"Juaaaaaang!!!"
Mendengar teriakan Sani, Juang hampir saja tersedak saat sedang asik asiknya mengunyah karna kaget."Kenapa lagi perempuan itu, kenapa dia hobi sekali berteriak?" gerutu Juang kesal. Ia pun segera berjalan menyusul istrinya ke luar rumah.
"Juang, apa kamu tahu siapa bocah ini? Sepertinya dia adalah seorang penyusup di kampung ini. Aku tidak tahu apa tujuan dia ke sini, tapi yang jelas dia lah pasti orang yang telah merusak dan menginjak injak hasil kerja kerasmu hari ini!" Seperti laju kereta api, Sani merepet begitu cepat dan panjang menumpahkan kekesalannya.Juang yang belum menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, sempat melongo beberapa detik mendengar rentetan panjang ucapan sang istri. Dan baru ia menyadari semuanya, tatkala kedua bola matanya mengikuti arah tatapan Sani."An - anak nakal? Astaga.....!" Juang menepuk keras jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa telah membawa bocah itu sampai ke rumahnya?"Paman Juang...!" Sasya memekik girang saat mendengar suara lelaki yang baru beberapa saat dikenalnya itu.Sani mengkerutkan keningnya."Juang, apa kau mengenal bocah ini?" Sani mulai mengintrogasi suaminya. Ia terheran, bocah itu menyebut nama suaminya dengan sebutan "paman".
"Ehm...ehm...di - dia tadi kutemukan di tepi jalan saat perjalanan dari hutan. Tadinya aku tidak berniat membawanya kesini, tapi...." Sejenak ucapan Juang terhenti, dengan ragu ia melihat wajah Sani sebelum menyelesaikan kalimatnya, "Tapi aku pun tak tega meninggalkannya, bagaimanapun tempat itu sangat berbahaya di malam hari. Apalagi untuk bocah seusianya yang sepantar Elena, putri kita."Sani hanya diam mendengar penjelasan suaminya, namun tatapannya begitu dingin seperti lautan es. Menakutkan...! Membuat Juang semakin membeku dan salah tingkah."Eh...eh...Istriku, jangan marah! Aku hanya berniat sedikit menolongnya. Siapa tahu dia akan berguna untuk kita suatu hari nanti!" Juang begitu gugup berupaya meredakan kemarahan Sani. Entah kenapa pria yang berperawakan tinggi besar dan terlihat sangar itu selalu ciut nyalinya tiap kali menghadapi kemurkaan sang istri."Baah....Kau bilang berguna? Baru menginjakkan kakinya di sini saja dia telah membuat kerusakan dan kita merugi. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari seorang buta sepertinya?" Sani menunjuk kerusakan di dalam gerobak. Ia begitu gemas dengan apa yang telah di lakukan bocah itu, terlebih suaminya telah membawanya ke rumahnya. Padahal hidup mereka begitu pas pasan bahkan seringkali berkekurangan. Dia pasti tak akan sanggup untuk berbagi kebutuhan dengan anak itu."Kruuuukkk...!" Sasya meringis memegangi perutnya. Rasa lapar tak dapat lagi ia sembunyikan. Tapi kenapa perutnya justru tak bisa berkompromi di saat suasana sedang begitu tegang?Sani melirik Sasya yang hanya berdiri termangu sedari tadi. Wajah kecilnya menunduk dalam seperti sedang menahan ketakutan."Huuufff....!" Sani menarik napas panjang."Baiklah aku akan berbaik hati sekali ini. Dia boleh makan dengan sisa kuah sup malam ini. Kasih dia tidur di ruang tamu, dan ingat besok pagi kamu bawa bocah itu ke pasar. Dan setelahnya dia bukan lagi urusan kita!" Sani menghentakkan kakinya lalu dengan langkah gusar ia pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sasya dan Juang yang masih saja terbengong. Lelaki itu menyerah dengan perintah istrinya, tak ada pilihan lain selain menuruti kata kata Sani atau hari hari ke depannya akan sangat buruk bagi dirinya."Itu artinya, esok aku harus kembali membuang bocah ini ke pasar." Sekilas Juang melirik Sasya. "Aaah...tapi paling tidak di pasar banyak orang berlalu lalang, pasti di antara mereka akan ada yang bersedia memungutnya nanti," batin Juang bermonolog menjawab keraguan dalam pikirannya. Ia berpikir keras tentang apa yang harus ia perbuat selanjutnya untuk "Si anak nakal" tersebut."Tok... Tok.. Tok...!" terdengar pintu rumah diketuk. Sani yang sedang sibuk berkutat dengan cucian