Alma mengacuhkan panggilan telepon dari Adam dan semua orang yang menelponnya. Ia hanya duduk termenung di pojok kasur berselimutkan kain tipis bawaan kost. Ia tak menyangka tinggal sendiri di kost akan membuatnya sesedih ini.Drrrrrt~ Drrrrrt~Alma melongokkan kepalanya ke layar ponsel yang menyala, “Mama? Ah, gue pasti kena omel. Udah biarin aja.”Mama menatap layar ponsel karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Alma. Adam yang sedang duduk di sofa hadapannya hanya mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakkan.“Nak Adam, Alma pasti baik-baik aja. Dia paling lagi nginep di hotel.”“Alma simpen kartu debit dan kredit yang saya kasih, ma. Saya tahu Alma gak pegang uang banyak.” jawab Adam dengan nada frustasi.Papa yang berdiri menghela nafas beberapa kali, “Papa kan udah bilang berkali-kali, kalo mama atau nak Adam berantem sama Alma, bilang sama papa, biar kejadian seperti ini gak terjadi.”“Pa, mama kan lagi gak berantem sama Alma.” mama membela dirinya.“Alma tau perangai mam
Pov Adam Adam membanting pintu mobil ketika ia melihat Armand tengah mengelap motor Trailnya di depan garasi yang terbuka dirumahnya. “Dam? Gimana? Alma udah ketemu?” BUG! Adam memukul pelipis Armand. “Dam! Apaan sih! Kenapa lo pukul gue?” “Kenapa lo suka sama istri gue?” “Suka istri lo? Lo ngira gue suka sama Alma?” BUG! Satu pukulan mendarat di pelipis Armand yang lainnya. “Argh, Dam!” Armand mundur dan meminta Adam untuk tenang. “Dimana Alma? Lo pasti tau.” “Kalo gue tau ngapain gue ikut bantu cari?” Virza yang baru sampai menahan tubuh Adam untuk tidak memukul Armand lagi. Ia tahu betul perangai Adam, “Dam-Dam, sabar ya, gak kayak gini caranya.” “Dia pasti tau Alma dimana, Za!” Virza menatap Armand. “Apa? Lo juga mau ngira gue tau dimana Alma?” Virza mengusap-usap bahu Adam, “Dam, Armand gak tau dimana Alma. Jadi lo tenang ya.” “Tapi dia suka sama Alma.” “Dam, yang bener aja gue suka sama Alma.” “Kenapa? Alma cantik ‘kan, Mand?” “Iya, Alma emang cantik. Tap
Pov AdamSetelah mendengar jawaban Sezan Adam pamit pergi. Tidak untuk mencari Alma, tapi untuk tidur ditempat lain. Ia tidak mungkin tidur di rumah karena hanya ada ia, Sezan dan Belle. Ia tidak mau mendapatkan fitnah.Adam menyetir dengan kecepatan tinggi. Matanya merah menahan tangis. Ia tidak menyangka akan kembali mendapatkan penghianatan dalam kisah asmaranya. “ARGH!!!!!” ia menginjak rem sekaligus.“ALMA! KENAPA SIH SAMA KAMU.” ia memukul stir mobil dengan kencang.Ucapan Sezan menggema dalam pikirannya. Apalagi ketika mengatakan Alma pergi bertemu Mario dua hari kemarin. Entah Sezan tahu darimana, tapi ia pun yakin Alma memang bertemu dengan mantan pacarnya itu. Ia rela berbohong padanya dan meninggalkan Belle demi Mario.Adam mengambil ponsel dan mencari kontak Alma, ia menyentuh vitur voice note, “Alma, aku tau kamu lagi sama Mario. Semua orang khawatir sama kamu, mereka sibuk cari kamu. Tolong kabarin papa mama kalo kamu baik-baik aja. Aku tau kemarin kamu ketemu Ma
Alma membuang nafasnya dengan pelan. Ia tak memiliki tenaga setelah mendengar voice note dari Adam semalam. Ia yang sudah tertidur terbangun dan terjaga semalaman karena mendengar ucapan suaminya. Dari mana Adam tahu kemarin ia bertemu Mario ya? Apa Mario atau Tiara yang memberitahu Adam?Perutnya berbunyi keras menandakan cacing-cacingnya butuh makan. Dengan terpaksa ia bangun dan keluar untuk mencari makan.“Alma.” panggil ibu kost yang memang juga tinggal di lingkungan kost ini.“Iya, bu?”“Gimana? Betah disini?”Alma tersenyum, “Betah, bu.”“Syukurlah. Oyah, ktp kamu ada di dalem."“Nanti aja, bu, aku mau cari makan dulu di depan.”“Tapi ibu mau pergi ke puskesmas. Udah, ambil aja sekarang, dari pada nanti lupa. Sebentar.”Alma berdiri di dekat pagar, ia mengintip dompetnya yang hanya berisi uang beberapa lembar seratus ribuan dan sisanya uang receh. Entah bagaimana bisa ia bertahan hidup dengan jumlah uang segini.“Kamu sebenernya kesini kerja atau kuliah?”“Aku... car
