"Anak nakal! Selain pandai berdusta, rupanya kamu juga tidak punya sopan santun. Dari tadi aku mengajakmu berbicara, tak sedikitpun kamu melihat ke arahku, hah!" Mata lelaki itu menatap tajam ke arah gadis kecil di depannya. Ia merasa sangat berang karna merasa tidak di hargai.
"Bukan begitu, Paman. Tapi, aku memang tidak bisa melihatmu." Sasya mencoba menoleh ke arah lelaki itu berdiri. Meski kenyataannya tetap saja sebuah arah yang salah yang ia tuju.
Kedua alis lelaki itu berkerut. Ia berjalan semakin mendekat dan mencengkeram salah satu bahu Sasya. Sasya begitu ketakutan dan mencoba berontak melepaskan. Tapi tubuh kecilnya tak mampu melawan lelaki sangar tersebut.
"Bila ternyata kau berbohong, awas saja aku akan benar benar mencongkel kedua matamu!" ancam lelaki itu sembari menggoyang goyangkan telapak tangannya di depan muka Sasya.
Lelaki itu mengamati wajah Sasya dengan seksama dan sepertinya gadis itu tidak berbohong. Seketika, dia tersadar sesuatu."Hahaha...." Tawa pria itu terlihat puas sebelum kembali berkata, "ternyata kau buta, ya! Bocah nakal, kau pasti dibuang oleh kedua orang tuamu karna tidak berguna!""Tidak! Aku tidak nakal. Aku juga tidak dibuang orang tuaku karena mereka sudah meninggal," ucap Sasya lirih."Haa...?" Seketika lelaki itu berhenti tertawa. Diamatinya wajah Sasya dalam dalam kemudian, seperti sedang mencari satu kebenaran di sana."Anak nakal, ketahuilah bila jalan ini sangat jarang sekali dilalui manusia. Apalagi, saat malam. Kau harus secepatnya pergi dari sini!" titah lelaki itu sembari membuang pandang dari wajah Sasya."Jangan panggil aku anak nakal, Paman. Namaku Syadilla, atau Paman bisa memanggilku Sasya.""Hmmm ... siapa yang peduli namamu!" katanya dengan senyum menyeringai.Sekilas si lelaki menatap wajah lugu bocah di depannya. Entah kenapa, tiba-tiba terselip rasa iba di
"Juaaaaaang!!!"Mendengar teriakan Sani, Juang hampir saja tersedak saat sedang asik asiknya mengunyah karna kaget. "Kenapa lagi perempuan itu, kenapa dia hobi sekali berteriak?" gerutu Juang kesal. Ia pun segera berjalan menyusul istrinya ke luar rumah."Juang, apa kamu tahu siapa bocah ini? Sepertinya dia adalah seorang penyusup di kampung ini. Aku tidak tahu apa tujuan dia ke sini, tapi yang jelas dia lah pasti orang yang telah merusak dan menginjak injak hasil kerja kerasmu hari ini!" Seperti laju kereta api, Sani merepet begitu cepat dan panjang menumpahkan kekesalannya.Juang yang belum menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, sempat melongo beberapa detik mendengar rentetan panjang ucapan sang istri. Dan baru ia menyadari semuanya, tatkala kedua bola matanya mengikuti arah tatapan Sani."An - anak nakal? Astaga.....!" Juang menepuk keras jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa telah membawa bocah itu sampai ke rumahnya?"Paman Juang...!" Sasya memekik girang saat mende
"Syadil...cepat kau cuci bajuku ini! Malam nanti aku akan memakainya ke pesta ulang tahun temanku!" Sebuah kain melayang dan jatuh tepat diwajah seorang gadis yang tengah sibuk meracik minuman ke dalam gelas."Syadil...bawakan minumanku ke sini! Cepatlah, aku sedang sangat terburu buru sekarang!" Belum genap lagi langkah kaki gadis itu mencapai tempat mencuci pakaian, orang itu kembali berteriak memanggilnya."Syadil...Syadilla...! Selain buta, apa kau juga tuli sekarang, hah? Aku bisa terlambat ke kampus karenamu!""Maaf! Maafkan aku, Elena! Aku tadi belum selesai membuat teh-mu saat kau menyuruhku mencuci bajumu." Syadilla tergopoh-gopoh membawa nampan berisikan secangkir teh di atasnya, sesuai pesanan Elena.Dengan gusar Elena segera menyambar minumannya. Tenggorokannya terasa sangat kering juga seret saat menyantap nasi goreng buatan ibunya."Phhuuuuufff....!" Tiba-tiba saja Elena menyemburkan minuman dari mulutnya. Entah sengaja atau tidak, yang jelas air teh itu mengenai tubuh S
"Cepat tangkap gadis itu.!" Satu anggota aparat berteriak keras dengan jari telunjuk lurus ke arah Syadilla."Cekleek...!" Pintu mobil berwarna hitam metalik itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar 40 tahunan keluar dari dalam mobil. Saat di dalam mobil, dirinya seperti mendengar keributan di luar, dan merasakan sesuatu telah membentur body mobil. Jadi ia putuskan keluar untuk mengeceknya."Astaga.....!" teriaknya lantang. Mata lelaki itu melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Ia tak percaya begitu melihat body mobil tlah tergores dengan goresan yang cukup panjang. Dan di bawah mobil itu, tergeletak sebuah keranjang dengan banyak bunga terserak di sekitarnya."Aduuuh...!" Syadilla merintih pelan sambil memegangi lututnya berusaha untuk berdiri. Namun belum lagi ia sanggup berdiri tegak, sebuah suara lagi lagi mengagetkan dirinya."Hey gadis...! Apa yang tlah kau lakukan, hah? Dan keranjang itu, keranjang itu pasti milikmu bukan?"Syadilla yang belum mengetahui apa yang terjadi
"Dasar gadis bod*h ! Apa kau tak bisa sembunyi saat para petugas itu datang, hah?" Sani berteriak murka. Matanya melotot melihat keranjang bunga yang sudah sedikit penyok di tangan Syadilla. "Ma - maaf Bibi ! A - aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Suasana begitu kacau. Semua orang berteriak panik dan berlarian. Dan aku...""Tidak tahu harus berbuat apa ? Dengan kata lain kamu ini memang benar idiot !" Sani meraung memotong ucapan Syadilla, dan dengan kasar merebut keranjang dari gadis yang kini tertunduk takut di depannya."Lihat! Lihat karenamu semua bunga bunga ini rusak!" Sani menepuk jidatnya frustasi. "Ya Tuhan, mau makan apa kita hari ini?"Kedua mata Sani kembali memeriksa semua bunga bunga itu. Rasa marahnya semakin besar karna ternyata hampir tak ada bunga yang selamat. Bila tidak tangkainya yang patah, pastilah kelopaknya yang rusak. Satu tangannya yang gemuk kemudian mencengkeram bunga bunga itu dan melemparkannya tepat di muka Syadilla sambil berteriak,
"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak