Puncak Bogor Jawa Barat. "Honey, enough." Karin terkekeh mendengar Mark merayunya lagi. Ini sudah yang ke berapa lagi, Karin tidak bisa menghitungnya. Sejak Karin berinisiatif untuk merayu Mark, seharian mereka saling memuaskan satu sama lain tanpa lelah hanya terjeda dengan mengisi perut mereka karena lapar. Seluruh ruangan vila mereka coba, dari ruang tamu, dapur, kamar mandi bahkan balkon tempat terbuka juga mereka gunakan untuk melebur nàfsu yang seolah tidak bisa dipadamkan. Mark selalu meminta Karin untuk melayaninya, laki-laki itu beralasan satu bulan lamanya ia rela tidak melakukan hubungan badan demi menjaga hati dan raganya untuk Karin. "The last one's, okay." Napas Karin terengah berkejaran dengan napas Mark yang saat ini berada di atas ránjang. "Okay, I promise you, Beautiful." Mark langsung menerjang tubuh Karin kembali. Suara rintihan kembali terdengar di antara suara sengal napas dan suara désahan dari mereka berdua. "Beautiful …" "Honey …." ***Jakarta. "Sah!"
Hampir satu jam Danu duduk di depan makam Satria di bawah guyuran air hujan. Segala keluh kesah telah ia keluarkan. Ada rasa sedikit lega setelah mengeluarkan unek-unek di hatinya. Walaupun hanya suara petir dan air hujan yang nenanggapinya. "Papa pulang dulu, Nak. Besok Papa akan datang kemari lagi. Mungkin dalam satu minggu ini Papa akan datang ke sini setiap hari karena Papa dalam masa libur kerja. Jangan khawatir, Mama dalam keadaan yang sangat baik. Walaupun kami berpisah, Papa Akan selalu mendoakan untuk kebahagiaan Mama, Sayang." Danu mengelus batu nisan Satria sebelum meninggalkan area pemakaman. Danu juga membacakan doa untuk mendiang Satria dan Hendi, mertuanya.Danu berjalan gontai menuju jalan raya. Mungkin karena efek air hujan, tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Ditambah suasana hati yang sedang galau benar-benar membuat sistem imun di tubuhnya menjadi lemah.Sudah lama Danu berdiri namun tak ada satu pun taksi yang lewat. Pandangan Danu mulai mengabur, kepalanya mulai
Menjelang jam satu siang acara resepsi pun akan segera dimulai. Halaman belakang rumah Risa dihias dengan sedemikian rupa dengan tema rustic,tema yang sedang populer saat ini. Rustic wedding sangat cocok dengan tema yang terlihat natural dan romantis sesuai dengan keinginan Risa. Warna-warna yang digunakan juga merupakan warna natural seperti warna cokelat, putih dan abu-Abu. Pelaminannya menonjolkan kenaturalan yang merupakan berbahan dasar dari kayu dengan seni arsitektur yang unik. Begitu pun untuk meja dan kursi untuk para tamu. Hiasan bunga menjadi paling banyak terlihat di tema rustic wedding, juga dessert bar yang tersedia di setiap sudut, lengkap dengan menu tradisional dan internasional. Waktu pesta resepsi yang digelar dari siang menjelang sore menjadikannya terlihat lebih sempurna karena langit yang berubah warna menjadi jingga ketika matahari mulai masuk ke peraduan. Risa tampak cantik menggunakan gaun panjang berwarna peach dengan model bahu terbuka. Potongan lengan ya
Mark baru saja pulang dari kantor. Dengan masih mengenakan setelan jas, Mark terlihat sangat tampan walau terlihat lelah. Ia mengendurkan dasinya. Matanya langsung mencari keberadaan Karin. "I miss you, Beautiful." Mark memèluk Karin dari belakang yang sedang duduk santai di sofa. Hari ini masih sore sehingga membuat Karin kaget dengan kehadiran Mark. "Honey, you're home?" "Yeah, because I miss you." Mark menciùm pipi Karin. "Ehm … hi Mark, how are you?" Tata yang baru keluar dari toilet langsung salah tingkah melihat Mark dan Karin sedang berciùman mesra. Mark melepaskan pelukannya. "Hi … sorry I don't remember your name." "It's okay, my name is Tata. Temennya Karin dan yang di sana sedang selfi itu bernama Sisi. Kami bertiga adalah teman. Nice to meet you, Mark." Sisi mengulurkan tangan kepada Mark. "Nice to meet you too, Sisi." Mark menerima jabat tangan Sisi. Mark mencìum pipi Karin. "Aku ke atas dulu, ingin membersihkan diri." "Okay, darling." Mark berjalan ke atas meningg
