"Syadil...cepat kau cuci bajuku ini! Malam nanti aku akan memakainya ke pesta ulang tahun temanku!" Sebuah kain melayang dan jatuh tepat diwajah seorang gadis yang tengah sibuk meracik minuman ke dalam gelas.
"Syadil...bawakan minumanku ke sini! Cepatlah, aku sedang sangat terburu buru sekarang!" Belum genap lagi langkah kaki gadis itu mencapai tempat mencuci pakaian, orang itu kembali berteriak memanggilnya."Syadil...Syadilla...! Selain buta, apa kau juga tuli sekarang, hah? Aku bisa terlambat ke kampus karenamu!""Maaf! Maafkan aku, Elena! Aku tadi belum selesai membuat teh-mu saat kau menyuruhku mencuci bajumu." Syadilla tergopoh-gopoh membawa nampan berisikan secangkir teh di atasnya, sesuai pesanan Elena.Dengan gusar Elena segera menyambar minumannya. Tenggorokannya terasa sangat kering juga seret saat menyantap nasi goreng buatan ibunya."Phhuuuuufff....!" Tiba-tiba saja Elena menyemburkan minuman dari mulutnya. Entah sengaja atau tidak, yang jelas air teh itu mengenai tubuh Syadilla yang kebetulan masih berdiri di depannya."Air apa yang kau berikan padaku, hah? Jangan bilang Kau lupa memasukkan gula ke dalam tehku. Rasa air comberan!""Byuuur....!" Elena serta merta menyiramkan air teh di cangkirnya ke wajah Syadilla. Membuatnya reflek tergagap ketika air yang masih setengah panas itu terpercik di wajahnya.Namun selanjutnya, Syadilla hanya mampu menunduk sembari buru buru menyeka mukanya dengan lengan bajunya. Wajahnya yang putih seperti salju seketika memerah seperti hendak meleleh. Perih dan panas begitulah yang ia rasakan waktu itu, seperti terbakar. Dalam diam dan dengan wajah yang kian tertunduk setitik demi setitik air matanya mulai meluncur di pipi halusnya. Karena, ada yang terasa lebih panas lagi perih saat itu. Hatinya!Syadilla berusaha kuat menekan kesedihannya atas perlakuan Elena yang selalu temperamental padanya. Bagaimanapun, ia merasa berhutang budi pada keluarga angkatnya. Itu mengapa dia hanya bisa pasrah menerima setiap perlakuan kasar mereka.Apalah dirinya? Hanya seorang gadis buta yang lemah dan polos untuk melawan kekejaman dunia. Meski jauh di lubuk hatinya ia slalu berdoa, berharap sebuah keajaiban menghampiri dan meraihnya dari kemalangan.
"Syadilla...apa yang kau tunggu? Cepat kau selesaikan pekerjaanmu, aku beri kamu waktu satu jam untuk menyelesaikan semuanya!" Sebuah teriakan yang cukup nyaring dari bibi Sani membuyarkan lamunan Syadilla. Ia segera menyusut air matanya dan berjalan ke arah tempatnya mencuci pakaian.Meskipun kedua mata Syadilla tak dapat melihat semuanya, tetapi gadis itu telah begitu hafal dengan seluk beluk rumah itu, termasuk barang apa saja di dalamnya. Berapa langkah ia harus menuju kamar mandi, dapur, ruang depan, juga kamarnya? Itulah sebabnya dirinya mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik dan masih diterima oleh istri dan anak dari paman Juang."Ingat, kau harus menjual habis semua bunga-bunga itu nanti. Elena butuh banyak uang untuk biaya kuliahnya. Jangan harap untuk pulang dan mendapat jatah makan malam kalau kau tak membawa cukup banyak uang hari ini. Kau mengerti?" Bibi Sani terus saja membombardir Syadilla dengan rentetan ancaman ditengah kesibukannya bekerja.****"Bunga... bunga... bunga segarnya Tuan, Nyonya!" Syadilla terus berteriak menawarkan dagangannya pada orang orang yang hilir mudik di trotoar jalan. Berharap beberapa orang dari mereka sedia menepi dan membeli bunga bunganya yang ia bawa dalam sebuah keranjang rotan.Masih terngiang-ngiang ucapan bibinya tadi pagi. Bila Syadilla tak mendapat banyak uang hari ini, maka perutnya harus bersiap siap menahan lapar hingga esok. Belum lagi hukuman tambahan yang nantinya akan ia dapatkan.Memikirkan hal ini, membuat Syadilla tertunduk lesu. Sebab kenyataannya, hingga tengah hari bunga dagangannya masih banyak menumpuk di keranjang.
"Pergi...pergi! Petugas penertiban jalan, dataaaang!" Terdengar teriakan lantang seseorang tiba-tiba."Ayo, cepat! Kita kemasi semua barang daganan kita, kalau tidak mereka akan menyita atau malah menghancurkan semuanya!" Suara yang lain terdengar menimpali teriakan orang pertama tadi.Suasana kemudian menjadi begitu gaduh. Para pedagang yang berjajar di sepanjang tepi jalan itu mulai panik. Dari pedagang makanan, pakaian, hingga aksesoris di sana, semua begitu sibuk berusaha menyelamatkan dagangan mereka dan kemudian berlari menjauhi aparat."Pergi...! Ayo, cepat lari!" "Drap... drap... draaaap....!" Derap langkah orang orang yang berlari sambil berteriak teriak di sekeliling Syadilla membuatnya ikut panik sekaligus bingung. Tangannya mencengkeram erat keranjang bunganya."Bagaimana ini? Aku harus berlari kemana? Paman Juang tidak ada di sini, tadi dia segera berlalu setelah menurunkanku di tempat ini!" Beribu pemikiran mulai berjejal di benak Syadilla. Ia menggigit bibir bawahnya menahan ketakutan yang merayap di hatinya.
"Syadilla cepat lari! Apalagi, yang Kau tunggu?" Seseorang menarik salah satu tangan Syadilla."Bibi Syam?" Ternyata, Syadilla mengenali siapa yang telah menghampirinya."Ayo cepaaat...!" Kembali perempuan itu berteriak dan menarik Syadilla untuk ikut berlari bersamanya. Namun, tiba-tiba saja dari arah belakang, seseorang berlari sangat cepat dan tanpa sengaja menabrak keduanya."Brraaaaakkk...!" Tubuh Syadilla jatuh tersungkur. Orang tadi menabraknya dengan sangat keras. Keranjang di tangannya terpental sehingga memuntahkan seluruh isi di dalamnya. Bahkan yang lebih parah, tanpa ia tahu keranjangnya tersebut sempat menggores sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari mereka."Oh tidaaak! Ya Tuhan...!" teriak bibi Syam saat menyadari genggaman tangannya terlepas dari Syadilla, sehingga gadis itu terjatuh."Haah..!" Lalu seketika ia membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya gemetar kala melihat tak jauh dari mereka aparat penertiban jalan semakin mendekat ke arah mereka.
Bagaimanapun, bibi Syam tak mau tertangkap lagi setelah pengalaman yang dulu. Saat itu, ia dan beberapa penjual lainnya tertangkap, hingg harus kehilangan barang dagangan mereka. Hanya mereka yang sanggup menebusnya dan membayar denda, dapat selamat. Tapi, tetap saja, sebagian barang mereka dikembalikan dalam kondisi banyak yang rusak ataupun koyak saat aksi berebut dengan para aparat itu sebelum tertangkap."Maafkan aku Syadilla, semoga nasibmu beruntung hari ini!" teriak bibi Syam dan berlari meninggalkan Syadilla seorang diri.Mendengar itu, Syadilla rasanya ingin menangis.Walaupun dia tidak dapat melihat, dia tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya. Terlebih, dia mendengar suara pria berteriak ke arahnya.
"Cepat, tangkap gadis itu!"
