"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang.
"Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" batin Syadilla.Berikutnya, Syadilla teringat akan gaun pemberian Elena tadi. Ia pun berpikir untuk segera ke rumah Bibi Lily, penjahit langganannya. Tentu saja setelah ia menyiapkan makan untuk pamannya dan meminta ijin darinya.****Tak butuh waktu lama bagi Syadilla bisa sampai di tempat Bibi Lily yang hanya berjarak 50 meter dari rumah bibinya."Ada apa Syadilla? Tumben datang kemari?" sapa Bibi Lily ramah begitu melihat Syadilla datang.Perempuan setengah baya itu lalu menuntun Syadilla untuk duduk di sebuah kursi kayu. Mendapat perlakuan yang istimewa, Syadilla pun tersenyum manis dan berkata, "Terimakasih Bibi Lily!""Apa kau ingin menambal gaun lagi?" tebak Bibi Lily. Karena seperti yang sudah sudah, gadis itu selalu datang ke tempatnya hanya untuk menjahit gaun bekas yang biasanya koyak di beberapa bagian.Mendengar pertanyaan Bibi Lily, rona muka gadis itu pun memerah sedikit malu."Ya ampun, kasihan sekali kamu, Nak!" Bibi Lily mengelus rambut panjang Syadilla. Meski Syadilla tak menjawab pertanyaannya, tapi ekspresi gadis itu cukup mewakili. Ia merasa begitu iba pada Syadilla yang selalu memakai baju bekas dari saudaranya, Elena."Andaikan saja aku punya cukup kain untuk membuatkanmu sebuah baju," imbuh Bibi Lily lagi sambil menatap sedih potongan potongan kain yang bertumpuk di ruangan itu. "Tapi yang kupunya hanyalah potongan perca perca ini!"Nada sedih terdengar jelas dari ucapan Bibi Lily. Memahami hal itu, Syadilla pun tersenyum menghibur."Bibi Lily, Bibi memang selalu baik padaku. Aku pasti akan senang hati menerima pemberian Bibi. Meski baju itu terbuat dari potongan seribu macam kain sekalipun," ucap Syadilla tulus.Bagaimanapun Syadilla mengerti kondisi Bibi Lily yang tak jauh berbeda darinya. Sebab lingkungan mereka tinggal memanglah para golongan masyarakat lapisan bawah di garis kemiskinan. Apalagi Bibi Lily hanyalah seorang janda tanpa anak yang menopang hidupnya hanya mengandalkan mesin jahit tua miliknya. Itu pun sudah mulai sepi peminat. Hanya beberapa langganan setia saja yang masih mau menggunakan jasanya."Kamu benar benar gadis yang baik dan polos. Baiklah, Bibi pasti akan menjahitnya untukmu nanti!" Bibi Lily tersenyum lembut, lalu mengambil buntalan berisi gaun yang hendak Syadilla jahitkan."Tunggulah, aku akan menjahitnya dengan cepat untukmu!"Syadilla mengangguk mengerti. Dia pun duduk tenang menunggu Bibi Lily menjahitkan pakaiannya. Hanya suara mesin jahit yang kemudian terdengar sedikit berisik saat beroperasi."Nah, selesai!" seru Bibi Lily bersamaan ia menghentikan mesin jahitnya. Tangannya yang sudah sedikit keriput melipat dan menyerahkan gaun itu kemudian kepada Syadilla."Simpan saja uang itu!" Bibi Lily menepis pelan tangan Syadilla yang akan mengulurkan selembar uang kertas untuknya."Tapi, Bi...""Aku akan tersinggung bila kamu menolak kebaikanku kali ini," Bibi Lily memotong cepat keraguan Syadilla."Te - terimakasih, Bibi!" ucap Syadilla terbata dengan mata sedikit berkaca kaca. Hatinya merasa tersentuh dengan kebaikan perempuan di depannya. Membuatnya menyadari kekeliruan berpikirnya selama ini. Ternyata masih ada orang orang yang bersikap begitu baik dan lembut padanya.Sudut bibir Syadilla terangkat menyunggingkan seulas senyum yang begitu manis. "Bibi, terimakasih!" ucapnya lagi dengan menggenggam erat tangan sang Bibi. Yang dibalas dengan pelukan hangat dari Bibi Lily.