Luke menepati janjinya. Ia baru saja menurunkan Valeri dari gendongannya saat ruang tamu mewah bernuansa putih gading dihuni sosok yang terlihat kontras dengan pakaian yang ia kenakan.
Gaun hitam sepaha yang kepalang seksi, memamerkan kaki jenjang, dan gelombang di berbagai tempat. Luke mengernyit melihat sosok cantik bersurai silver itu tersenyum ke arahnya.
"Kenapa kau ada disini?" Luke bernada dingin. Sementara Valeri menatap bingung diantara dua orang itu bergantian. Merasa tidak mengenal si gadis bersurai perak tersebut. Namun melihat reaksi Luke, bisa Valeri pastikan gadis cantik ini bukanlah manusia.
Gadis itu mengamati kuku-kuku panjangnya yang diwarnai semerah darah. "Ibu menyuruhku mengawasimu. Jadi aku akan tinggal disini bersama kalian."
Luke menggulir bola matanya. "Kembalilah. Bilang pada ibu bahwa itu tidak perlu." Kemudian menarik tangan Valeri, membawanya masuk ke bagian rumah yang lebih inti. Namun saat sampai di ruang tengah, gadis bersurai silver sudah lebih ada di sana. Bersandar di dinding, melipat tangan di dada.
"Sekali-kali bersikap santunlah pada kakakmu." Ia bilang.
Genggaman tangan Luke pada Valeri terlepas, beralih mencengkeram lengan atas gadis bersurai perak. "Dengar ya, wahai kakakku yang manis, cantik, dan memuakkan, sebaiknya kau pergi saja sebelum kutendang bokongmu sampai ke neraka."
"Ouhh, manisnya adikku." Gadis itu justru mengusak kepala Luke, membuat Luke semakin kesal saja.
"Huh? Kakak?" Valeri membatu. Ia menelisik gadis yang mendreklarasikan diri sebagai kakak Luke dengan seksama. Dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun. Ia memang telah mendengar bahwa Luke lahir sebagai 12 bersaudara. Namun ia tak menyangka salah satunya adalah gadis secantik ini.
Luke dan gadis itu menoleh seketika. Selanjutnya, si gadis menghempas tangan Luke dan mendekati Valeri.
"Hai manis, kau pasti Valeri. Perkenalkan, namaku Lucia Hannalee. Kau bisa memanggilku Hani."
Kelopak mata Valeri berkedip-kedip lucu. Terlihat kikuk saat membalas jabatan tangan Hani dan mendesiskan namanya; "Valeri."
"Astaga, kau kurus sekali. Adikku pasti menyiksamu, benar 'kan? Kasian."
"Kakak!" Luke memperingati. Masalahnya, Hani adalah sejenis makhluk yang senang sekali menjatuhkan harga diri adiknya. Yah, mereka memang cukup dekat. Bahkan jauh lebih dekat daripada hubungan antara Luke dengan Sean.
"Kak Hani, kau cantik sekali." Valeri memuji tulus. Ah, seandainya ia secantik Hani, apakah Luke akan jatuh cinta padanya? Ia bertanya-tanya dalam hati.
"Ah, benarkah? Kau juga cantik, sayang. Hanya perlu sedikit sentuhan make up dan beberapa perawatan dasar," tutur Hani sembari tersenyum manis dan menghipnotis.
"Tinggallah di sini, aku tidak keberatan sama sekali."
"Apa?!" Kali ini Luke memekik tak terima. Sementara itu Valeri langsung menatap sengit kepadanya.
"Diamlah! Ini keinginanku. Kau pikir aku tidak lelah hidup dikelilingi para pria?"
"Tapi, Val. Dia ini vampir yang sangat licik, asal kau tahu." Luke menuding kakaknya sendiri.
Valeri berdecak kesal. "Jika kubilang ini keinginanku berarti ini keinginanku. Sudah mutlak."
Dan lagi-lagi, setiap keinginan Valeri membuat Luke tak dapat berkutik.
***
Semenjak Hani tinggal di rumah besar itu, Valeri menjadi lebih manusiawi, dalam artian ia seperti memiliki kakak perempuan yang mengajarinya cara mempercantik diri dan melakukan perawatan kulit. Tapi sebaliknya, itu menjadi mala petaka untuk Luke. Karena kini sesi mandi Valeri selalu diambil alih oleh kakaknya. Begitu juga dengan tidur malam. Bisa dibilang, Luke kehabisan waktu berduaan dengan Valeri dan itu membuatnya muak.