"Cepat tangkap gadis itu.!" Satu anggota aparat berteriak keras dengan jari telunjuk lurus ke arah Syadilla."Cekleek...!" Pintu mobil berwarna hitam metalik itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar 40 tahunan keluar dari dalam mobil. Saat di dalam mobil, dirinya seperti mendengar keributan di luar, dan merasakan sesuatu telah membentur body mobil. Jadi ia putuskan keluar untuk mengeceknya."Astaga.....!" teriaknya lantang. Mata lelaki itu melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Ia tak percaya begitu melihat body mobil tlah tergores dengan goresan yang cukup panjang. Dan di bawah mobil itu, tergeletak sebuah keranjang dengan banyak bunga terserak di sekitarnya."Aduuuh...!" Syadilla merintih pelan sambil memegangi lututnya berusaha untuk berdiri. Namun belum lagi ia sanggup berdiri tegak, sebuah suara lagi lagi mengagetkan dirinya."Hey gadis...! Apa yang tlah kau lakukan, hah? Dan keranjang itu, keranjang itu pasti milikmu bukan?"Syadilla yang belum mengetahui apa yang terjadi
"Dasar gadis bod*h ! Apa kau tak bisa sembunyi saat para petugas itu datang, hah?" Sani berteriak murka. Matanya melotot melihat keranjang bunga yang sudah sedikit penyok di tangan Syadilla. "Ma - maaf Bibi ! A - aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Suasana begitu kacau. Semua orang berteriak panik dan berlarian. Dan aku...""Tidak tahu harus berbuat apa ? Dengan kata lain kamu ini memang benar idiot !" Sani meraung memotong ucapan Syadilla, dan dengan kasar merebut keranjang dari gadis yang kini tertunduk takut di depannya."Lihat! Lihat karenamu semua bunga bunga ini rusak!" Sani menepuk jidatnya frustasi. "Ya Tuhan, mau makan apa kita hari ini?"Kedua mata Sani kembali memeriksa semua bunga bunga itu. Rasa marahnya semakin besar karna ternyata hampir tak ada bunga yang selamat. Bila tidak tangkainya yang patah, pastilah kelopaknya yang rusak. Satu tangannya yang gemuk kemudian mencengkeram bunga bunga itu dan melemparkannya tepat di muka Syadilla sambil berteriak,
"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu
Tinggalah Syadilla sendiri dengan segala kebingungan di pikirannya saat ini. Sebab jumlah uang itu begitu banyak. Bahkan bila orang itu memborong dua keranjang penuh bunga yang ia bawa sekalipun, maka uang itu masih juga berlebih.Cukup lama Syadilla tercenung berpikir. Kemana ia harus mengembalikan sisa uang itu?"Syadilla, kenapa kau melamun?" suara dengan tepukan pelan di pundaknya menegurnya."Oh, Bi - Bibi Syam?" Syadilla tergagap. Buru buru disimpannya semua uang itu ke dalam tas. Gadis itu lalu tersenyum manis dan berkata, "Aku tidak apa apa, Bibi!""Hmm, syukurlah kalau begitu," Bibi Syam bergumam. Lalu mata tuanya yang masih awas menatap jauh ke langit. Mendung telah menggelayut. Hingga bulan dan bintang yang tadinya bersinar cerah tertutup karenanya. Dan langitpun menjadi nampak seperti hamparan permadani hitam yang Maha luas."Malam sepertinya akan segera turun hujan. Sebaiknya kita segera berkemas!" Bibi Syam memperingatkan. Bagaimanapun ia merasa peduli untuk itu."Terima
"Lama sekali kamu membuka pintu. Aku hampir mati berdiri menunggu, tahu!" sembur Elena langsung begitu pintu terbuka. Syadilla sendiri tak menyangka bahwa teriakan tadi adalah suara Elena. Ya, suara Elena kali ini terdengar sedikit parau, hingga Syadilla tak mengenalinya."Maaf...! Elena apa kau mabuk?" Syadilla mencium bau alkohol dari tubuh Elena."Bukan urusanmu!" ketus Elena. Matanya yang merah menatap nyalang Syadilla. "Jangan coba coba mengadu pada Ibu! Dan sekarang, cepat buatkan aku jeruk hangat!"Syadilla hanya mengangguk patuh. Ia pun menutup pintu kembali setelah Elena memasuki rumah dengan langkah yang sedikit terhuyung. Syadilla mengetahui hal ini dari suara sepatu Elena yang tidak beraturan saat berjalan. Ini membuat Syadilla khawatir. Tak ingin Elena terjatuh, ia pun berinisiatif untuk memapah gadis yang tengah mabuk itu.Braaakkk!Syadilla terhempas dengan keras ke lantai. Elena mendorong kasar tubuh Syadilla saat berusaha menyentuhnya. Bahkan dengan lantang memaki, "
