"Juaaaaaang!!!"
Mendengar teriakan Sani, Juang hampir saja tersedak saat sedang asik asiknya mengunyah karna kaget."Kenapa lagi perempuan itu, kenapa dia hobi sekali berteriak?" gerutu Juang kesal. Ia pun segera berjalan menyusul istrinya ke luar rumah.
"Juang, apa kamu tahu siapa bocah ini? Sepertinya dia adalah seorang penyusup di kampung ini. Aku tidak tahu apa tujuan dia ke sini, tapi yang jelas dia lah pasti orang yang telah merusak dan menginjak injak hasil kerja kerasmu hari ini!" Seperti laju kereta api, Sani merepet begitu cepat dan panjang menumpahkan kekesalannya.Juang yang belum menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, sempat melongo beberapa detik mendengar rentetan panjang ucapan sang istri. Dan baru ia menyadari semuanya, tatkala kedua bola matanya mengikuti arah tatapan Sani."An - anak nakal? Astaga.....!" Juang menepuk keras jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa telah membawa bocah itu sampai ke rumahnya?"Paman Juang...!" Sasya memekik girang saat mendengar suara lelaki yang baru beberapa saat dikenalnya itu.Sani mengkerutkan keningnya."Juang, apa kau mengenal bocah ini?" Sani mulai mengintrogasi suaminya. Ia terheran, bocah itu menyebut nama suaminya dengan sebutan "paman".
"Ehm...ehm...di - dia tadi kutemukan di tepi jalan saat perjalanan dari hutan. Tadinya aku tidak berniat membawanya kesini, tapi...." Sejenak ucapan Juang terhenti, dengan ragu ia melihat wajah Sani sebelum menyelesaikan kalimatnya, "Tapi aku pun tak tega meninggalkannya, bagaimanapun tempat itu sangat berbahaya di malam hari. Apalagi untuk bocah seusianya yang sepantar Elena, putri kita."Sani hanya diam mendengar penjelasan suaminya, namun tatapannya begitu dingin seperti lautan es. Menakutkan...! Membuat Juang semakin membeku dan salah tingkah."Eh...eh...Istriku, jangan marah! Aku hanya berniat sedikit menolongnya. Siapa tahu dia akan berguna untuk kita suatu hari nanti!" Juang begitu gugup berupaya meredakan kemarahan Sani. Entah kenapa pria yang berperawakan tinggi besar dan terlihat sangar itu selalu ciut nyalinya tiap kali menghadapi kemurkaan sang istri."Baah....Kau bilang berguna? Baru menginjakkan kakinya di sini saja dia telah membuat kerusakan dan kita merugi. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari seorang buta sepertinya?" Sani menunjuk kerusakan di dalam gerobak. Ia begitu gemas dengan apa yang telah di lakukan bocah itu, terlebih suaminya telah membawanya ke rumahnya. Padahal hidup mereka begitu pas pasan bahkan seringkali berkekurangan. Dia pasti tak akan sanggup untuk berbagi kebutuhan dengan anak itu."Kruuuukkk...!" Sasya meringis memegangi perutnya. Rasa lapar tak dapat lagi ia sembunyikan. Tapi kenapa perutnya justru tak bisa berkompromi di saat suasana sedang begitu tegang?Sani melirik Sasya yang hanya berdiri termangu sedari tadi. Wajah kecilnya menunduk dalam seperti sedang menahan ketakutan."Huuufff....!" Sani menarik napas panjang."Baiklah aku akan berbaik hati sekali ini. Dia boleh makan dengan sisa kuah sup malam ini. Kasih dia tidur di ruang tamu, dan ingat besok pagi kamu bawa bocah itu ke pasar. Dan setelahnya dia bukan lagi urusan kita!" Sani menghentakkan kakinya lalu dengan langkah gusar ia pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sasya dan Juang yang masih saja terbengong. Lelaki itu menyerah dengan perintah istrinya, tak ada pilihan lain selain menuruti kata kata Sani atau hari hari ke depannya akan sangat buruk bagi dirinya."Itu artinya, esok aku harus kembali membuang bocah ini ke pasar." Sekilas Juang melirik Sasya. "Aaah...tapi paling tidak di pasar banyak orang berlalu lalang, pasti di antara mereka akan ada yang bersedia memungutnya nanti," batin Juang bermonolog menjawab keraguan dalam pikirannya. Ia berpikir keras tentang apa yang harus ia perbuat selanjutnya untuk "Si anak nakal" tersebut."Tok... Tok.. Tok...!" terdengar pintu rumah diketuk. Sani yang sedang sibuk berkutat dengan cucian