Alma, satu kalimat lagi yang ia lontarkan ke mama sebagai bentuk bela dirinya saja pasti akan salah.Adam bangkit, “Saya pamit, ma. Nanti saya kesini lagi untuk ketemu Alma.”“Kalo perlu nak Adam gak perlu cari Alma lagi.”Adam diam, mungkin dengan begitu ia tidak akan memantik amar
Adam yang berdiri membelakangi Alma melepas pelukannya dengan Sezan dan membalikkan badannya, “Alma?”Butiran air mata turun perlahan dari mata Alma. Sezan yang melihat itu tersenyum diam-diam. Ia masih belum mau menunjukkan kalau ia bersaing dengan Alma terang-terangan. Bermain diam-diam membuatnya terasa aman.Adam menghampiri Alma, “Sayang, aku—"Dengan lemah Alma menjatuhkan dirinya ke dalam pelukkan Adam. Ia tidak punya sisa tenaga sedikit pun untuk melawan siapapun hari ini.Penyesalannya telah berselingkuh dengan Mario membuat energinya terkuras habis. Ditambah utlimatum mama pada Adam tadi, dan kini ia melihat suaminya berpelukkan dengan salah satu sahabatnya membuatnya amat lelah.Adam merengkuh badan mungil istrinya. Dengan nafas tertahan, ia mengusap rambut panjang Alma dengan pelan. Sezan yang masih berdiri disana mendelikkan matanya kesal. Kenapa Alma diam saja? Harusnya ia marah besar memantik amarah Adam. Bagus kalau mereka bertengkar.“Sezan.”Sezan menoleh ke
Alma mendorong Sezan pada Armand, “Bawa Sezan pulang, bang. Aku gak mau dia sampe nginjekin kaki dirumah ini lagi!”Armand melirik Sezan. Adiknya yang mendapat tatapan sinis hanya menunduk. Armand merogoh sesuatu dari saku jaketnya, “Dam, gue mau kasih ini. Ada rumah sakit baru yang butuhin dokter bedah. Lo coba aja daftar kesana.”Adam menerima brosur itu, “Makasih, Mand.”Armand mengangguk, “Zan, ayo pulang.”Sezan mengangguk. Ia tidak punya pilihan selain pulang bersama Armand.Armand melirik Alma sebelum membalikkan badannya, “Abang seneng kamu udah pulang dan baik-baik aja.”Alma mengangguk, “Makasih kemaren udah mau repot-repot cari aku.”Armand tertawa, “Masa sahabat adik abang ilang gak di cariin sih.”Alma mengangguk, “Meskipun gak ketemu, tapi ya... usahanya oke lah.”Armand tertawa.Adam yang baru tahu tadi sore mengenai Armand yang pernah meminta Alma untuk menjadi istrinya mendadak cemburu. Setidaknya ia tidak menyesal pernah menonjoknya beberapa malam lalu. Mes
Alma menaiki taksi yang ia pesan sepuluh menit setelah ia dan Adam selesai bergulat. Pikirannya melayang mengingat ucapan Adam saat ia menanyakan darimana ia tahu soal Arden. Entah ada apa dengan hubungan kakak adik ini. Ia semakin penasaran dengan yang terjadi antara mereka.Sedangkan Adam hanya bisa mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Kesempatan yang ia punya untuk berbaikkan dengan Alma malah begini jadinya. Jika sudah menyangkut Arden darahnya selalu menjadi panas dan kesal. Entah Alma tahu dari mana mengenai kakaknya itu. Virza tidak mungkin mengatakannya pada Alma. Apalagi sejujurnya Virza tidak tahu apa-apa soal Arden.“Mbak, sudah sampai.” supir taksi menoleh untuk berbicara dengan Alma.Tak ada jawaban. Sepanjang jalan Alma hanya diam melamun. Tatapannya kosong. Ia sedang merenungi hidupnya kedepan akan seperti apa. Ia yang sudah membiasakan diri dengan hal-hal penuh kejutan dan terburu-buru menjadi sedikit siap menghadapinya meskipun enggan.“Mbak?”“Kenapa, pak?”
Setelah Niko dan papanya pulang Alma masih terus duduk dipinggir kolam. Ia tidak mau makan, tidak mau tidur dan tidak mau melakukan apapun. Ia masih mau tetap disini, memutar ucapan Niko yang ada benarnya, sangat benar malahan.Menikah dengan Adam adalah keterpaksaan, tapi ia bahagia. Menikah dengan Adam memang keterpaksaan, tapi itu pilihannya. Ia bisa memilih kabur saat itu juga untuk menghindari acara ijab qabul seperti di sinetron yang sering mama tonton. Tapi ia memilih untuk menghadapi dan menikah dengan Adam.“Sayang, kok belum tidur?” papa datang dan langsung duduk disamping Alma.“Pa?”“Gimana tadi setelah ketemu Audy? Seneng?”Alma mengangguk.“Syukurlah.”Papa tidak bicara apapun lagi. Papa sibuk menatap langit yang terang karena cahaya bulan.“Pa?”Papa menoleh, “Hm?”“Tadi papa ngobrol apa aja sama papanya Mario?”“Ngobrolin kamu.”Alma mengangguk-angguk.“Tadi kita bahas pernikahan kamu sama Adam dan bahas soal kelanjutan hubungan kamu sama Mario.”Alma me