"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu
Tinggalah Syadilla sendiri dengan segala kebingungan di pikirannya saat ini. Sebab jumlah uang itu begitu banyak. Bahkan bila orang itu memborong dua keranjang penuh bunga yang ia bawa sekalipun, maka uang itu masih juga berlebih.Cukup lama Syadilla tercenung berpikir. Kemana ia harus mengembalikan sisa uang itu?"Syadilla, kenapa kau melamun?" suara dengan tepukan pelan di pundaknya menegurnya."Oh, Bi - Bibi Syam?" Syadilla tergagap. Buru buru disimpannya semua uang itu ke dalam tas. Gadis itu lalu tersenyum manis dan berkata, "Aku tidak apa apa, Bibi!""Hmm, syukurlah kalau begitu," Bibi Syam bergumam. Lalu mata tuanya yang masih awas menatap jauh ke langit. Mendung telah menggelayut. Hingga bulan dan bintang yang tadinya bersinar cerah tertutup karenanya. Dan langitpun menjadi nampak seperti hamparan permadani hitam yang Maha luas."Malam sepertinya akan segera turun hujan. Sebaiknya kita segera berkemas!" Bibi Syam memperingatkan. Bagaimanapun ia merasa peduli untuk itu."Terima
"Lama sekali kamu membuka pintu. Aku hampir mati berdiri menunggu, tahu!" sembur Elena langsung begitu pintu terbuka. Syadilla sendiri tak menyangka bahwa teriakan tadi adalah suara Elena. Ya, suara Elena kali ini terdengar sedikit parau, hingga Syadilla tak mengenalinya."Maaf...! Elena apa kau mabuk?" Syadilla mencium bau alkohol dari tubuh Elena."Bukan urusanmu!" ketus Elena. Matanya yang merah menatap nyalang Syadilla. "Jangan coba coba mengadu pada Ibu! Dan sekarang, cepat buatkan aku jeruk hangat!"Syadilla hanya mengangguk patuh. Ia pun menutup pintu kembali setelah Elena memasuki rumah dengan langkah yang sedikit terhuyung. Syadilla mengetahui hal ini dari suara sepatu Elena yang tidak beraturan saat berjalan. Ini membuat Syadilla khawatir. Tak ingin Elena terjatuh, ia pun berinisiatif untuk memapah gadis yang tengah mabuk itu.Braaakkk!Syadilla terhempas dengan keras ke lantai. Elena mendorong kasar tubuh Syadilla saat berusaha menyentuhnya. Bahkan dengan lantang memaki, "
"Ibu, ayolah Bu! Aku benar benar menginginkan sepatu, juga kalung itu," rengek Elena pada ibunya. Di tangan kanannya menenteng sebuah majalah bergambar berbagai fashion stylish wanita."Elena, berhentilah dengan rengekanmu. Pusing kepalaku mendengarnya! Lagipula, semua barang itu mempunyai harga yang sungguh sungguh gila!""Aah, Ibu! Ibu memang tak pernah mau menuruti permintaanku untuk membelikanku barang yang sedikit saja lebih bagus dari yang biasa kupakai selama ini," Elena mencebik mendengar penolakan ibunya yang ke sekian kali.Melihat raut sedih anaknya, Sani hanya menggelengkan kepalanya sambil berucap, "Sayang, kita harus berhemat. Kita tidak tahu kapan kita bisa berjualan lagi seperti biasa. Setelah dua pekan pasar malam ini berakhir, tidak tahu lagi ke mana harus mencari tempat!""Sudahlah, sebaiknya kamu segera berangkat kuliah!" Sani menepuk bahu Elena. "Ibu berangkat ke pasar sekarang!"Elena sama sekali tak puas atas jawaban Ibunya. Meski begitu, ia tak lagi sempat memba
Tapi ternyata semua tak berlangsung lama. Elena yang awalnya selalu menjadi sahabat dan pembela Syadilla atas cibiran dan perundungan dari teman teman lainnya, lambat laun juga mulai menyerah. Bagaimanapun jiwa kanak kanaknya yang menyukai keramaian dan permainan semakin tak tahan dengan keterasingan. Dan itu semua adalah konsekuensi akibat kedekatannya dengan seorang anak buta bernama 'Syadilla'.Sejak saat itu, tinggalah Syadilla sendiri menjalani hari harinya yang sepi. Sebab satu satunya sahabat dan saudara perempuannya pun telah memilih dan ikut menjauh.****"Tuan, uang Anda sepertinya palsu," seru seorang gadis pada lelaki yang baru saja membeli bunga.Sontak lelaki yang membeli bunga itu pun terkejut. Tapi saat itu, pacarnya sedang berdiri di sampingnya. Dan ia sendiri sengaja membeli bunga tersebut untuk sang Pacar. Kata kata gadis penjual bunga di depan pacarnya tadi, bagi lelaki itu seolah telah menguliti dirinya di depan 'wanitanya'.Wajah sepasang muda mudi yang tadinya ce