piring, bergegas berjalan untuk membukanya. "Cekleeek...!" Begitu pintu terbuka, suaminya pun telah berdiri di depannya. "Bagaimana, Kau sudah mencampakkan bocah itu tentunya kan?" tanya Sani langsung memberondong suaminya."Eh istriku, eh itu..." Juang bicara dengan begitu gugup. Bagaimana dia harus menjelaskan semuanya kepada istrinya? Alasan apa yang harus dia berikan?Juang menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia bingung. "Istriku, soal itu aku..., emm...""Jangan katakan kalau kau tidak melakukannya!" Sani menyambar cepat ucapan Juang yang belum selesai, ia menyadari gelagat aneh suaminya hingga nampak begitu gugup.Di tengah suasana yang ambigu, tiba tiba saja tubuh kecil Sasya menyembul keluar dari arah belakang Juang. Rupanya, sejak awal ia telah bersembunyi di balik tubuh tegap tersebut. Dengan takut takut, Sasya pun coba menyapa, "Bibi Sani..!"Tentu saja kemunculan Sasya kembali membuat emosi Sani tersulut. Matanya mendelik tak suka. Ia begitu gemas, merasa telah dipermainkan oleh dua makhluk didepannya. "Bagus sekali, suamiku!" ujarnya ketus menatap Juang. "Bibi, tolong jangan salahkan Paman Juang. Dia sudah berulangkali merepotkan dirinya karna aku. Ini semua salahku," tutur Sasya menghiba. "Braaaakkk....!" Pintu dibanting dengan sangat keras. Jantung Juang hampir saja copot dibuatnya. Ia meraup wajah frustasi sebelum akirnya mengejar sang istri masuk ke rumah."Istriku...Istriku dengar penjelasanku dulu!"Sani pun membalik badan. "Praaang....!" Satu piring terbang dari tangan Sani mendarat sempurna dan menjadi berkeping keping setelah membentur tembok di sisi kanan Juang."Istriku, jangan begitu!""Praaaang....!" Satu lagi gelas terbanting. Kali ini jatuh tepat di sisi kiri Juang. Ternyata pertunjukan sepertinya belum usai. Dengan mata yang merah menyala Sani menyiapkan serangannya kembali. Tangan kanannya terangkat tinggi ke atas memegang sebuah kuali. Persis seperti seorang prajurit yang hendak melempar sebuah dinamit."Istriku..., coba lihat ini! Lihatlah uang uang ini!" Juang berteriak keras tepat saat lengan istrinya mengayun siap melemparkan kuali. Kedua mata Juang terpejam erat menahan kepanikannya akan amukan istrinya."Haa...?" Gerakan Sani seketika terkunci. Ia tertegun melihat banyak lembaran uang kertas melambai lambai di tangan Juang. Dengan gerakan yang cepat, Sani segera maju dan menyambar semua uang dari tangan Juang. "Darimana Kau mendapatkan semua uang ini?" cecarnya."Ee - itu - eee..., itu semua uang dari hasil menjual rumput dan bunga bunga kita yang masih selamat. Seperti yang kamu ketahui, tadi aku sudah sangat kesiangan berangkat ke pangkalan berjualan. Jadi aku memutuskan akan membawa anak itu selepas berjualan saja. Tapi..." Juang menggantung kalimatnya."Tapi apa, hah?""Tapi aku tidak menyangka saat anak itu duduk di dekat barang dagangan kita, banyak orang yang datang menghampirinya. Mereka bilang paras bocah itu sangatlah cantik, dan mereka mengaguminya. Dan begitu mereka tahu kenyataannya bahwa dia buta, merekapun akhirnya membeli dagangan kita, bahkan sampai ada yang memborongnya. Belum lagi uang cuma cuma yang di berikan mereka pada bocah itu karna rasa kasihan."Ekspresi Sani berangsur mulai tenang. Matanya terfokus pada banyaknya uang di tangannya. Jari jarinya begitu lincah menghitung lembar demi lembar uang tersebut. Bagaimanapun jumlah uang itu lumayan banyak. Sama seperti Juang, ia juga tidak menyangka bocah buta yang dibawa suaminya itu mempu menyedot perhatian orang orang, hingga mendapat banyak uang dari mereka."Huuuff...." Juang menarik napas lega."Untung, tadi aku mengibarkan bendera damai tepat waktu," batinnya.Setelah Sani mendengarkan panjang lebar penjelasan suaminya, otaknya pun berpikir cepat. Ia tahu kemana arah bicara Juang saat itu, termasuk alasannya membawa kembali bocah itu ke rumah. Sudut bibir Sani tiba tiba terangkat, tersenyum miring. Hatinya mendesis picik,"Hmm, bocah itu bisa menjadi ladang uangku yang baru!"