piring, bergegas berjalan untuk membukanya. "Cekleeek...!" Begitu pintu terbuka, suaminya pun telah berdiri di depannya. "Bagaimana, Kau sudah mencampakkan bocah itu tentunya kan?" tanya Sani langsung memberondong suaminya."Eh istriku, eh itu..." Juang bicara dengan begitu gugup. Bagaimana dia harus menjelaskan semuanya kepada istrinya? Alasan apa yang harus dia berikan?Juang menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia bingung. "Istriku, soal itu aku..., emm...""Jangan katakan kalau kau tidak melakukannya!" Sani menyambar cepat ucapan Juang yang belum selesai, ia menyadari gelagat aneh suaminya hingga nampak begitu gugup.Di tengah suasana yang ambigu, tiba tiba saja tubuh kecil Sasya menyembul keluar dari arah belakang Juang. Rupanya, sejak awal ia telah bersembunyi di balik tubuh tegap tersebut. Dengan takut takut, Sasya pun coba menyapa, "Bibi Sani..!"Tentu saja kemunculan Sasya kembali membuat emosi Sani tersulut. Matanya mendelik tak suka. Ia begitu gemas, merasa telah dipermainkan oleh dua makhluk didepannya. "Bagus sekali, suamiku!" ujarnya ketus menatap Juang. "Bibi, tolong jangan salahkan Paman Juang. Dia sudah berulangkali merepotkan dirinya karna aku. Ini semua salahku," tutur Sasya menghiba. "Braaaakkk....!" Pintu dibanting dengan sangat keras. Jantung Juang hampir saja copot dibuatnya. Ia meraup wajah frustasi sebelum akirnya mengejar sang istri masuk ke rumah."Istriku...Istriku dengar penjelasanku dulu!"Sani pun membalik badan. "Praaang....!" Satu piring terbang dari tangan Sani mendarat sempurna dan menjadi berkeping keping setelah membentur tembok di sisi kanan Juang."Istriku, jangan begitu!""Praaaang....!" Satu lagi gelas terbanting. Kali ini jatuh tepat di sisi kiri Juang. Ternyata pertunjukan sepertinya belum usai. Dengan mata yang merah menyala Sani menyiapkan serangannya kembali. Tangan kanannya terangkat tinggi ke atas memegang sebuah kuali. Persis seperti seorang prajurit yang hendak melempar sebuah dinamit."Istriku..., coba lihat ini! Lihatlah uang uang ini!" Juang berteriak keras tepat saat lengan istrinya mengayun siap melemparkan kuali. Kedua mata Juang terpejam erat menahan kepanikannya akan amukan istrinya."Haa...?" Gerakan Sani seketika terkunci. Ia tertegun melihat banyak lembaran uang kertas melambai lambai di tangan Juang. Dengan gerakan yang cepat, Sani segera maju dan menyambar semua uang dari tangan Juang. "Darimana Kau mendapatkan semua uang ini?" cecarnya."Ee - itu - eee..., itu semua uang dari hasil menjual rumput dan bunga bunga kita yang masih selamat. Seperti yang kamu ketahui, tadi aku sudah sangat kesiangan berangkat ke pangkalan berjualan. Jadi aku memutuskan akan membawa anak itu selepas berjualan saja. Tapi..." Juang menggantung kalimatnya."Tapi apa, hah?""Tapi aku tidak menyangka saat anak itu duduk di dekat barang dagangan kita, banyak orang yang datang menghampirinya. Mereka bilang paras bocah itu sangatlah cantik, dan mereka mengaguminya. Dan begitu mereka tahu kenyataannya bahwa dia buta, merekapun akhirnya membeli dagangan kita, bahkan sampai ada yang memborongnya. Belum lagi uang cuma cuma yang di berikan mereka pada bocah itu karna rasa kasihan."Ekspresi Sani berangsur mulai tenang. Matanya terfokus pada banyaknya uang di tangannya. Jari jarinya begitu lincah menghitung lembar demi lembar uang tersebut. Bagaimanapun jumlah uang itu lumayan banyak. Sama seperti Juang, ia juga tidak menyangka bocah buta yang dibawa suaminya itu mempu menyedot perhatian orang orang, hingga mendapat banyak uang dari mereka."Huuuff...." Juang menarik napas lega."Untung, tadi aku mengibarkan bendera damai tepat waktu," batinnya.Setelah Sani mendengarkan panjang lebar penjelasan suaminya, otaknya pun berpikir cepat. Ia tahu kemana arah bicara Juang saat itu, termasuk alasannya membawa kembali bocah itu ke rumah. Sudut bibir Sani tiba tiba terangkat, tersenyum miring. Hatinya mendesis picik,"Hmm, bocah itu bisa menjadi ladang uangku yang baru!"
