"Ini yang kau sebut es krim?" Valeri terlihat kesal, menanyakan itu sembari menunjukkan sebuah es krim yang sudah tidak berbentuk kepada Luke.
Pria jangkung tampak acuh, duduk meluruskan kaki di atas meja dan menengok acara televisi.
"Yang penting cokelatnya baik-baik saja. Bukankah itu yang kau inginkan? Berhentilah mengomel seperti ibu hamil. Kita bahkan belum pernah melakukannya." Ucapan Luke membuat Valeri bermimik mengejek.
"Raja vampir apanya. Belanja saja tidak becus." Valeri menggerutu.
Luke bukannya tidak mendengar gerutu Valeri yang mengolok dirinya, ia mengabaikan gadis itu. Pikirannya sedang tidak di sini, melainkan memikirkan saudara termudanya yang bernama Sean. Seorang yang sialnya tidak memiliki tata krama kepada yang lebih tua.
Sepertinya Luke harus menemuinya dan memberinya sedikit pelajaran sebagai pembalasan atas penyerangan yang Sean lakukan beberapa waktu lalu.
"Val?" Luke menoleh, tatapannya lekat pada gadis mungil yang kini duduk di sampingnya. Sedang sibuk memakan es krim yang tadinya ia perlakukan seperti anak tiri.
"Apa?" Valeri sinis.
Untungnya, Luke sudah terbiasanya dengannnya. Alih-alih kesal, pria itu justru mengambil tisu, dengan lembut ia mengusap sudut bibir Valeri yang kotor karena lelehan es krim.
"Aku harus pergi beberapa hari. Apa kau baik-baik saja sendirian? Akan kusuruh anak buahku untuk menemanimu sementara waktu," tuturnya.
"Tidak perlu. Jika kau ingin pergi, pergi saja. Aku sudah cukup bersama Joshua."
Joshua adalah salah satu vampir kepercayaan Luke yang tinggal bersama mereka di rumah besar ini. Ia cukup dekat dengan Valeri, dan kedekatan itu sama sekali tidak diselingi pertengkaran selayaknya ia bersama dengan Luke.
Luke tersenyum. Diusaknya rambut Valeri sehingga gadis mungil itu berdecak kesal. Melihat Valeri dilanda kesal tak membuatnya gentar, ia justru semakin gemas dan mencubit kedua pipi gadis itu. Tentu saja Valeri semakin kesal dibuatnya. Ia menempelkan es krimnya ke wajah Luke, mengenai matanya. Sontak, Luke memekik kedinginan.
"ARRGHH.. VALERI!!"
Gadis mungil itu melesat sekencang yang ia bisa. Meninggalkan Luke yang meraung, Valeri tertawa kegirangan.
***
Perang saudara memang dibuka terang-terangan. Dalam hidup Luke, tidak ada satu orang pun yang dapat ia percaya. Bagi sang mahkota kerajaan vampir, musuh terbesarnya adalah keluarganya sendiri.
Setelah memberi salam kepada renta yang tak lain adalah ayahnya sendiri, Luke memasuki ruang pribadi Sean tanpa permisi. Pangeran bungsu terlihat tidak berbeda dengan kebiasaannya sehari-hari, berkutat diantara rak besar berisi buku-buku kuno.
"Apa kau tidak punya jari untuk mengetuk pintu?"
Dari pada menjawab pertanyaan adiknya yang bahkan tidak melirik ke arahnya sama sekali, ia memilih duduk di sofa panjang dan melipat kaki.
"Kau juga tidak permisi terlebih dulu sebelum menyerangku," jawabnya sarkas.
Sean tersenyum simpul, ia berbalik dengan sebuah buku di tangan. Lalu mengambil duduk di single seat di seberang Luke.
"Aku hanya ingin sedikit bermain-main denganmu." Sean bertutur lembut dan datar.
"Menggunakan badut-badut itu? Kau menghinaku."
"Yah, aku sedikit bosan belakangan ini dan melihatmu bermain bersama badut itu lucu."
Luke terkekeh, lahir dari rahim yang sama rupanya tidak membuat seorang dalam gelar saudara menjadi akur. Contohnya mereka berdua, seumur hidup belum pernah berbincang dengan bahasa yang nyaman didengarkan satu sama lain.