"Syadil...cepat kau cuci bajuku ini! Malam nanti aku akan memakainya ke pesta ulang tahun temanku!" Sebuah kain melayang dan jatuh tepat diwajah seorang gadis yang tengah sibuk meracik minuman ke dalam gelas."Syadil...bawakan minumanku ke sini! Cepatlah, aku sedang sangat terburu buru sekarang!" Belum genap lagi langkah kaki gadis itu mencapai tempat mencuci pakaian, orang itu kembali berteriak memanggilnya."Syadil...Syadilla...! Selain buta, apa kau juga tuli sekarang, hah? Aku bisa terlambat ke kampus karenamu!""Maaf! Maafkan aku, Elena! Aku tadi belum selesai membuat teh-mu saat kau menyuruhku mencuci bajumu." Syadilla tergopoh-gopoh membawa nampan berisikan secangkir teh di atasnya, sesuai pesanan Elena.Dengan gusar Elena segera menyambar minumannya. Tenggorokannya terasa sangat kering juga seret saat menyantap nasi goreng buatan ibunya."Phhuuuuufff....!" Tiba-tiba saja Elena menyemburkan minuman dari mulutnya. Entah sengaja atau tidak, yang jelas air teh itu mengenai tubuh S
"Cepat tangkap gadis itu.!" Satu anggota aparat berteriak keras dengan jari telunjuk lurus ke arah Syadilla."Cekleek...!" Pintu mobil berwarna hitam metalik itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar 40 tahunan keluar dari dalam mobil. Saat di dalam mobil, dirinya seperti mendengar keributan di luar, dan merasakan sesuatu telah membentur body mobil. Jadi ia putuskan keluar untuk mengeceknya."Astaga.....!" teriaknya lantang. Mata lelaki itu melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Ia tak percaya begitu melihat body mobil tlah tergores dengan goresan yang cukup panjang. Dan di bawah mobil itu, tergeletak sebuah keranjang dengan banyak bunga terserak di sekitarnya."Aduuuh...!" Syadilla merintih pelan sambil memegangi lututnya berusaha untuk berdiri. Namun belum lagi ia sanggup berdiri tegak, sebuah suara lagi lagi mengagetkan dirinya."Hey gadis...! Apa yang tlah kau lakukan, hah? Dan keranjang itu, keranjang itu pasti milikmu bukan?"Syadilla yang belum mengetahui apa yang terjadi
"Dasar gadis bod*h ! Apa kau tak bisa sembunyi saat para petugas itu datang, hah?" Sani berteriak murka. Matanya melotot melihat keranjang bunga yang sudah sedikit penyok di tangan Syadilla. "Ma - maaf Bibi ! A - aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Suasana begitu kacau. Semua orang berteriak panik dan berlarian. Dan aku...""Tidak tahu harus berbuat apa ? Dengan kata lain kamu ini memang benar idiot !" Sani meraung memotong ucapan Syadilla, dan dengan kasar merebut keranjang dari gadis yang kini tertunduk takut di depannya."Lihat! Lihat karenamu semua bunga bunga ini rusak!" Sani menepuk jidatnya frustasi. "Ya Tuhan, mau makan apa kita hari ini?"Kedua mata Sani kembali memeriksa semua bunga bunga itu. Rasa marahnya semakin besar karna ternyata hampir tak ada bunga yang selamat. Bila tidak tangkainya yang patah, pastilah kelopaknya yang rusak. Satu tangannya yang gemuk kemudian mencengkeram bunga bunga itu dan melemparkannya tepat di muka Syadilla sambil berteriak,
"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu
Tinggalah Syadilla sendiri dengan segala kebingungan di pikirannya saat ini. Sebab jumlah uang itu begitu banyak. Bahkan bila orang itu memborong dua keranjang penuh bunga yang ia bawa sekalipun, maka uang itu masih juga berlebih.Cukup lama Syadilla tercenung berpikir. Kemana ia harus mengembalikan sisa uang itu?"Syadilla, kenapa kau melamun?" suara dengan tepukan pelan di pundaknya menegurnya."Oh, Bi - Bibi Syam?" Syadilla tergagap. Buru buru disimpannya semua uang itu ke dalam tas. Gadis itu lalu tersenyum manis dan berkata, "Aku tidak apa apa, Bibi!""Hmm, syukurlah kalau begitu," Bibi Syam bergumam. Lalu mata tuanya yang masih awas menatap jauh ke langit. Mendung telah menggelayut. Hingga bulan dan bintang yang tadinya bersinar cerah tertutup karenanya. Dan langitpun menjadi nampak seperti hamparan permadani hitam yang Maha luas."Malam sepertinya akan segera turun hujan. Sebaiknya kita segera berkemas!" Bibi Syam memperingatkan. Bagaimanapun ia merasa peduli untuk itu."Terima
"Ke mana perginya gadis buta si*lan itu? Sudah dua hari tak pulang?" Sani berkata dengan geram pada dirinya sendiri sambil terus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Elena yang duduk di kursi makan tak jauh dari ibunya, pura pura saja tak mendengar cuitan cempreng sang ibu. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Sementara kedua matanya yang bulat tak lepas dari layar hp di tangan kirinya.Baginya pekerjaan rumah adalah sama sekali bukan urusannya. Jadi tidak penting apakah ibunya ataukah Syadilla yang mengerjakan semua itu."Istriku, kamu jangan ngomel terus! Pusing kepalaku mendengarnya," Juang yang baru masuk ke ruang makan memprotes. Dari pintu sekat di ruangan itu, ia melihat istrinya sibuk bekerja sekaligus mengomel. "Apa mulutmu itu tidak capek?" imbuhnya.Seperti halnya Elena, dari tadi Juang hanya diam mengabaikan repetan Sani yang terus saja melaju seperti kereta. Kalau bukan karena cacing di perutnya yang sudah ikut berteriak minta diisi, malas sekali dirinya berjalan ke dapu
Syadilla mengangkat kepalanya. Heran. Bagaimana lelaki ini tahu tentang keluarga angkatnya. "Kamu mengenal Paman Juang?" ia pun bertanya dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya.Lelaki di depan Syadilla sebenarnya tak lain adalah Morgan. Orang yang sama, yang telah menyelamatkan gadis itu saat terjadi razia pedagang kaki lima sebelumnya."Itu tidak penting. Sekarang baiknya kamu segera menghabiskan makananmu. Buka mulutmu!""A - aku bisa melakukannya sendiri," Syadilla masih menolak membuka mulutnya saat ujung sendok di tangan lelaki itu menyentuh bibirnya. "Tapi sebelumnya aku ingin mandi membersihkan badan. Tuan, bolehkah aku...""Berjalanlah sepuluh langkah ke kanan dari ranjangmu, kamu akan menemukan kamar mandi. Aku akan keluar. Setengah jam lagi aku kembali. Patuhlah, habiskan makananmu!" Morgan menyambar ucapan Syadilla yang belum selesai. Setelah kalimat tersebut selesai diucapkan, tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang berjalan keluar, diikuti suara pintu kamar ya
"Berhentiii...!" teriakan melengking terdengar tepat saat mereka akan benar benar menekan pistolnya.Seperti dikomando, seluruh mata segera menoleh ke sumber suara. Nampak berdiri dengan tubuh gemetar, seorang wanita yang menutupi kedua telinganya. Wajah putihnya nampak semakin putih seperti kapas saking pucatnya. Melihat wanita yang berdiri, lelaki pemimpin rombongan untuk sesaat membeku. Satu tangannya kemudian terangkat memberi kode. Dan secara serempak seluruh anggota menurunkan senjata mereka.Lelaki pemimpin langsung menghampiri wanita yang tak lain adalah Syadilla. Ia mendapati Syadilla dengan wajah yang sangat pucat dan dipenuhi air mata. "Nona, maaf kami datang terlambat!" "A - aku..." belum selesai kalimat yang diucapkan, Syadilla jatuh ambruk dikarenakan tubuhnya yang semakin lemah. Dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sebelum tubuh Syadilla benar benar jatuh menyentuh tanah."Bawa Nona, dan tinggalkan dia!" perintah lelaki itu lagi sambil menatap tajam pada para bawahan