"Syadil...cepat kau cuci bajuku ini! Malam nanti aku akan memakainya ke pesta ulang tahun temanku!" Sebuah kain melayang dan jatuh tepat diwajah seorang gadis yang tengah sibuk meracik minuman ke dalam gelas."Syadil...bawakan minumanku ke sini! Cepatlah, aku sedang sangat terburu buru sekarang!" Belum genap lagi langkah kaki gadis itu mencapai tempat mencuci pakaian, orang itu kembali berteriak memanggilnya."Syadil...Syadilla...! Selain buta, apa kau juga tuli sekarang, hah? Aku bisa terlambat ke kampus karenamu!""Maaf! Maafkan aku, Elena! Aku tadi belum selesai membuat teh-mu saat kau menyuruhku mencuci bajumu." Syadilla tergopoh-gopoh membawa nampan berisikan secangkir teh di atasnya, sesuai pesanan Elena.Dengan gusar Elena segera menyambar minumannya. Tenggorokannya terasa sangat kering juga seret saat menyantap nasi goreng buatan ibunya."Phhuuuuufff....!" Tiba-tiba saja Elena menyemburkan minuman dari mulutnya. Entah sengaja atau tidak, yang jelas air teh itu mengenai tubuh S
"Cepat tangkap gadis itu.!" Satu anggota aparat berteriak keras dengan jari telunjuk lurus ke arah Syadilla."Cekleek...!" Pintu mobil berwarna hitam metalik itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar 40 tahunan keluar dari dalam mobil. Saat di dalam mobil, dirinya seperti mendengar keributan di luar, dan merasakan sesuatu telah membentur body mobil. Jadi ia putuskan keluar untuk mengeceknya."Astaga.....!" teriaknya lantang. Mata lelaki itu melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Ia tak percaya begitu melihat body mobil tlah tergores dengan goresan yang cukup panjang. Dan di bawah mobil itu, tergeletak sebuah keranjang dengan banyak bunga terserak di sekitarnya."Aduuuh...!" Syadilla merintih pelan sambil memegangi lututnya berusaha untuk berdiri. Namun belum lagi ia sanggup berdiri tegak, sebuah suara lagi lagi mengagetkan dirinya."Hey gadis...! Apa yang tlah kau lakukan, hah? Dan keranjang itu, keranjang itu pasti milikmu bukan?"Syadilla yang belum mengetahui apa yang terjadi
"Dasar gadis bod*h ! Apa kau tak bisa sembunyi saat para petugas itu datang, hah?" Sani berteriak murka. Matanya melotot melihat keranjang bunga yang sudah sedikit penyok di tangan Syadilla. "Ma - maaf Bibi ! A - aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Suasana begitu kacau. Semua orang berteriak panik dan berlarian. Dan aku...""Tidak tahu harus berbuat apa ? Dengan kata lain kamu ini memang benar idiot !" Sani meraung memotong ucapan Syadilla, dan dengan kasar merebut keranjang dari gadis yang kini tertunduk takut di depannya."Lihat! Lihat karenamu semua bunga bunga ini rusak!" Sani menepuk jidatnya frustasi. "Ya Tuhan, mau makan apa kita hari ini?"Kedua mata Sani kembali memeriksa semua bunga bunga itu. Rasa marahnya semakin besar karna ternyata hampir tak ada bunga yang selamat. Bila tidak tangkainya yang patah, pastilah kelopaknya yang rusak. Satu tangannya yang gemuk kemudian mencengkeram bunga bunga itu dan melemparkannya tepat di muka Syadilla sambil berteriak,
"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu
Tinggalah Syadilla sendiri dengan segala kebingungan di pikirannya saat ini. Sebab jumlah uang itu begitu banyak. Bahkan bila orang itu memborong dua keranjang penuh bunga yang ia bawa sekalipun, maka uang itu masih juga berlebih.Cukup lama Syadilla tercenung berpikir. Kemana ia harus mengembalikan sisa uang itu?"Syadilla, kenapa kau melamun?" suara dengan tepukan pelan di pundaknya menegurnya."Oh, Bi - Bibi Syam?" Syadilla tergagap. Buru buru disimpannya semua uang itu ke dalam tas. Gadis itu lalu tersenyum manis dan berkata, "Aku tidak apa apa, Bibi!""Hmm, syukurlah kalau begitu," Bibi Syam bergumam. Lalu mata tuanya yang masih awas menatap jauh ke langit. Mendung telah menggelayut. Hingga bulan dan bintang yang tadinya bersinar cerah tertutup karenanya. Dan langitpun menjadi nampak seperti hamparan permadani hitam yang Maha luas."Malam sepertinya akan segera turun hujan. Sebaiknya kita segera berkemas!" Bibi Syam memperingatkan. Bagaimanapun ia merasa peduli untuk itu."Terima