Saat ini, bersama Joshua, Luke tengah menyiapkan makan malam sementara Valeri bercanda gurau dengan Hani di depan televisi. Luke geram sekali hingga ia menenggak segelas air seakan itu adalah wiski.
"Sejujurnya, Nona Hani hanya mengkhawatirkan Lord saja. Itu bisa dimengerti." Joshua membuka suara. Tangannya begitu terampil memasak spagetti.
"Aku ini pangeran mahkota. Memangnya apa yang dikhawatirkan dariku?" ketus Luke tak terima.
"Tidakkah Lord merasa terlalu dekat dengan Nona Valeri?"
"Huh? Maksudmu?"
"Tidak, saya hanya wajah Lord terlalu tampan. Saya khawatir Nona Valeri jatuh hati suatu saat nanti."
Luke berbalik, menatap Joshua lekat. Mata waspadanya sibuk mengamati gerak-gerik anak buahnya itu, sementara tangan kanannya meraba wajahnya sendiri.
"Benarkah? Haruskah aku mengganti wajahku?"
Joshua menggeleng heran. Sedang menerka-nerka bagaimana bisa seorang pangeran mahkota bisa bertingkah konyol seperti ini.
"Saya rasa selama Lord dan Nona Valeri tidak melakukan hubungan intim, itu tak jadi soal."
"Kau pikir begitu?"
Joshua mengangguk. "Manusia itu rumit, tapi mudah ditebak. Mereka cenderung cepat mengikat hati pada seseorang yang sudah berbagi keringat bersamanya."
Luke menatap nyalang Joshua yang memindah spagetti ke atas piring dan melanjutkan menata menu-menu di meja makan. Soal hati sentimentil manusia, ia sudah paham betul. Mereka memang selalu seperti itu sejak dulu. Manusia mudah jatuh cinta, mengumbar janji, lalu mengkhianatinya sendiri. Mengingat hal itu membuat Luke tersenyum sarkas.
"Yah, ibu benar. Selalu benar." Ia menghela napas sembari menompang dagu.
"Wah, Joshi. Kau pandai sekali memasak," puji Hani sesaat setelah piring-piring berisi spagetti dan steak hadir di meja.
Joshua hanya tersenyum. Ia tidak turut serta di meja makan, melainkan sedang mengelap gelas-gelas anggur di konter dapur. Sementara Luke memilih bergabung dengan para gadis. Bukan untuk makan, tapi untuk menyuapi bayi besarnya, Valeri.
Sudah kubilang, kan? Luke itu Memperlalukan Valeri kepalang manis. Hani saja hanya bisa menggeleng tak percaya melihatnya.
"Valeri, kau kelas berapa sekarang?" tanya Hani sebelum melahap potongan steak.
"Ini tahun terakhirku di sekolah."
"Hm.. Murid jaman sekarang, pasti tampan-tampan bukan? Kau memiliki kekasih?"
Mulut Valeri berhenti mengunyah. Gadis itu tampak bingung harus menjawab apa. Ia melirik Luke, rupanya Luke sedang menatap ke arahnya. Tidak perlu kata-kata untuk menjelaskan perasaan Valeri saat ini. Luke langsung tahu begitu ia melihat kerutan tipis di wajah gadis itu, sehingga ia pun langsung merengek pada kakaknya.
"Kakak..."
"Ah benar, aku lupa kau akan menikahi adikku. Tapi jika boleh kusarankan, sebaiknya kau mengencani beberapa pria sebelum menikah dengan vampir tak berguna ini. Atau kau akan menyesal seumur hidupmu."
"A-ah, sebenarnya aku tidak pernah berpikir untuk kencan dengan siapapun." Valeri mendadak dilanda canggung. Ia bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Jangan katakan kau jatuh cinta pada adikku. Manusia dan vampir itu..."
"KAKAK!!" Pukulan keras pada permukaan meja makan seketika membuat ruang makan menjadi hening. Awalnya wajah Valeri tertunduk, sampai ia mengangkat pandangannya dan memamerkan senyum yang ia paksakan.
"Manusia dan vampir dilarang jatuh cinta. Aku benar, kan? Tenang saja kak. Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada vampir manapun."
Hani tersenyum teduh, digenggamnya tangan Valeri dan diusap secara lembut; "Pilihan yang bijaksana," tuturnya.
Luke meremat meja. Entah mengapa batinnya terasa sakit mendengar jawaban Valeri. Padahal sejak ia sudah tahu mengenai hal itu.
Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana tidak ada Luke disepanjang mata Valeri memandang. Itupun tentu karena titah Valeri sendiri. Pernah dulu sekali, Luke mengekori Valeri hingga ke sekolah dan berakhir ditegur oleh guru. Kedua kalinya, memang guru tak lagi dapat melihat Luke meski vampir itu berdiri di depannya. Hanya saja, itu membuat Valeri merasa terganggu. Jadi dengan iming-iming seteguk darah kehidupannya, Valeri meminta Luke agar hanya mengantar jemputnya saja. Tak perlu sampai mengekorinya di sekolah. Hari ini, saat jam makan siang, Valeri memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Ujian tinggal menghitung hari, ia tidak ingin kehabisan waktu untuk belajar. Jika ia lulus dengan nilai bagus, Luke berjanji akan menuruti apapun keinginannya tanpa imbalan darah. Itu menggiurkan, kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. "Hai, boleh aku duduk di sini?" Seorang pemuda tampan tersenyum hangat saat Valeri mengangkat wajahnya, mencamoakkan buku yang
Valeri pernah berekspektasi bahwa vampir sangatlah menakutkan. Namun itu tak pernah menyurutkan tekatnya untuk memanggil salah satu dari mereka. Hidup bersama ibu tiri membuatnya lelah. Setiap hari biru di tubuhnya bertambah, entah saat ia berbuat salah maupun tidak. Selalu saja, wanita yang dinikahi ayahnya lima tahun lalu itu memiliki sejuta alasan untuk mendukung tindak asusilanya. Sementara sang ayah telah lebih dulu dipanggil sang kuasa. Membuat ibu dan dua saudara tirinya semakin merajalela.Malam ini, langit begitu pekat tanpa sinar rembulan. Gulita menyelimuti kamar besar Valeri. Usia gadis baru genap 18 tahun. Dua hari yang lalu, ia baru saja mendapatkan hak atas semua harta warisan ayahnya. Dan hari itu pula yang ditunggu-tunggu ibu tirinya. Valeri diam dalam ketidakberdayaan. Memendam segala yang ia ketahui untuk diri sendiri. Pernah beberapa kali ingin mengakhiri hidup dengan cara terkeji, namun ia kembali teringat ayahnya dan itu menahan keinginannya untuk mati.
Pagi ini Valeri sambut dengan gigil yang merundung diri laksana derai hujan memeluk bumi. Selalu seperti ini setelah darah dalam tubuhnya terkuras habis. Ia meringkuk memeluk diri, di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga seleher. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya biru, nyaris menghitam.Suara pintu terbuka menginterupsi, Luke datang membawa nampan berisi steak daging sapi yang bisa ditafsir seberat satu kilogram. Juga seteko tinggi susu murni. Valeri menggerakkan hidungnya. Mengendus aroma makanan yang sangat ia butuhkan saat ini."Morning." Suara husky menyapa lembut di telinga. Valeri lekas-lekas bangun. Tanpa basa-basi merampas isi nampan. Melahap rakus menu sarapan paginya."Pelan-pelan." Luke mengambil tisu, lalu mengusap dagu Valeri yang dikotori saus dan minyak dari steak.Tangan lentik yang bergetar itu beralih pada teko tinggi yang dipenuhi cairan putih. Menenggaknya cepat-cepat sambil me