****"Syadilla, bangun! Cepat bangun!""Bi - Bibi..." Syadilla terhenyak dari tidurnya karena tiba tiba mendengar teriakan bibinya. Selalu seperti itu, tak pernah sekalipun bibinya itu memanggilnya dengan suara yang sedikit saja lebih pelan."Kamu enak enakan tidur di rumah. Apa kamu tidak tahu ada pencuri masuk ke rumah ini, hah?" Bibinya mulai mengamuk, melempar semua bantal guling di ranjang ke lantai."Pen - pencu - ri?" Syadilla bertanya gugup. Dia tadi memang tertidur karena merasa lelah setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah. Keadaan yang sepi juga membuat rasa kantuknya semakin menjadi."Menjaga rumah saja kamu tidak becus! Dan kini semua sisa uangku hilang. Ini semua karena kamu memang tidak berguna!" raung Sani murka sambil menoyor kepala Syadilla. Ia sangat frustasi kehilangan harta simpanannya.Syadilla hanya mengusap bagian kepala yang sedikit sakit akibat tangan bibinya itu. Sudah biasa baginya menahan kesakitan macam ini sehari hari."Tapi Bibi, aku pikir aku belum tertidur lama sepulang dari rumah Bibi Lily. Dan aku tidak mendengar suara apapun yang mencurigakan," Syadilla berkata dengan sangat hati hati, takut membuat kemarahan Bibi Sani makin bertambah."Tentu saja, karna kamu tidur persis seperti kerbau!" hardik Sani."Bu, tidak ada benda lain di rumah ini yang hilang. Hanya uang Ibu saja, kan? Itu artinya orang itu sudah tahu dimana tempat Ibu menyimpan uang," suara Elena tiba tiba menyela di tengah perdebatan. Dan tanpa setahu Syadilla, ketika mengucapkan hal itu, pandangan dan bibir Elena mencibir ke arahnya.Mengerti maksud pembicaraan putrinya, mata Sani pun ikut menatap sengit pada gadis yang masih terduduk di tepi ranjang itu. Kemarahannya semakin menjadi, dan dengan lantang berteriak, "Benar begitu Syadilla? Benar kamu yang mengambil uangku, hah?"Sontak teriakan sang Bibi membuat Syadilla reflek mendongakkan kepala. Bibirnya melongo dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya. Kenapa sekarang justru dirinya yang difitnah?"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu
Tinggalah Syadilla sendiri dengan segala kebingungan di pikirannya saat ini. Sebab jumlah uang itu begitu banyak. Bahkan bila orang itu memborong dua keranjang penuh bunga yang ia bawa sekalipun, maka uang itu masih juga berlebih.Cukup lama Syadilla tercenung berpikir. Kemana ia harus mengembalikan sisa uang itu?"Syadilla, kenapa kau melamun?" suara dengan tepukan pelan di pundaknya menegurnya."Oh, Bi - Bibi Syam?" Syadilla tergagap. Buru buru disimpannya semua uang itu ke dalam tas. Gadis itu lalu tersenyum manis dan berkata, "Aku tidak apa apa, Bibi!""Hmm, syukurlah kalau begitu," Bibi Syam bergumam. Lalu mata tuanya yang masih awas menatap jauh ke langit. Mendung telah menggelayut. Hingga bulan dan bintang yang tadinya bersinar cerah tertutup karenanya. Dan langitpun menjadi nampak seperti hamparan permadani hitam yang Maha luas."Malam sepertinya akan segera turun hujan. Sebaiknya kita segera berkemas!" Bibi Syam memperingatkan. Bagaimanapun ia merasa peduli untuk itu."Terima
"Lama sekali kamu membuka pintu. Aku hampir mati berdiri menunggu, tahu!" sembur Elena langsung begitu pintu terbuka. Syadilla sendiri tak menyangka bahwa teriakan tadi adalah suara Elena. Ya, suara Elena kali ini terdengar sedikit parau, hingga Syadilla tak mengenalinya."Maaf...! Elena apa kau mabuk?" Syadilla mencium bau alkohol dari tubuh Elena."Bukan urusanmu!" ketus Elena. Matanya yang merah menatap nyalang Syadilla. "Jangan coba coba mengadu pada Ibu! Dan sekarang, cepat buatkan aku jeruk hangat!"Syadilla hanya mengangguk patuh. Ia pun menutup pintu kembali setelah Elena memasuki rumah dengan langkah yang sedikit terhuyung. Syadilla mengetahui hal ini dari suara sepatu Elena yang tidak beraturan saat berjalan. Ini membuat Syadilla khawatir. Tak ingin Elena terjatuh, ia pun berinisiatif untuk memapah gadis yang tengah mabuk itu.Braaakkk!Syadilla terhempas dengan keras ke lantai. Elena mendorong kasar tubuh Syadilla saat berusaha menyentuhnya. Bahkan dengan lantang memaki, "
"Ibu, ayolah Bu! Aku benar benar menginginkan sepatu, juga kalung itu," rengek Elena pada ibunya. Di tangan kanannya menenteng sebuah majalah bergambar berbagai fashion stylish wanita."Elena, berhentilah dengan rengekanmu. Pusing kepalaku mendengarnya! Lagipula, semua barang itu mempunyai harga yang sungguh sungguh gila!""Aah, Ibu! Ibu memang tak pernah mau menuruti permintaanku untuk membelikanku barang yang sedikit saja lebih bagus dari yang biasa kupakai selama ini," Elena mencebik mendengar penolakan ibunya yang ke sekian kali.Melihat raut sedih anaknya, Sani hanya menggelengkan kepalanya sambil berucap, "Sayang, kita harus berhemat. Kita tidak tahu kapan kita bisa berjualan lagi seperti biasa. Setelah dua pekan pasar malam ini berakhir, tidak tahu lagi ke mana harus mencari tempat!""Sudahlah, sebaiknya kamu segera berangkat kuliah!" Sani menepuk bahu Elena. "Ibu berangkat ke pasar sekarang!"Elena sama sekali tak puas atas jawaban Ibunya. Meski begitu, ia tak lagi sempat memba
Tapi ternyata semua tak berlangsung lama. Elena yang awalnya selalu menjadi sahabat dan pembela Syadilla atas cibiran dan perundungan dari teman teman lainnya, lambat laun juga mulai menyerah. Bagaimanapun jiwa kanak kanaknya yang menyukai keramaian dan permainan semakin tak tahan dengan keterasingan. Dan itu semua adalah konsekuensi akibat kedekatannya dengan seorang anak buta bernama 'Syadilla'.Sejak saat itu, tinggalah Syadilla sendiri menjalani hari harinya yang sepi. Sebab satu satunya sahabat dan saudara perempuannya pun telah memilih dan ikut menjauh.****"Tuan, uang Anda sepertinya palsu," seru seorang gadis pada lelaki yang baru saja membeli bunga.Sontak lelaki yang membeli bunga itu pun terkejut. Tapi saat itu, pacarnya sedang berdiri di sampingnya. Dan ia sendiri sengaja membeli bunga tersebut untuk sang Pacar. Kata kata gadis penjual bunga di depan pacarnya tadi, bagi lelaki itu seolah telah menguliti dirinya di depan 'wanitanya'.Wajah sepasang muda mudi yang tadinya ce
Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter
Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak