Share

Bab 8 Fitnah

"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang.

"Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut.

"Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?"

"Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri.

"Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?"

"Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.

Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" batin Syadilla.

Berikutnya, Syadilla teringat akan gaun pemberian Elena tadi. Ia pun berpikir untuk segera ke rumah Bibi Lily, penjahit langganannya. Tentu saja setelah ia menyiapkan makan untuk pamannya dan meminta ijin darinya.

****

Tak butuh waktu lama bagi Syadilla bisa sampai di tempat Bibi Lily yang hanya berjarak 50 meter dari rumah bibinya.

"Ada apa Syadilla? Tumben datang kemari?" sapa Bibi Lily ramah begitu melihat Syadilla datang.

Perempuan setengah baya itu lalu menuntun Syadilla untuk duduk di sebuah kursi kayu. Mendapat perlakuan yang istimewa, Syadilla pun tersenyum manis dan berkata, "Terimakasih Bibi Lily!"

"Apa kau ingin menambal gaun lagi?" tebak Bibi Lily. Karena seperti yang sudah sudah, gadis itu selalu datang ke tempatnya hanya untuk menjahit gaun bekas yang biasanya koyak di beberapa bagian.

Mendengar pertanyaan Bibi Lily, rona muka gadis itu pun memerah sedikit malu.

"Ya ampun, kasihan sekali kamu, Nak!" Bibi Lily mengelus rambut panjang Syadilla. Meski Syadilla tak menjawab pertanyaannya, tapi ekspresi gadis itu cukup mewakili. Ia merasa begitu iba pada Syadilla yang selalu memakai baju bekas dari saudaranya, Elena.

"Andaikan saja aku punya cukup kain untuk membuatkanmu sebuah baju," imbuh Bibi Lily lagi sambil menatap sedih potongan potongan kain yang bertumpuk di ruangan itu. "Tapi yang kupunya hanyalah potongan perca perca ini!"

Nada sedih terdengar jelas dari ucapan Bibi Lily. Memahami hal itu, Syadilla pun tersenyum menghibur.

"Bibi Lily, Bibi memang selalu baik padaku. Aku pasti akan senang hati menerima pemberian Bibi. Meski baju itu terbuat dari potongan seribu macam kain sekalipun," ucap Syadilla tulus.

Bagaimanapun Syadilla mengerti kondisi Bibi Lily yang tak jauh berbeda darinya. Sebab lingkungan mereka tinggal memanglah para golongan masyarakat lapisan bawah di garis kemiskinan. Apalagi Bibi Lily hanyalah seorang janda tanpa anak yang menopang hidupnya hanya mengandalkan mesin jahit tua miliknya. Itu pun sudah mulai sepi peminat. Hanya beberapa langganan setia saja yang masih mau menggunakan jasanya.

"Kamu benar benar gadis yang baik dan polos. Baiklah, Bibi pasti akan menjahitnya untukmu nanti!" Bibi Lily tersenyum lembut, lalu mengambil buntalan berisi gaun yang hendak Syadilla jahitkan.

"Tunggulah, aku akan menjahitnya dengan cepat untukmu!"

Syadilla mengangguk mengerti. Dia pun duduk tenang menunggu Bibi Lily menjahitkan pakaiannya. Hanya suara mesin jahit yang kemudian terdengar sedikit berisik saat beroperasi.

"Nah, selesai!" seru Bibi Lily bersamaan ia menghentikan mesin jahitnya. Tangannya yang sudah sedikit keriput melipat dan menyerahkan gaun itu kemudian kepada Syadilla.

"Simpan saja uang itu!" Bibi Lily menepis pelan tangan Syadilla yang akan mengulurkan selembar uang kertas untuknya.

"Tapi, Bi..."

"Aku akan tersinggung bila kamu menolak kebaikanku kali ini," Bibi Lily memotong cepat keraguan Syadilla.

"Te - terimakasih, Bibi!" ucap Syadilla terbata dengan mata sedikit berkaca kaca. Hatinya merasa tersentuh dengan kebaikan perempuan di depannya. Membuatnya menyadari kekeliruan berpikirnya selama ini. Ternyata masih ada orang orang yang bersikap begitu baik dan lembut padanya.

Sudut bibir Syadilla terangkat menyunggingkan seulas senyum yang begitu manis. "Bibi, terimakasih!" ucapnya lagi dengan menggenggam erat tangan sang Bibi. Yang dibalas dengan pelukan hangat dari Bibi Lily.

****

"Syadilla, bangun! Cepat bangun!"

"Bi - Bibi..." Syadilla terhenyak dari tidurnya karena tiba tiba mendengar teriakan bibinya. Selalu seperti itu, tak pernah sekalipun bibinya itu memanggilnya dengan suara yang sedikit saja lebih pelan.

"Kamu enak enakan tidur di rumah. Apa kamu tidak tahu ada pencuri masuk ke rumah ini, hah?" Bibinya mulai mengamuk, melempar semua bantal guling di ranjang ke lantai.

"Pen - pencu - ri?" Syadilla bertanya gugup. Dia tadi memang tertidur karena merasa lelah setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah. Keadaan yang sepi juga membuat rasa kantuknya semakin menjadi.

"Menjaga rumah saja kamu tidak becus! Dan kini semua sisa uangku hilang. Ini semua karena kamu memang tidak berguna!" raung Sani murka sambil menoyor kepala Syadilla. Ia sangat frustasi kehilangan harta simpanannya.

Syadilla hanya mengusap bagian kepala yang sedikit sakit akibat tangan bibinya itu. Sudah biasa baginya menahan kesakitan macam ini sehari hari.

"Tapi Bibi, aku pikir aku belum tertidur lama sepulang dari rumah Bibi Lily. Dan aku tidak mendengar suara apapun yang mencurigakan," Syadilla berkata dengan sangat hati hati, takut membuat kemarahan Bibi Sani makin bertambah.

"Tentu saja, karna kamu tidur persis seperti kerbau!" hardik Sani.

"Bu, tidak ada benda lain di rumah ini yang hilang. Hanya uang Ibu saja, kan? Itu artinya orang itu sudah tahu dimana tempat Ibu menyimpan uang," suara Elena tiba tiba menyela di tengah perdebatan. Dan tanpa setahu Syadilla, ketika mengucapkan hal itu, pandangan dan bibir Elena mencibir ke arahnya.

Mengerti maksud pembicaraan putrinya, mata Sani pun ikut menatap sengit pada gadis yang masih terduduk di tepi ranjang itu. Kemarahannya semakin menjadi, dan dengan lantang berteriak, "Benar begitu Syadilla? Benar kamu yang mengambil uangku, hah?"

Sontak teriakan sang Bibi membuat Syadilla reflek mendongakkan kepala. Bibirnya melongo dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya. Kenapa sekarang justru dirinya yang difitnah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status