"Ini yang kau sebut es krim?" Valeri terlihat kesal, menanyakan itu sembari menunjukkan sebuah es krim yang sudah tidak berbentuk kepada Luke.Pria jangkung tampak acuh, duduk meluruskan kaki di atas meja dan menengok acara televisi."Yang penting cokelatnya baik-baik saja. Bukankah itu yang kau inginkan? Berhentilah mengomel seperti ibu hamil. Kita bahkan belum pernah melakukannya." Ucapan Luke membuat Valeri bermimik mengejek."Raja vampir apanya. Belanja saja tidak becus." Valeri menggerutu.Luke bukannya tidak mendengar gerutu Valeri yang mengolok dirinya, ia mengabaikan gadis itu. Pikirannya sedang tidak di sini, melainkan memikirkan saudara termudanya yang bernama Sean. Seorang yang sialnya tidak memiliki tata krama kepada yang lebih tua.Sepertinya Luke harus menemuinya dan memberinya sedikit pelajaran sebagai pembalasan atas penyerangan yang Sean lakukan beberapa waktu lalu."Val?" Luke menoleh, tatapannya lekat pada gadis mungil yan
Valeri tengah duduk di counter dapur, mengamati Joshua yang sedang memotong daging dengan sangat terampil lalu memasakknya di atas penggorengan bersama beberapa siung bawang putih dan rosemary, saat ia bertanya;"Josh, apakah vampir juga jatuh cinta?"Pria itu menengadah, berpikir sejenak sebelum menjawab, "ya, aku juga memiliki kekasih. Kami bisa jatuh cinta pada siapa saja. Pada sesama jenis sekalipun.""Benarkah?"Joshua mengangguk, memindah potongan daging yang telah matang ke atas piring lalu meletakkan itu di meja untuk Valeri santap."Tapi aku tidak mengerti dengan Lord Luke," tuturnya kemudian."Memangnya ada apa dengannya?""Kontrak darah itu seharusnya tidak sampai dengan janji untuk menikahimu. Seharusnya dengan menghisap darahmu saja sudah cukup.""Huh?" Kedua mata sabit Valeri membola. Jadi, semua itu tidak perlu? Lalu, jika demikian, untuk apa selama ini Luke mengumbar janji akan menjadikan Valeri sebagai penganti
Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana tidak ada Luke disepanjang mata Valeri memandang. Itupun tentu karena titah Valeri sendiri. Pernah dulu sekali, Luke mengekori Valeri hingga ke sekolah dan berakhir ditegur oleh guru. Kedua kalinya, memang guru tak lagi dapat melihat Luke meski vampir itu berdiri di depannya. Hanya saja, itu membuat Valeri merasa terganggu. Jadi dengan iming-iming seteguk darah kehidupannya, Valeri meminta Luke agar hanya mengantar jemputnya saja. Tak perlu sampai mengekorinya di sekolah. Hari ini, saat jam makan siang, Valeri memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Ujian tinggal menghitung hari, ia tidak ingin kehabisan waktu untuk belajar. Jika ia lulus dengan nilai bagus, Luke berjanji akan menuruti apapun keinginannya tanpa imbalan darah. Itu menggiurkan, kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. "Hai, boleh aku duduk di sini?" Seorang pemuda tampan tersenyum hangat saat Valeri mengangkat wajahnya, mencamoakkan buku yang
Luke menepati janjinya. Ia baru saja menurunkan Valeri dari gendongannya saat ruang tamu mewah bernuansa putih gading dihuni sosok yang terlihat kontras dengan pakaian yang ia kenakan.Gaun hitam sepaha yang kepalang seksi, memamerkan kaki jenjang, dan gelombang di berbagai tempat. Luke mengernyit melihat sosok cantik bersurai silver itu tersenyum ke arahnya."Kenapa kau ada disini?" Luke bernada dingin. Sementara Valeri menatap bingung diantara dua orang itu bergantian. Merasa tidak mengenal si gadis bersurai perak tersebut. Namun melihat reaksi Luke, bisa Valeri pastikan gadis cantik ini bukanlah manusia.Gadis itu mengamati kuku-kuku panjangnya yang diwarnai semerah darah. "Ibu menyuruhku mengawasimu. Jadi aku akan tinggal disini bersama kalian."Luke menggulir bola matanya. "Kembalilah. Bilang pada ibu bahwa itu tidak perlu." Kemudian menarik tangan Valeri, membawanya masuk ke bagian rumah yang lebih inti. Namun saat sampai di ruang tengah, gadis bers