"Katakan apa maumu." Luke mengubah raut wajahnya menjadi bengis kali ini.
Namun Sean masih setia pada ekspresi datarnya. Ia membalik halaman buku, yang seketika menjadi abu dalam sekali jentikan jari Luke.
"Oops! Sorry," tutur Luke menyebalkan.
Wajah datar Sean sekilas memancarkan emosi, hilang ketenangan jika itu mengenai buku-buku kesayangannya. Namun menahan emosi adalah salah satu keahliannya. Meskipun Luke bisa menangkap raut jengkel di pahatan wajah aristokrat adik bunsunya.
"Ibu sakit, temuilah beliau."
Luke mendelik tak percaya. "Hanya karena itu kau mengirim badut-badut itu padaku?"
"Memangnya kau mau datang jika aku mengatakan terus terang. Alice sudah berkali-kali menjemputmu tapi kau tidak pernah datang."
"Yah, itu karena kukira ibu hanya membual."
Sean menghela napas panjang. Bagaimana seseorang yang bahkan mengabaikan keluarganya sendiri dan mementingkan manusia itu bisa menjadi pangeran mahkota? Jujur saja, Sean merasa ini sebuah kesalahan, cela tak termaafkan dalam tatanan istana vampir.
***
Meskipun seorang vampir berdarah dingin, tetapi di depan seorang ibu, Luke tetaplah anak yang manja. Ia tahu ibunya yang sakit, tetapi justru dia yang duduk di pangkuannya dan menerima suapan buah dari Lady Reuchi. Wanita yang kecantikan dan kemudaannya tak lekang oleh waktu itu adalah salah satu dari selir kesayangan Raja vampir. Gelar Lady juga diberikan atas kelahiran Luke sebagai putera ke tujuh.
Bersama Raja vampir, ia memiliki tiga anak. Pertama adalah, Lucia Hannalee, seorang gadis cantik bersurai perak dengan kekuatan telekinesis yang mengagumkan. Lalu yang kedua adalah Luke Magnuera Eldorado Lucio, nama Magnuera berarti hirarki tertinggi dalam kekuatan sihir dan juga berarti magma, dia pribadi yang membara dan penuh gejolak. Dan yang ketiga seperti yang kita ketahui, Sean James Wallace menjadi pangeran terakhir tak serta merta membuatnya tumbuh sebagai anak yang manja. Bisa dikatakan, Sean adalah yang lebuh tenang dan berwibawa dibandingkan kedua kakaknya.
"Kau mengabaikan panggilan ibu dan membolos dari beberapa pertemuan keluarga. Katakan ada apa?" Lady Reuchi membelai rambut anak lelaki kesayangannya.
"Tidak ada, aku hanya sedang malas," elak Luke sebelum membuat coakan pada permukaan apel merah dengan giginya.
"Ibu khawatir kau berubah karena makanan kecilmu itu."
"Dia calon pengantinku, Bu." Luke menegaskan.
"Menjadi pengantinmu maupun tidak, dia hanyalah wadah darah yang akan menjadi tumbalmu. Jangan sampai kau jatuh cinta padanya. Vampir dilarang jatuh cinta kepada manusia."
"Aku tidak sedang jatuh cinta kepada siapapun, Ibu." Luke merengek, kesal rasanya dituduh seperti itu.
"Itu bagus, anakku. Calon raja vampir harus memiliki hati yang teguh. Cinta hanyalah klise yang menghancurkanmu kelak." Lady Reuchi menghadiahkan satu kecupan sayang di puncak kepala puteranya. Baginya, Luke lebih dari sebuah berlian. Ia adalah mata bagi ibunya. Sesuatu yang berharga melebihi apapun dan siapapun.
"Tapi, Bu. Mengapa vampir dilarang jatuh cinta kepada manusia? Bukankah vampir selalu menyukai darah wanita dan kerap menjadikan mereka target mangsa?"
Lady Reuchi tersenyum teduh, jemari lentiknya menepuk pundak Luke dengan halus. "Karena vampir ditakdirkan abadi. Sedangkan manusia hanyalah makhluk fana yang bisa mati kapanpun juga. Meskipun usia mereka pendek, manusia juga gampang sekali berubah. Hati mereka rapuh akan janji manis, sama rapuhnya terhadap rasa bosan. Mencintai manusia hanya akan membuatmu ditinggalkan bersama rasa sakit yang mendalam. Itu buruk, terlebih untukmu, calon pewaris tahta ayahmu. Ibu harap kau mengerti, ibu hanya ingin yang terbaik untukmu.""
***
Valeri tengah duduk di counter dapur, mengamati Joshua yang sedang memotong daging dengan sangat terampil lalu memasakknya di atas penggorengan bersama beberapa siung bawang putih dan rosemary, saat ia bertanya;"Josh, apakah vampir juga jatuh cinta?"Pria itu menengadah, berpikir sejenak sebelum menjawab, "ya, aku juga memiliki kekasih. Kami bisa jatuh cinta pada siapa saja. Pada sesama jenis sekalipun.""Benarkah?"Joshua mengangguk, memindah potongan daging yang telah matang ke atas piring lalu meletakkan itu di meja untuk Valeri santap."Tapi aku tidak mengerti dengan Lord Luke," tuturnya kemudian."Memangnya ada apa dengannya?""Kontrak darah itu seharusnya tidak sampai dengan janji untuk menikahimu. Seharusnya dengan menghisap darahmu saja sudah cukup.""Huh?" Kedua mata sabit Valeri membola. Jadi, semua itu tidak perlu? Lalu, jika demikian, untuk apa selama ini Luke mengumbar janji akan menjadikan Valeri sebagai penganti
Luke menepati janjinya. Ia baru saja menurunkan Valeri dari gendongannya saat ruang tamu mewah bernuansa putih gading dihuni sosok yang terlihat kontras dengan pakaian yang ia kenakan.Gaun hitam sepaha yang kepalang seksi, memamerkan kaki jenjang, dan gelombang di berbagai tempat. Luke mengernyit melihat sosok cantik bersurai silver itu tersenyum ke arahnya."Kenapa kau ada disini?" Luke bernada dingin. Sementara Valeri menatap bingung diantara dua orang itu bergantian. Merasa tidak mengenal si gadis bersurai perak tersebut. Namun melihat reaksi Luke, bisa Valeri pastikan gadis cantik ini bukanlah manusia.Gadis itu mengamati kuku-kuku panjangnya yang diwarnai semerah darah. "Ibu menyuruhku mengawasimu. Jadi aku akan tinggal disini bersama kalian."Luke menggulir bola matanya. "Kembalilah. Bilang pada ibu bahwa itu tidak perlu." Kemudian menarik tangan Valeri, membawanya masuk ke bagian rumah yang lebih inti. Namun saat sampai di ruang tengah, gadis bers
Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana tidak ada Luke disepanjang mata Valeri memandang. Itupun tentu karena titah Valeri sendiri. Pernah dulu sekali, Luke mengekori Valeri hingga ke sekolah dan berakhir ditegur oleh guru. Kedua kalinya, memang guru tak lagi dapat melihat Luke meski vampir itu berdiri di depannya. Hanya saja, itu membuat Valeri merasa terganggu. Jadi dengan iming-iming seteguk darah kehidupannya, Valeri meminta Luke agar hanya mengantar jemputnya saja. Tak perlu sampai mengekorinya di sekolah. Hari ini, saat jam makan siang, Valeri memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Ujian tinggal menghitung hari, ia tidak ingin kehabisan waktu untuk belajar. Jika ia lulus dengan nilai bagus, Luke berjanji akan menuruti apapun keinginannya tanpa imbalan darah. Itu menggiurkan, kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. "Hai, boleh aku duduk di sini?" Seorang pemuda tampan tersenyum hangat saat Valeri mengangkat wajahnya, mencamoakkan buku yang
Valeri pernah berekspektasi bahwa vampir sangatlah menakutkan. Namun itu tak pernah menyurutkan tekatnya untuk memanggil salah satu dari mereka. Hidup bersama ibu tiri membuatnya lelah. Setiap hari biru di tubuhnya bertambah, entah saat ia berbuat salah maupun tidak. Selalu saja, wanita yang dinikahi ayahnya lima tahun lalu itu memiliki sejuta alasan untuk mendukung tindak asusilanya. Sementara sang ayah telah lebih dulu dipanggil sang kuasa. Membuat ibu dan dua saudara tirinya semakin merajalela.Malam ini, langit begitu pekat tanpa sinar rembulan. Gulita menyelimuti kamar besar Valeri. Usia gadis baru genap 18 tahun. Dua hari yang lalu, ia baru saja mendapatkan hak atas semua harta warisan ayahnya. Dan hari itu pula yang ditunggu-tunggu ibu tirinya. Valeri diam dalam ketidakberdayaan. Memendam segala yang ia ketahui untuk diri sendiri. Pernah beberapa kali ingin mengakhiri hidup dengan cara terkeji, namun ia kembali teringat ayahnya dan itu menahan keinginannya untuk mati.