Danu keluar dari kamar dengan segera. Teriakan dari wanita cantik itu tidak dihiraukan. Walau kepalanya masih berdenyut ngilu ia berusaha tegar untuk keluar dari apartemen mewah milik wanita cantik itu. Ketika Danu Mencapai pintu depan, ia teringat dengan dompetnya yg berisi beberapa beberapa lembar uang dan kartu identitas penting miliknya. 'Di mana dompetku berada?' Danu mengedarkan pandangannya. Ia mengacak-acak ruang tamu, namun hasilnya nihil. Wanita cantik itu sudah keluar dari kamar dengan hanya melilitkan handuk di tubuhnya. "Jangan pergi!" Danu menoleh, matanya membulat. Tanpa pikir panjang Danu berlari membuka pintu utama yang untungnya cuma dikunci secara biasa yang dengan mudah Danu buka. Ia tidak lagi menoleh ke belakang. Danu berlari kencang menuju tangga darurat lalu turun. Sampai di bawah, napas Danu mulai tersengal. Ia sudah tidak lagi mendengar teriakan wanita cantik itu. Beberapa pasang mata memperhatikan penampilan Danu yang kelihatan aneh dan rambut yang acak-a
Hati Danu bagai dihantam gelombang tsunami, porak poranda tak berbentuk. Maju kena, mundur juga kena. Di sebelah kanan ada Risa bersama Al dan di sebelah kiri ada Karin bersama kekasih barunya. Wajah Danu mulai memucat, pernapasan terasa sesak, keringat dingin mulai mengalir di tubuhnya. Pikirannya kosong, ia hanya pasrah karena terjebak di situasi yang sulit seperti ini. Tidak ada tempat baginya untuk untuk bersembunyi. "Mas Danu …! Pak Jajang memanggil Danu dengan lantang. 'Oh Tuhan … apalagi ini.' Danu semakin gelisah karena suara Pak Jajang membuat Risa dan Al menoleh padanya. Waktu seakan berhenti pada satu titik pusaran. Tepat di depan konter check in sebuah maskapai penerbangan internasional, tiga orang manusia yang mempunyai hubungan di masa lalu bertemu dengan keadaan status yang berbeda. Risa dan suami barunya, Karin bersama kekasih baru, hanya Danu dengan statusnya yang masih sendiri. Tiga pasang mata itu kini bertemu. Risa syok karena bertemu Danu dan Karin dalam wakt
"Al," Risa mencengkram lengan Al dengan kuat. Ia takut karena ada lima laki-laki berkebangsaan Turki mengelilingi mereka. "Shhh… jangan takut. Suamimu ini nggak jelek-jelek amat kalau soal bela diri." Al menenangkan Risa yang ketakutan. Terdengar adu mulut antara mereka dengan Al. Risa tidak paham karena mereka berbicara menggunakan bahasa Turki. Salah satu dari mereka menatap Risa dengan tajam. Al langsung menghardik laki-laki itu karena tidak suka, Risa dipandang dengan tatapan penuh nàfsu. Tidak terima dengan teriakkan Al, laki-laki itu langsung menyerang Al dengan bertubi-tubi. Risa mundur ke belakang, tubuhnya gemetar melihat Al dikeroyok oleh lima orang. Ia mulai menangis, menyesal mengajak Al untuk jalan-jalan di luar. Al yang sejak kecil mengikuti bela diri taekwondo cukup bisa mengimbangi karena kelima orang tersebut dalam keadaan mabuk. Apalagi postur tubuh Al yang menyerupai mereka menjadikan Al tidak terlalu sulit untuk mengimbangi serangan. Satu pukulan bisa Al daratk
Danu menekan tombol apartemen Shela. Ia menghela napas ketika untuk yang ketiga kalinya, pintu apartemen tidak terbuka. "Mungkin dia tidak ada di rumah." Danu menebak. Ketika Danu ingin beranjak pergi, terdengar suara berisik dari dalam apartemen. Langkah Danu terhenti, untuk sesaat ia bingung harus berbuat apa. Namun setelah mendengar suara tangis perempuan dan bentakan dari seorang laki-laki, Danu berinisiatif ingin melihat keadaan di dalam apartemen. Danu terkesiap ketika pintu apartemen ternyata tidak terkunci. Ia segera masuk mencari sumber suara keributan. "Tidak… jangan pùkul aku, aku mohon." Shela menangis dengan posisi bersimpuh di kaki seorang laki-laki yang membawa sebuah cambuk di tangannya. "Kau harus membuatku senang, dulu. Baru aku pikirkan, akan menghukummu atau tidak!" Laki-laki itu masih mengayun-ayunkan cambuk yang ada di tangannya. "Kalau permintaanmu seperti itu, aku tidak sanggup." "Wanita nakal sepertimu tidak berhak protes dengan tuntutanku!" Laki-laki it