Adam menepuk pundak abang ojek pengkolan yang ia naikki, “Bang lebih cepet lagi.” “Iya, mas.”Motor gigi itu melaju kencang sedikit karena kekuatannya memang hanya sebatas itu. Begitu motor sampai di depan halaman rumah sakit Mayapada, Adam langsung membayar dan melepas helmet. Ia berlari kencang ke arah UGD untuk mencari Alma.“Dokter Adam? Ada perlu apa?” dokter yang sedang mendata pasien menahan Adam.“Ada korban kecelakaan tabrak lari di jalan Semanggi?”“Ada, dok. Keluarga dokter?”“Itu istri saya, dok. Saya masuk.”Dokter itu menahan lengan Adam, “Istri?”Adam mengangguk.“Korbannya ibu usia lima puluh empat tahun.”Adam melongo, “Terus istri saya?”“Maaf, dok, tapi korban kecelakaan di jalan Semanggi cuma ibu yang berusia lima puluh empat tahun itu.”“Saya boleh lihat ke dalam?”Dokter itu paham kalau Adam mungkin sedang kalut sekali. Dokter perempuan berkacamata itu mengangguk, “Silakan.”Adam masuk ke dalam UGD untuk memastikan bahwa Alma tidak ada di dalam. S
Mata Alma mengerjap-ngerjap ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih yang menyengat di bawah hidungnya. Aroma kamar asing dan parfum seseorang yang amat dikenalinya juga membuatnya mau tak mau harus membuka mata.Ketika matanya terbuka ia tidak tahu ada dimana. Di sekeliling kamar hanya ada tempelan papan deadline.“Alma, kamu udah bangun?” Mario yang semula sedang menerima telpon di balkon masuk ke dalam kamar dan menghampiri Alma.“Rio?”Mario duduk dipinggiran ranjang, “Akhirnya kamu bangun juga.”“Ini... dimana?”“Di apartemen aku.”Alma bangun dan duduk sebelahan dengan Mario, “Makasih ya kamu udah bawa aku kesini.”“Ya aku harus bawa kamu kesini. Tadinya aku mau bawa kamu ke rumah sakit, tapi luka di lutut kamu gak begitu parah, jadi aku cuma tempelin plester.”Alma mengusap plester yang menempel di lututnya, “Iya, gak parah.”“Tadi aku sempet ke klinik, dokter bilang kamu pingsan karena shock, jadi aku bawa kesini aja.”Alma mengangguk.“Kamu laper?”“Bange
Pov VirzaVirza mematikkan mesin mobilnya ketika baru sampai rumah Adam. Jam kerjanya yang lebih cepat hari ini ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk membereskan baju dan membawanya ke rumah Adam. Ia akan tinggal disini sampai suster Ruth pulang.“Sore pak.” Pak Dani yang baru akan pulang menyempatkan diri menyapa Virza.“Virza aja, pak.”“Wah saya gak berani.”“Kalo dipanggil bapak berasa udah punya anak empat.”“Hahaha, bapak bisa aja.”“Virza, bukan bapak.”“Gak papa nih saya panggil namanya langsung?”“Kan itu perintah.”Pak Dani memberikan tanda hormat, “Siap, delapan enam, mas Virza.”“Kenapa pake mas?”“Biar lebih sopan aja.”“Enggak-enggak, geli. Virza aja.”“Ya udah, Virza.”“Bagus. Eh, gimana di dalem? Aman?”“Tadi bapak liat sih kak Sezan diem terus di dapur.”“Adam?”“Bapak tadi sempet main sebentar sama Belle terus gak keliatan lagi.”“Dia hilang?”Pak Dani mendecek, “Ya kalo hilang saya lapor polisi.”“Hahaha,” Virza tertawa sambil berjalan menaiki teras
Pov VirzaSelepas menemani Belle tidur di kasur box nya, Adam menghampiri Sezan yang sedang menghitung pengeluaran kafe. Ia terlihat sibuk melihat tablet dan menuliskan deretan angka di sofa lantai dua.“Sezan?"Sezan mengangkat kepalanya, “Eh, mas? Belle udah tidur?”Adam mengangguk. Ia duduk dihadapan Sezan, “Beneran deh kalo kamu mau pulang, kamu pulang aja besok.”“Mas, suster Ruth ‘kan belum balik lagi kesini.”“Besok saya gak kerja, jadi bisa handel Belle sendiri.”Sezan merapikan kertas-kertas yang berantakkan, “Mas, maaf kalo mas kurang nyaman sama keberadaan aku disini. Aku juga minta maaf soal kelancangan aku tadi siang.”Adam bangkit, “Udah malem, kamu istirahat. Saya ke bawah dulu.”Adam bertolak ke dapur dan membaut dua kopi hitam untuknya dan Virza yang sedang membuat laporan pasien di belakang rumah menghadap kolam renang. Ia berjalan pelan membawa dua gelas panas.“Za, ambil.”Virza yang duduk bersila di kursi pantai kayu bergegas menghampiri Adam dan menga