Mata Alma mengerjap-ngerjap ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih yang menyengat di bawah hidungnya. Aroma kamar asing dan parfum seseorang yang amat dikenalinya juga membuatnya mau tak mau harus membuka mata.Ketika matanya terbuka ia tidak tahu ada dimana. Di sekeliling kamar hanya ada tempelan papan deadline.“Alma, kamu udah bangun?” Mario yang semula sedang menerima telpon di balkon masuk ke dalam kamar dan menghampiri Alma.“Rio?”Mario duduk dipinggiran ranjang, “Akhirnya kamu bangun juga.”“Ini... dimana?”“Di apartemen aku.”Alma bangun dan duduk sebelahan dengan Mario, “Makasih ya kamu udah bawa aku kesini.”“Ya aku harus bawa kamu kesini. Tadinya aku mau bawa kamu ke rumah sakit, tapi luka di lutut kamu gak begitu parah, jadi aku cuma tempelin plester.”Alma mengusap plester yang menempel di lututnya, “Iya, gak parah.”“Tadi aku sempet ke klinik, dokter bilang kamu pingsan karena shock, jadi aku bawa kesini aja.”Alma mengangguk.“Kamu laper?”“Bange
Pov VirzaVirza mematikkan mesin mobilnya ketika baru sampai rumah Adam. Jam kerjanya yang lebih cepat hari ini ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk membereskan baju dan membawanya ke rumah Adam. Ia akan tinggal disini sampai suster Ruth pulang.“Sore pak.” Pak Dani yang baru akan pulang menyempatkan diri menyapa Virza.“Virza aja, pak.”“Wah saya gak berani.”“Kalo dipanggil bapak berasa udah punya anak empat.”“Hahaha, bapak bisa aja.”“Virza, bukan bapak.”“Gak papa nih saya panggil namanya langsung?”“Kan itu perintah.”Pak Dani memberikan tanda hormat, “Siap, delapan enam, mas Virza.”“Kenapa pake mas?”“Biar lebih sopan aja.”“Enggak-enggak, geli. Virza aja.”“Ya udah, Virza.”“Bagus. Eh, gimana di dalem? Aman?”“Tadi bapak liat sih kak Sezan diem terus di dapur.”“Adam?”“Bapak tadi sempet main sebentar sama Belle terus gak keliatan lagi.”“Dia hilang?”Pak Dani mendecek, “Ya kalo hilang saya lapor polisi.”“Hahaha,” Virza tertawa sambil berjalan menaiki teras
Pov VirzaSelepas menemani Belle tidur di kasur box nya, Adam menghampiri Sezan yang sedang menghitung pengeluaran kafe. Ia terlihat sibuk melihat tablet dan menuliskan deretan angka di sofa lantai dua.“Sezan?"Sezan mengangkat kepalanya, “Eh, mas? Belle udah tidur?”Adam mengangguk. Ia duduk dihadapan Sezan, “Beneran deh kalo kamu mau pulang, kamu pulang aja besok.”“Mas, suster Ruth ‘kan belum balik lagi kesini.”“Besok saya gak kerja, jadi bisa handel Belle sendiri.”Sezan merapikan kertas-kertas yang berantakkan, “Mas, maaf kalo mas kurang nyaman sama keberadaan aku disini. Aku juga minta maaf soal kelancangan aku tadi siang.”Adam bangkit, “Udah malem, kamu istirahat. Saya ke bawah dulu.”Adam bertolak ke dapur dan membaut dua kopi hitam untuknya dan Virza yang sedang membuat laporan pasien di belakang rumah menghadap kolam renang. Ia berjalan pelan membawa dua gelas panas.“Za, ambil.”Virza yang duduk bersila di kursi pantai kayu bergegas menghampiri Adam dan menga
Mario menyimpan beberapa box makanan untuk sarapan Alma. Orangnya masih mandi, mungkin sedang berendam karena tidak terdengar kucuran air shower. Mario sibuk menyiapkan perlengkapan kerjanya, ia juga sudah siap dan rapi memakai kemeja kerja dan duduk menunggu Alma sambil menonton berita di televisi.Ceklek. Alma keluar dari kamar mandi. Matanya sedikit sembab.“Sayang, sarapan dulu yuk. Aku harus ke kantor sekarang karena ada rapat.”Alma mengangguk. Ia duduk disamping Mario. Meski terlihat sangat kentara, Mario tidak menanyakan apakah Alma habis menangis. Ia tidak mau membuatnya semakin sedih.“Ini sambelnya.” Mario memberikan plastik sambil ke arah Alma.“Iya.”“Kalo kamu mau jalan-jalan atau belanja boleh kok.”Alma menoleh, “Beneran boleh?”Mario mengangguk, “Bentar aku transfer dulu ya.”Alma hanya menatap Mario datar. Ia tahu keluarga mantan pacarnya sudah sangat kaya sekarang, tapi ia tidak tahu Mario akan sebaik ini sehingga akan memberikannya uang untuk jalan-jalan