Delapan belas tahun telah berlalu, tapi pernikahan kedua Danu dan Risa semakin romantis. Walaupun umur keduanya tidak lagi muda. Seperti saat ini, di taman belakang saat sore hari, Danu dan Risa menghabiskan waktu bersama pada hari sabtu, minggu atau hari libur lainnya. Mereka akan duduk berdua sambil berpelukan dan bercerita keseharian mereka ketika tidak bersama. Danu akan bercerita keadaan kantor beserta permasalahannya dan Risa bercerita tentang keadaan rumah dan Satria. Bocah bule yang ditemukan di depan pintu yayasan sosial milik Risa itu kini tumbuh sebagai remaja tampan dan sangat aktif. Dingin di luar tapi sangat cerewet di saat-saat tertentu. Seperti saat ini, remaja tampan itu sudah menggoda kedua orang tua angkatnya dengan bercie-cie ria. "Astaga, kalian, mataku ternodai." goda Satria yang tiba-tiba muncul lalu mengolok kemesraan Danu dan Risa. "Kamu juga gitu, nanti, kalau udah ketemu cewek yang kamu suka." jawab Danu yang belum mau melepaskan pinggang istrinya. "Ish …
Hati Danu seakan ingin melompat dari dalam dadanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, takut jika yang dilihatnya adalah halusinasi. Dengan mencubit kulit di lengannya, laki-lski itu memastikan jika yang dilihatnya adalah kenyataan. "Mas Danu," panggil Risa lirih. "Mas." "Eh iya," Danu terlonjak dengan panggilan Risa. Ia bangun dari ranjang lalu mendekati Risa. "Sayang," Danu menangkup wajah Risa yang malam ini terlihat sangat cantik dengan sentuhan make-up minimalis. "Malam ini …?" Risa menganggukkan kepalanya yang disambut senyum lebar dari bibir tipisnya Danu. "Maaf, telah membuat Mas, menunggu lama." "Tidak apa, Mas rela menunggumu." Danu langsung memèluk tubuhnya Risa dengan erat sambil mengècupi puncak kepalanya. Ia menarik kedua tongkat yang menyangga tubuhnya Risa lalu mengangkat tubuh mungil itu ke atas rànjang. Dengan pelan-pelan, Danu membaringkan tubuh istrinya. Pandangan mereka bertemu, Risa tersipu malu ketika suaminya menatapnya dengan lekat. Tatapan mata itu
Risa kaget, ia tentu merasakan tonjolan itu. Ia juga paham jika Danu sedang terangsang. Salahnya, ia tergesa-gesa sehingga tidak sengaja terpeleset lalu mengakibatkan insiden yang tidak diinginkannya. "M-maaf," ucap Risa dengan malu-malu. Sebenarnya sudah satu bulan yang lalu ia sudah membuka hatinya untuk menerima kehadiran Danu seutuhnya sebagai seorang suami. Dirinya pun sudah siap jika suatu saat, Danu meminta haknya. Namun ia malu untuk mengatakannya, ketulusan Danu dan perhatiannya selama ini. Dapat Risa rasakan jika tidak pura-pura atau dibuat-buat. Ia juga bisa melihat, tatapan penuh cinta dari Danu selaku ditujukan padanya ketika mereka berhadapan. Jujur, ia sedikit minder dengan keadaan fisiknya yang cacat, yang hanya mempunyai satu kaki. "Oh, tidak apa, kamu baik-baik saja, sayang. Eh … R-ris," mulut Danu selaku gatal untuk memanggil istri tercintanya itu dengan sebutan sayang. "A-aku baik-baik saja, Dan." Risa tak kalah canggung. Posisi mereka dan keadaan dirinya yang ha
"Dan," panggil Risa setelah mendengar nama Karin. Saat ini mereka sedang berada di ruang makan untuk sarapan. "Ris, Karin, meninggal tadi malam di rumah sakit pusat rehabilitasi penyakit AIDS." jelas Danu, yang tahu jika Risa penasaran dengan panggilan telepon yang baru dijawabnya dan menyebutkan nama Karin. "Sebaiknya kamu cuti untuk menghadiri proses pemakamannya Karin. Bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupmu." ucap Risa tulus. "Ris, kamu …?" "Aku sudah memaafkannya, aku pikir, semua sudah takdir dari Tuhan." "Terima kasih, Ris." Danu tidak menyangka, Risa akan begitu mudah memaafkan kesalahan Karin yang begitu besar padanya di masa lampau. Hati wanita itu sangat baik."Aku tidak bisa ikut, kondisiku yang begini, tidak memungkinkan dan tidak ada yang mengurus Satria.""Benar, sebaiknya, kamu di rumah, jagain Satria." Danu pikir, keputusan itu sudah tepat demi kebaikan semua. "Sudah, sana cepat berangkat sebelum jalanan ramai, daripada terjebak macet nanti.