Pagi ini Valeri sambut dengan gigil yang merundung diri laksana derai hujan memeluk bumi. Selalu seperti ini setelah darah dalam tubuhnya terkuras habis. Ia meringkuk memeluk diri, di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga seleher. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya biru, nyaris menghitam.Suara pintu terbuka menginterupsi, Luke datang membawa nampan berisi steak daging sapi yang bisa ditafsir seberat satu kilogram. Juga seteko tinggi susu murni. Valeri menggerakkan hidungnya. Mengendus aroma makanan yang sangat ia butuhkan saat ini."Morning." Suara husky menyapa lembut di telinga. Valeri lekas-lekas bangun. Tanpa basa-basi merampas isi nampan. Melahap rakus menu sarapan paginya."Pelan-pelan." Luke mengambil tisu, lalu mengusap dagu Valeri yang dikotori saus dan minyak dari steak.Tangan lentik yang bergetar itu beralih pada teko tinggi yang dipenuhi cairan putih. Menenggaknya cepat-cepat sambil me
Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana tidak ada Luke disepanjang mata Valeri memandang. Itupun tentu karena titah Valeri sendiri. Pernah dulu sekali, Luke mengekori Valeri hingga ke sekolah dan berakhir ditegur oleh guru. Kedua kalinya, memang guru tak lagi dapat melihat Luke meski vampir itu berdiri di depannya. Hanya saja, itu membuat Valeri merasa terganggu. Jadi dengan iming-iming seteguk darah kehidupannya, Valeri meminta Luke agar hanya mengantar jemputnya saja. Tak perlu sampai mengekorinya di sekolah. Hari ini, saat jam makan siang, Valeri memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Ujian tinggal menghitung hari, ia tidak ingin kehabisan waktu untuk belajar. Jika ia lulus dengan nilai bagus, Luke berjanji akan menuruti apapun keinginannya tanpa imbalan darah. Itu menggiurkan, kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. "Hai, boleh aku duduk di sini?" Seorang pemuda tampan tersenyum hangat saat Valeri mengangkat wajahnya, mencamoakkan buku yang
Luke menepati janjinya. Ia baru saja menurunkan Valeri dari gendongannya saat ruang tamu mewah bernuansa putih gading dihuni sosok yang terlihat kontras dengan pakaian yang ia kenakan.Gaun hitam sepaha yang kepalang seksi, memamerkan kaki jenjang, dan gelombang di berbagai tempat. Luke mengernyit melihat sosok cantik bersurai silver itu tersenyum ke arahnya."Kenapa kau ada disini?" Luke bernada dingin. Sementara Valeri menatap bingung diantara dua orang itu bergantian. Merasa tidak mengenal si gadis bersurai perak tersebut. Namun melihat reaksi Luke, bisa Valeri pastikan gadis cantik ini bukanlah manusia.Gadis itu mengamati kuku-kuku panjangnya yang diwarnai semerah darah. "Ibu menyuruhku mengawasimu. Jadi aku akan tinggal disini bersama kalian."Luke menggulir bola matanya. "Kembalilah. Bilang pada ibu bahwa itu tidak perlu." Kemudian menarik tangan Valeri, membawanya masuk ke bagian rumah yang lebih inti. Namun saat sampai di ruang tengah, gadis bers
Valeri tengah duduk di counter dapur, mengamati Joshua yang sedang memotong daging dengan sangat terampil lalu memasakknya di atas penggorengan bersama beberapa siung bawang putih dan rosemary, saat ia bertanya;"Josh, apakah vampir juga jatuh cinta?"Pria itu menengadah, berpikir sejenak sebelum menjawab, "ya, aku juga memiliki kekasih. Kami bisa jatuh cinta pada siapa saja. Pada sesama jenis sekalipun.""Benarkah?"Joshua mengangguk, memindah potongan daging yang telah matang ke atas piring lalu meletakkan itu di meja untuk Valeri santap."Tapi aku tidak mengerti dengan Lord Luke," tuturnya kemudian."Memangnya ada apa dengannya?""Kontrak darah itu seharusnya tidak sampai dengan janji untuk menikahimu. Seharusnya dengan menghisap darahmu saja sudah cukup.""Huh?" Kedua mata sabit Valeri membola. Jadi, semua itu tidak perlu? Lalu, jika demikian, untuk apa selama ini Luke mengumbar janji akan menjadikan Valeri sebagai penganti
"Ini yang kau sebut es krim?" Valeri terlihat kesal, menanyakan itu sembari menunjukkan sebuah es krim yang sudah tidak berbentuk kepada Luke.Pria jangkung tampak acuh, duduk meluruskan kaki di atas meja dan menengok acara televisi."Yang penting cokelatnya baik-baik saja. Bukankah itu yang kau inginkan? Berhentilah mengomel seperti ibu hamil. Kita bahkan belum pernah melakukannya." Ucapan Luke membuat Valeri bermimik mengejek."Raja vampir apanya. Belanja saja tidak becus." Valeri menggerutu.Luke bukannya tidak mendengar gerutu Valeri yang mengolok dirinya, ia mengabaikan gadis itu. Pikirannya sedang tidak di sini, melainkan memikirkan saudara termudanya yang bernama Sean. Seorang yang sialnya tidak memiliki tata krama kepada yang lebih tua.Sepertinya Luke harus menemuinya dan memberinya sedikit pelajaran sebagai pembalasan atas penyerangan yang Sean lakukan beberapa waktu lalu."Val?" Luke menoleh, tatapannya lekat pada gadis mungil yan
Pagi ini Valeri sambut dengan gigil yang merundung diri laksana derai hujan memeluk bumi. Selalu seperti ini setelah darah dalam tubuhnya terkuras habis. Ia meringkuk memeluk diri, di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga seleher. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya biru, nyaris menghitam.Suara pintu terbuka menginterupsi, Luke datang membawa nampan berisi steak daging sapi yang bisa ditafsir seberat satu kilogram. Juga seteko tinggi susu murni. Valeri menggerakkan hidungnya. Mengendus aroma makanan yang sangat ia butuhkan saat ini."Morning." Suara husky menyapa lembut di telinga. Valeri lekas-lekas bangun. Tanpa basa-basi merampas isi nampan. Melahap rakus menu sarapan paginya."Pelan-pelan." Luke mengambil tisu, lalu mengusap dagu Valeri yang dikotori saus dan minyak dari steak.Tangan lentik yang bergetar itu beralih pada teko tinggi yang dipenuhi cairan putih. Menenggaknya cepat-cepat sambil me
Valeri pernah berekspektasi bahwa vampir sangatlah menakutkan. Namun itu tak pernah menyurutkan tekatnya untuk memanggil salah satu dari mereka. Hidup bersama ibu tiri membuatnya lelah. Setiap hari biru di tubuhnya bertambah, entah saat ia berbuat salah maupun tidak. Selalu saja, wanita yang dinikahi ayahnya lima tahun lalu itu memiliki sejuta alasan untuk mendukung tindak asusilanya. Sementara sang ayah telah lebih dulu dipanggil sang kuasa. Membuat ibu dan dua saudara tirinya semakin merajalela.Malam ini, langit begitu pekat tanpa sinar rembulan. Gulita menyelimuti kamar besar Valeri. Usia gadis baru genap 18 tahun. Dua hari yang lalu, ia baru saja mendapatkan hak atas semua harta warisan ayahnya. Dan hari itu pula yang ditunggu-tunggu ibu tirinya. Valeri diam dalam ketidakberdayaan. Memendam segala yang ia ketahui untuk diri sendiri. Pernah beberapa kali ingin mengakhiri hidup dengan cara terkeji, namun ia kembali teringat ayahnya dan itu menahan keinginannya untuk mati.