"Ke mana perginya gadis buta si*lan itu? Sudah dua hari tak pulang?" Sani berkata dengan geram pada dirinya sendiri sambil terus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Elena yang duduk di kursi makan tak jauh dari ibunya, pura pura saja tak mendengar cuitan cempreng sang ibu. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Sementara kedua matanya yang bulat tak lepas dari layar hp di tangan kirinya.Baginya pekerjaan rumah adalah sama sekali bukan urusannya. Jadi tidak penting apakah ibunya ataukah Syadilla yang mengerjakan semua itu."Istriku, kamu jangan ngomel terus! Pusing kepalaku mendengarnya," Juang yang baru masuk ke ruang makan memprotes. Dari pintu sekat di ruangan itu, ia melihat istrinya sibuk bekerja sekaligus mengomel. "Apa mulutmu itu tidak capek?" imbuhnya.Seperti halnya Elena, dari tadi Juang hanya diam mengabaikan repetan Sani yang terus saja melaju seperti kereta. Kalau bukan karena cacing di perutnya yang sudah ikut berteriak minta diisi, malas sekali dirinya berjalan ke dapu
Syadilla mengangkat kepalanya. Heran. Bagaimana lelaki ini tahu tentang keluarga angkatnya. "Kamu mengenal Paman Juang?" ia pun bertanya dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya.Lelaki di depan Syadilla sebenarnya tak lain adalah Morgan. Orang yang sama, yang telah menyelamatkan gadis itu saat terjadi razia pedagang kaki lima sebelumnya."Itu tidak penting. Sekarang baiknya kamu segera menghabiskan makananmu. Buka mulutmu!""A - aku bisa melakukannya sendiri," Syadilla masih menolak membuka mulutnya saat ujung sendok di tangan lelaki itu menyentuh bibirnya. "Tapi sebelumnya aku ingin mandi membersihkan badan. Tuan, bolehkah aku...""Berjalanlah sepuluh langkah ke kanan dari ranjangmu, kamu akan menemukan kamar mandi. Aku akan keluar. Setengah jam lagi aku kembali. Patuhlah, habiskan makananmu!" Morgan menyambar ucapan Syadilla yang belum selesai. Setelah kalimat tersebut selesai diucapkan, tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang berjalan keluar, diikuti suara pintu kamar ya
"Berhentiii...!" teriakan melengking terdengar tepat saat mereka akan benar benar menekan pistolnya.Seperti dikomando, seluruh mata segera menoleh ke sumber suara. Nampak berdiri dengan tubuh gemetar, seorang wanita yang menutupi kedua telinganya. Wajah putihnya nampak semakin putih seperti kapas saking pucatnya. Melihat wanita yang berdiri, lelaki pemimpin rombongan untuk sesaat membeku. Satu tangannya kemudian terangkat memberi kode. Dan secara serempak seluruh anggota menurunkan senjata mereka.Lelaki pemimpin langsung menghampiri wanita yang tak lain adalah Syadilla. Ia mendapati Syadilla dengan wajah yang sangat pucat dan dipenuhi air mata. "Nona, maaf kami datang terlambat!" "A - aku..." belum selesai kalimat yang diucapkan, Syadilla jatuh ambruk dikarenakan tubuhnya yang semakin lemah. Dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sebelum tubuh Syadilla benar benar jatuh menyentuh tanah."Bawa Nona, dan tinggalkan dia!" perintah lelaki itu lagi sambil menatap tajam pada para bawahan
"Permisi, Nona! Aku disuruh seseorang untuk menjemputmu pulang!" Syadilla segera menghentikan aktifitasnya mencopot spanduk dagangannya kala seseorang menghampiri dirinya."Apakah Pamanku yang telah menyuruhmu?" setelah sejenak tertegun, Syadilla pun bertanya kepada orang itu."Hmm, benar. Pamanmu lah yang telah menyuruhku. Ayo, segera kita berangkat!" sahut orang itu sambil mendorong sedikit lengan Syadilla, dengan maksud agar gadis itu mengikutinya.Syadilla yang didorong tubuhnya, refleks mengikuti saja saat lelaki itu mulai membawanya berjalan keluar dari area pasar malam. Setelah berjalan kira kira dua puluh meter dari area pasar, mereka pun berhenti. Tepat di sisi sebuah mobil yang telah terparkir sebelumnya di sana."Nona, masuklah!" lelaki itu membuka pintu mobil."Mobil?" Syadilla tercenung. "Nona, cepatlah!""Eh, Tuan, mungkin Anda salah orang! Siapa nama orang yang Anda maksud, yang telah menyuruh Anda menjemputku?" tanya Syadilla memastikan.Bukan tanpa alasan Syadilla m
Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak
Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter
Tapi ternyata semua tak berlangsung lama. Elena yang awalnya selalu menjadi sahabat dan pembela Syadilla atas cibiran dan perundungan dari teman teman lainnya, lambat laun juga mulai menyerah. Bagaimanapun jiwa kanak kanaknya yang menyukai keramaian dan permainan semakin tak tahan dengan keterasingan. Dan itu semua adalah konsekuensi akibat kedekatannya dengan seorang anak buta bernama 'Syadilla'.Sejak saat itu, tinggalah Syadilla sendiri menjalani hari harinya yang sepi. Sebab satu satunya sahabat dan saudara perempuannya pun telah memilih dan ikut menjauh.****"Tuan, uang Anda sepertinya palsu," seru seorang gadis pada lelaki yang baru saja membeli bunga.Sontak lelaki yang membeli bunga itu pun terkejut. Tapi saat itu, pacarnya sedang berdiri di sampingnya. Dan ia sendiri sengaja membeli bunga tersebut untuk sang Pacar. Kata kata gadis penjual bunga di depan pacarnya tadi, bagi lelaki itu seolah telah menguliti dirinya di depan 'wanitanya'.Wajah sepasang muda mudi yang tadinya ce
"Ibu, ayolah Bu! Aku benar benar menginginkan sepatu, juga kalung itu," rengek Elena pada ibunya. Di tangan kanannya menenteng sebuah majalah bergambar berbagai fashion stylish wanita."Elena, berhentilah dengan rengekanmu. Pusing kepalaku mendengarnya! Lagipula, semua barang itu mempunyai harga yang sungguh sungguh gila!""Aah, Ibu! Ibu memang tak pernah mau menuruti permintaanku untuk membelikanku barang yang sedikit saja lebih bagus dari yang biasa kupakai selama ini," Elena mencebik mendengar penolakan ibunya yang ke sekian kali.Melihat raut sedih anaknya, Sani hanya menggelengkan kepalanya sambil berucap, "Sayang, kita harus berhemat. Kita tidak tahu kapan kita bisa berjualan lagi seperti biasa. Setelah dua pekan pasar malam ini berakhir, tidak tahu lagi ke mana harus mencari tempat!""Sudahlah, sebaiknya kamu segera berangkat kuliah!" Sani menepuk bahu Elena. "Ibu berangkat ke pasar sekarang!"Elena sama sekali tak puas atas jawaban Ibunya. Meski begitu, ia tak lagi sempat memba
"Lama sekali kamu membuka pintu. Aku hampir mati berdiri menunggu, tahu!" sembur Elena langsung begitu pintu terbuka. Syadilla sendiri tak menyangka bahwa teriakan tadi adalah suara Elena. Ya, suara Elena kali ini terdengar sedikit parau, hingga Syadilla tak mengenalinya."Maaf...! Elena apa kau mabuk?" Syadilla mencium bau alkohol dari tubuh Elena."Bukan urusanmu!" ketus Elena. Matanya yang merah menatap nyalang Syadilla. "Jangan coba coba mengadu pada Ibu! Dan sekarang, cepat buatkan aku jeruk hangat!"Syadilla hanya mengangguk patuh. Ia pun menutup pintu kembali setelah Elena memasuki rumah dengan langkah yang sedikit terhuyung. Syadilla mengetahui hal ini dari suara sepatu Elena yang tidak beraturan saat berjalan. Ini membuat Syadilla khawatir. Tak ingin Elena terjatuh, ia pun berinisiatif untuk memapah gadis yang tengah mabuk itu.Braaakkk!Syadilla terhempas dengan keras ke lantai. Elena mendorong kasar tubuh Syadilla saat berusaha menyentuhnya. Bahkan dengan lantang memaki, "