"Bagaimana bisa?" Risa terperangah mendengar pengakuan dosa dari Karin. Seketika dadanya terasa sesak, Papa yang sangat dicintainya meninggal gara-gara mantan madunya."Maafkan aku, Ris, aku ….""Katakan padaku, bagaimana, Papa, bisa meninggal?" titah Risa."Setelah kelahiran Satria, Mas Danu, mulai menjauhiku. Dia memutuskan untuk meninggalkanku demi Satria. Ia merasa bersalah dengan keadaan Satria yang mengidap penyakit gagal jantung. Mas Danu merasa, semua karena kesalahannya. Sewaktu, kamu, mengandung, Mas Danu tidak memperhatikanmu karena sibuk mengurusku. Ia ingin menebus kesalahannya dengan merawat Satria dan meninggalkanku.""Aku yang sudah terbiasa mendapatkan perhatian dan uang jajan darinya. Merasa
Mereka saling berpandangan.Danu mengerjap beberapa kali karena tidak percaya melihat kehadiran Karin di depan matanya. Mantan istri sirinya yang dulu terlihat sangat cantik dan sèksi itu sekarang terlihat layu. Karin memakai kaos dan celana training panjang yang menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Pakaian ketat yang sudah menjadi ciri khasnya tak terlihat hari ini. Mukanya kusam tanpa make up, kulitnya tampak kering tidak seperti dulu yang terlihat glowing dan terawat."Mas Danu ….""K-karin."Karin langsung bersimpuh dihadapan Danu."Ada apa? Jangan begini, malu dilihat orang." Danu beringsut mundur ke belakang."Mas, Mas Danu, tolong aku." tangis Karin mulai pecah.
"Oh ya …," Mata Karin terbelalak namun kemudian berubah sendu. "Syukurlah kalau mereka bersama lagi." "Apa maksud Lo?" "Gue yang jadi duri di pernikahan mereka." jawab Karin dengan lemah. "Rin, cerita dong, ada apa sebenarnya sama Elo? Setiap rumah sakit Elo datangi. Sebenarnya Elo sakit apa?" tanya Sisi. "Atau bener, Elo hamil? Siapa bapaknya, biar kita berdua yang datangi minta pertanggung jawaban." Kali ini Tata angkat bicara. Karin hanya menggeleng. "Terus ngapain Elo nolak tawaran untuk jadi sugar babynya Tuan Adrian?" Sisi keheranan. "Sampai kapan Elo hidup menderita, tinggal di kontrakan sempit ini sedangkan mantan suami
Keesokan harinya.Sesuai kesepakatan bersama, pernikahan Risa dan Danu untuk yang kedua kalinya akan dilaksanakan di KUA secara sederhana sesuai dengan permintaan Risa. Tadinya Sinta tidak setuju. Bagaimanapun Sinta ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan dari kalangan staf panti dan keluarga. Namun Risa yang bersikeras menolak, membuat Sinta tidak berani memaksakan kehendaknya. Setidaknya ia berhasil memaksa Risa untuk memakai kebaya pengantin berwarna putih. Agar terlihat lebih sacral di hari penting ini."Sudah siap!" Sinta menyembulkan kepalanya dari balik pintu."Sedikit lagi, Bu." jawab sang make up artis yang disewa oleh Sinta."Oke, teruskan saja, Mbak. Saya tunggu di sini." Sinta mengambil kursi lalu duduk tidak jauh dari Risa. Ia memandang Risa yang sedang disa
Satu bulan kemudian."Bagaimana? Nggak mungkin kamu terus- terusan menggantung perasaan mereka, Ris?" Sinta yang sedang menimang Satria, menanyakan keputusannya tentang dua lamaran dari dua orang yang berbeda.Risa diam, bimbang dengan pilihannya."Kamu juga harus memikirkan Satria, jika kamu sudah memutuskan untuk merawatnya. Harus menyiapkan juga lingkungan pendukung untuk tumbuh kembangnya. Bukan hanya harta, tapi kelengkapan sebuah keluarga yang akan membentuk kesehatan psikisnya. Seorang anak memerlukan poker lengkap,seorang Ayah dan ibu yang akan menjadi panutan sekaligus pelindungnya. Kasih sayang dari dua orang tua, jauh lebih baik dibandingkan dengan seorang single parents. Kamu sendiri sudah pernah merasakannya, bukan?""Iya, Ma, aku tahu." Risa menatap lekat S