Alma duduk tenang di sofa ketika jam dinding menunjukkan pukul 12.10 WIB. Ia menunggu Mario yang mungkin masih di jalan. Hatinya yang nyeri karena kecewa berubah nyeri karena benci. Ia mengingat dengan jelas Adam mengatakan tidak mentoleransi perselingkuhan dalam rumah tangga mereka, tapi nyatanya ia sendiri yang melanggar itu. Dan perselingkuhan itu dilakukannya dengan salah satu sahabatnya. Sungguh kotor dan menjijikkan.Pantas saja Adam tidak lagi mengiriminya pesan. Ternyata ia sudah menemukan orang baru untuk melampiaskan nafsunya yang besar. “Sayang, sori ya, jalannya macet.”Alma tersenyum, “Jakarta selalu macet.” Ia bangkit dan menghampiri Mario. “Mau makan sekarang? Aku udah pesenin chicken karage kesukaan kamu.”“Iya, boleh, kebetulan aku laper banget.”Alma mengangguk. ia bergegas menyiapkan keperluan makan untuk Mario.Mario duduk di sofa biasa sambil memindahkan channel televisi. Ia menggulung-gulung kemeja hitam yang cocok di kenakannya.“Ini, abisin ya.”“Past
Pov Suster RuthSuster Ruth mendorong gerbang dengan lemas. Ia masih berkabung namun tidak bisa di kampung lama-lama karena harus kembali bekerja. Ia juga rindu Belle dan Alma.“Eh, suster sudah pulang.” sapa pak Dani yang baru keluar dari garasi setelah membuat kopi.“Pak.”“Suster lemes banget. Belum makan?”“Udah.”“Ya udah masuk, sus, istirahat.”“Boro-boro bisa istirahat, pak. Kan saya harus langsung ngasuh Belle.”“Tenang aja, ada temennya kak Alma di dalem.”“Namanya Audy?”“Bukan, kak Sezan. Udah beberapa hari nginep disini.”Mata suster Ruth membulat, “Hah? Pak Dani gak bercanda ‘kan?”“Kok bercanda, enggak lah.”“Kok sampe nginep sih.”“Suster curiga ya?”“Eum....”“Bapak juga gak suka sama temennya kak Alma, sus.”Suster Ruth mengernyit, “Kenapa, pak?”Pak Dani membisikkan sesuatu di telinga kiri suster Ruth.“Hah?”“Gak percaya ya?”“Bukan gitu, pak. Tapi... masa sih?”“Bapak juga awalnya gak percaya, temennya pak Adam juga yang dokter nyebelin itu j
Adam menghampiri Sezan yang tengah mengelap kompor, “Sezan." Sezan menoleh, “Eh, iya, mas? Kenapa?” “Eum... saya berangkat ke rumah sakit satu jam lagi, kamu mau bareng?” Sezan melipat kain topo, “Aku ke rumah sakit mau ngapain, mas?” Adam menyentuh lehernya, “Maksud saya, saya anterin kamu pulang sekalian.” Sezan diam. Ia nampak terkejut mendengar usiran halus Adam. “Saya gak enak sama Armand, sama orang tua kamu juga. Suster Ruth udah pulang, jadi saya mau bilang makasih atas semua bantuan dan perhatian kamu sama Belle, sama saya beberapa hari ini.” “Eum, mas, suster Ruth kan baru sampe, kasian kalo harus langsung kerja. Gimana kalo sehari lagi aku disini?” Adam menggeleng, “Saya gak enak sama yang lain kamu terus ada disini. Apalagi sebentar lagi mama mau kesini buat jenguk Belle.” “Mamanya Alma?” Adam mengangguk. Sezan mengangguk, “Ya udah, aku beres-beres dulu.” Adam mengangguk lagi. Sezan berjalan pelan menuju lantai atas. Suster Ruth yang sengaja menguping dibalik
Pov AdamAdam bangkit dari posisi tiduran di dalam mobil. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Ponselnya yang bergetar dari tadi ia acuhkan. Ia tak peduli mendapat panggilan dari siapapun. Ia hanya ingin keadaan membaik dan bisa berbaikkan dengan Alma.Ponselnya bergetar panjang. Kali ini ia menoleh. Telpon dari Virza, “Dia mau ngapain sih, ganggu aja. Halo?”“Dam? Lo dimana sih? Dateng ke rumah sakit sekarang!”“Gue... gak bisa.”“Dam, lo dapet surat panggilan dari tim Disiplin dan dewan Komisaris.”DEG!Adam menutup matanya, “Oke gue ke rumah sakit sekarang.”Dengan lemas ia bersiap dalam mode menyetir. Mau tak mau ia harus mengikuti alur hidupnya yang menyakitkan. Tidak ada pilihan, tapi ia yang akan menentukan pilihan kedepannya. Ia tahu arah ini akan kemana.Mobilnya baru sampai di parkiran. Ada Virza dan Armand yang menunggunya.“Dam, are you okay?” Virza memastikan sahabatnya ini dalam keadaan baik.Adam mengangguk, “Gue siap cari loker di rumah sakit lain.”“Dam, jan