"Permisi, Nona! Aku disuruh seseorang untuk menjemputmu pulang!" Syadilla segera menghentikan aktifitasnya mencopot spanduk dagangannya kala seseorang menghampiri dirinya."Apakah Pamanku yang telah menyuruhmu?" setelah sejenak tertegun, Syadilla pun bertanya kepada orang itu."Hmm, benar. Pamanmu lah yang telah menyuruhku. Ayo, segera kita berangkat!" sahut orang itu sambil mendorong sedikit lengan Syadilla, dengan maksud agar gadis itu mengikutinya.Syadilla yang didorong tubuhnya, refleks mengikuti saja saat lelaki itu mulai membawanya berjalan keluar dari area pasar malam. Setelah berjalan kira kira dua puluh meter dari area pasar, mereka pun berhenti. Tepat di sisi sebuah mobil yang telah terparkir sebelumnya di sana."Nona, masuklah!" lelaki itu membuka pintu mobil."Mobil?" Syadilla tercenung. "Nona, cepatlah!""Eh, Tuan, mungkin Anda salah orang! Siapa nama orang yang Anda maksud, yang telah menyuruh Anda menjemputku?" tanya Syadilla memastikan.Bukan tanpa alasan Syadilla m
Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak
Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter
Tapi ternyata semua tak berlangsung lama. Elena yang awalnya selalu menjadi sahabat dan pembela Syadilla atas cibiran dan perundungan dari teman teman lainnya, lambat laun juga mulai menyerah. Bagaimanapun jiwa kanak kanaknya yang menyukai keramaian dan permainan semakin tak tahan dengan keterasingan. Dan itu semua adalah konsekuensi akibat kedekatannya dengan seorang anak buta bernama 'Syadilla'.Sejak saat itu, tinggalah Syadilla sendiri menjalani hari harinya yang sepi. Sebab satu satunya sahabat dan saudara perempuannya pun telah memilih dan ikut menjauh.****"Tuan, uang Anda sepertinya palsu," seru seorang gadis pada lelaki yang baru saja membeli bunga.Sontak lelaki yang membeli bunga itu pun terkejut. Tapi saat itu, pacarnya sedang berdiri di sampingnya. Dan ia sendiri sengaja membeli bunga tersebut untuk sang Pacar. Kata kata gadis penjual bunga di depan pacarnya tadi, bagi lelaki itu seolah telah menguliti dirinya di depan 'wanitanya'.Wajah sepasang muda mudi yang tadinya ce
"Ibu, ayolah Bu! Aku benar benar menginginkan sepatu, juga kalung itu," rengek Elena pada ibunya. Di tangan kanannya menenteng sebuah majalah bergambar berbagai fashion stylish wanita."Elena, berhentilah dengan rengekanmu. Pusing kepalaku mendengarnya! Lagipula, semua barang itu mempunyai harga yang sungguh sungguh gila!""Aah, Ibu! Ibu memang tak pernah mau menuruti permintaanku untuk membelikanku barang yang sedikit saja lebih bagus dari yang biasa kupakai selama ini," Elena mencebik mendengar penolakan ibunya yang ke sekian kali.Melihat raut sedih anaknya, Sani hanya menggelengkan kepalanya sambil berucap, "Sayang, kita harus berhemat. Kita tidak tahu kapan kita bisa berjualan lagi seperti biasa. Setelah dua pekan pasar malam ini berakhir, tidak tahu lagi ke mana harus mencari tempat!""Sudahlah, sebaiknya kamu segera berangkat kuliah!" Sani menepuk bahu Elena. "Ibu berangkat ke pasar sekarang!"Elena sama sekali tak puas atas jawaban Ibunya. Meski begitu, ia tak lagi sempat memba
"Lama sekali kamu membuka pintu. Aku hampir mati berdiri menunggu, tahu!" sembur Elena langsung begitu pintu terbuka. Syadilla sendiri tak menyangka bahwa teriakan tadi adalah suara Elena. Ya, suara Elena kali ini terdengar sedikit parau, hingga Syadilla tak mengenalinya."Maaf...! Elena apa kau mabuk?" Syadilla mencium bau alkohol dari tubuh Elena."Bukan urusanmu!" ketus Elena. Matanya yang merah menatap nyalang Syadilla. "Jangan coba coba mengadu pada Ibu! Dan sekarang, cepat buatkan aku jeruk hangat!"Syadilla hanya mengangguk patuh. Ia pun menutup pintu kembali setelah Elena memasuki rumah dengan langkah yang sedikit terhuyung. Syadilla mengetahui hal ini dari suara sepatu Elena yang tidak beraturan saat berjalan. Ini membuat Syadilla khawatir. Tak ingin Elena terjatuh, ia pun berinisiatif untuk memapah gadis yang tengah mabuk itu.Braaakkk!Syadilla terhempas dengan keras ke lantai. Elena mendorong kasar tubuh Syadilla saat berusaha menyentuhnya. Bahkan dengan lantang memaki, "