Valeri tengah duduk di counter dapur, mengamati Joshua yang sedang memotong daging dengan sangat terampil lalu memasakknya di atas penggorengan bersama beberapa siung bawang putih dan rosemary, saat ia bertanya;"Josh, apakah vampir juga jatuh cinta?"Pria itu menengadah, berpikir sejenak sebelum menjawab, "ya, aku juga memiliki kekasih. Kami bisa jatuh cinta pada siapa saja. Pada sesama jenis sekalipun.""Benarkah?"Joshua mengangguk, memindah potongan daging yang telah matang ke atas piring lalu meletakkan itu di meja untuk Valeri santap."Tapi aku tidak mengerti dengan Lord Luke," tuturnya kemudian."Memangnya ada apa dengannya?""Kontrak darah itu seharusnya tidak sampai dengan janji untuk menikahimu. Seharusnya dengan menghisap darahmu saja sudah cukup.""Huh?" Kedua mata sabit Valeri membola. Jadi, semua itu tidak perlu? Lalu, jika demikian, untuk apa selama ini Luke mengumbar janji akan menjadikan Valeri sebagai penganti
"Ini yang kau sebut es krim?" Valeri terlihat kesal, menanyakan itu sembari menunjukkan sebuah es krim yang sudah tidak berbentuk kepada Luke.Pria jangkung tampak acuh, duduk meluruskan kaki di atas meja dan menengok acara televisi."Yang penting cokelatnya baik-baik saja. Bukankah itu yang kau inginkan? Berhentilah mengomel seperti ibu hamil. Kita bahkan belum pernah melakukannya." Ucapan Luke membuat Valeri bermimik mengejek."Raja vampir apanya. Belanja saja tidak becus." Valeri menggerutu.Luke bukannya tidak mendengar gerutu Valeri yang mengolok dirinya, ia mengabaikan gadis itu. Pikirannya sedang tidak di sini, melainkan memikirkan saudara termudanya yang bernama Sean. Seorang yang sialnya tidak memiliki tata krama kepada yang lebih tua.Sepertinya Luke harus menemuinya dan memberinya sedikit pelajaran sebagai pembalasan atas penyerangan yang Sean lakukan beberapa waktu lalu."Val?" Luke menoleh, tatapannya lekat pada gadis mungil yan
Pagi ini Valeri sambut dengan gigil yang merundung diri laksana derai hujan memeluk bumi. Selalu seperti ini setelah darah dalam tubuhnya terkuras habis. Ia meringkuk memeluk diri, di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga seleher. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya biru, nyaris menghitam.Suara pintu terbuka menginterupsi, Luke datang membawa nampan berisi steak daging sapi yang bisa ditafsir seberat satu kilogram. Juga seteko tinggi susu murni. Valeri menggerakkan hidungnya. Mengendus aroma makanan yang sangat ia butuhkan saat ini."Morning." Suara husky menyapa lembut di telinga. Valeri lekas-lekas bangun. Tanpa basa-basi merampas isi nampan. Melahap rakus menu sarapan paginya."Pelan-pelan." Luke mengambil tisu, lalu mengusap dagu Valeri yang dikotori saus dan minyak dari steak.Tangan lentik yang bergetar itu beralih pada teko tinggi yang dipenuhi cairan putih. Menenggaknya cepat-cepat sambil me
Valeri pernah berekspektasi bahwa vampir sangatlah menakutkan. Namun itu tak pernah menyurutkan tekatnya untuk memanggil salah satu dari mereka. Hidup bersama ibu tiri membuatnya lelah. Setiap hari biru di tubuhnya bertambah, entah saat ia berbuat salah maupun tidak. Selalu saja, wanita yang dinikahi ayahnya lima tahun lalu itu memiliki sejuta alasan untuk mendukung tindak asusilanya. Sementara sang ayah telah lebih dulu dipanggil sang kuasa. Membuat ibu dan dua saudara tirinya semakin merajalela.Malam ini, langit begitu pekat tanpa sinar rembulan. Gulita menyelimuti kamar besar Valeri. Usia gadis baru genap 18 tahun. Dua hari yang lalu, ia baru saja mendapatkan hak atas semua harta warisan ayahnya. Dan hari itu pula yang ditunggu-tunggu ibu tirinya. Valeri diam dalam ketidakberdayaan. Memendam segala yang ia ketahui untuk diri sendiri. Pernah beberapa kali ingin mengakhiri hidup dengan cara terkeji, namun ia kembali teringat ayahnya dan itu menahan keinginannya untuk mati.