"Cepat tangkap gadis itu.!" Satu anggota aparat berteriak keras dengan jari telunjuk lurus ke arah Syadilla.
"Cekleek...!" Pintu mobil berwarna hitam metalik itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar 40 tahunan keluar dari dalam mobil. Saat di dalam mobil, dirinya seperti mendengar keributan di luar, dan merasakan sesuatu telah membentur body mobil. Jadi ia putuskan keluar untuk mengeceknya."Astaga.....!" teriaknya lantang. Mata lelaki itu melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Ia tak percaya begitu melihat body mobil tlah tergores dengan goresan yang cukup panjang. Dan di bawah mobil itu, tergeletak sebuah keranjang dengan banyak bunga terserak di sekitarnya."Aduuuh...!" Syadilla merintih pelan sambil memegangi lututnya berusaha untuk berdiri. Namun belum lagi ia sanggup berdiri tegak, sebuah suara lagi lagi mengagetkan dirinya."Hey gadis...! Apa yang tlah kau lakukan, hah? Dan keranjang itu, keranjang itu pasti milikmu bukan?"Syadilla yang belum mengetahui apa yang terjadi, mengangkat kepalanya dan berkata, "Ah, Paman! Apakah paman menemukan keranjang bungaku. Oh syukurlah..., Bibi Sani pasti akan sangat marah bila keranjang itu sampai hilang."Mendengar ucapan Syadilla, wajah lelaki itu pun merah padam. Bagaimana mungkin ada gadis sebodoh itu di dunia ini? Ia telah menggores sebuah mobil mewah hingga lecet, tetapi malah lebih mengkhawatirkan sebuah keranjang yang nilainya hanya seperti sampah!"Hey gadis bodoh...! Apa kau benar benar tidak sadar apa yang baru saja kau lakukan, hah? Keranjangmu itu telah membuat cat mobil mewah ini lecet lecet!" hardik lelaki itu kasar."Paman, benarkah itu? Paman, maaf... maafkanlah aku. Aku benar benar tidak sengaja, tadi aku berlari dan lalu terjatuh, dan aku.....""Cepat ikut kami ke kantor!" Ucapan Syadilla terputus karena tiba tiba datang dua orang yang langsung mencekal lengannya."A - a - aku....!" Syadilla tak mampu berkata kata lagi, dia semakin panik. Belum lagi selesai soal mobil, kini ia pun tertangkap.Lelaki yang baru saja turun dari mobil seketika mengernyitkan kening. Baru ia sadari apa yang sebenarnya terjadi setelah melihat dua petugas tersebut.Gadis itu telah membuat kerusakan pada mobil, dan ia tak ingin perempuan itu pergi begitu saja meski dengan petugas sekalipun. Karna bagaimanapun juga ia tak ingin disalahkan apalagi kena damprat atasannya sebab dianggap lalai. Apa yang akan dikatakannya pada bosnya nanti bila gadis itu dibawa pergi? "Gadis ini harus mengakui kesalahannya langsung pada bosnya," pikirnya."Oh Tuan, aku pikir ada kesalahpahaman di sini. Gadis itu bukan seperti yang kalian pikirkan, jadi tolong lepaskan dia!""Apa maksud Anda dengan salah paham? Dia adalah salah satu pedagang liar di daerah ini," ucap seorang petugas."Bukan, sebenarnya dia bukan salah satu dari mereka. Jadi sebenarnya, dia adalah seorang pelayan tuan kami yamg ditugaskan membeli bunga bunga segar dari penjaja bunga di sini. Dan aku ke sini untuk menjemputnya pulang. Tapi sial, seseorang malah menabraknya dan membuat bunga bunga itu rusak," jelas lelaki tua itu.Mendengar itu semua, kedua petugas mulai melepas cengkraman mereka di bahu dan lengan Syadilla meski sebenarnya mereka sedikit ragu dengan ucapan lelaki tersebut. "Baiklah kami lepaskan dia, tapi di masa depan kami tidak akan melepasnya jika terbukti dia pedagang liar di sini," ucap kedua petugas itu melepas Syadilla dan lalu pergi.Syadilla seketika bernapas lega setelah terlepas dari kedua petugas itu."Hey, kau!" teriak lelaki di samping mobil tadi. "Urusan kita belum selesai, kau harus bertanggungjawab atas kerusakan mobil bosku!""Maaf, Paman...! Tapi - tapi, aku sama sekali tak punya uang sepeserpun." Syadilla menunduk sedih, tiba tiba ia teringat pesan sekaligus ancaman bibi Sani tadi pagi. Malam ini, pasti ia akan berpuasa lagi. Jangankan mendapat banyak uang, bunga bunga itu malah sudah rusak sekarang."Aah....Kau! Kau benar benar ingin membuatku dalam masalah. Aku tidak peduli, kau atau keluargamu yang harus....""Jony, apa kau punya kebiasaan baru berteriak dan menindas wanita sekarang?" Seseorang tiba tiba muncul dan memotong cepat ucapan lelaki tersebut.Lelaki itu masih muda. Dia terlihat seperti usia dua puluhan tahun. Dengan badan tinggi atletis dan setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuat tubuh tegapnya semakin nampak gagah. Wajahnya begitu tampan, hidung mancung, bibir merah tipis, tatapan mata yang tajam, dan rahang yang kokoh mengesankan karakternya yang kuat dan kharismatik."Tuan - Tuan Morgan?" Joni terperanjat karena bosnya tiba tiba sudah ada di belakangnya sebelum kembali berkata, "Tuan, aku sedang... aku sedang memarahi gadis ini, dia telah...""Bukankah kau bilang tadi dia adalah salah satu pelayanku? Jadi apa kau merasa lebih berhak untuk menghukumnya dari aku?"Morgan menatap tajam Joni, membuat Joni berkeringat dingin. Rupanya Tuannya mendengar semua ucapannya dengan dua petugas tadi.
"Bereskan semua kekacauan ini!" Mata elang Morgan berpindah menyapu keranjang dan bunga-bunga yang terserak.Joni menjadi gugup sekaligus bingung, tapi ia tak berani melawan perintah. Segera ia memunguti semua bunga dan memasukkannya ke dalam keranjang, lalu menyerahkannya pada gadis di depannya.
"Terima kasih, Paman! Terima kasih, Tuan! Perkenalkan, namaku Syadilla!" Syadilla tersenyum senang menerima keranjangnya kembali.Jari-jemari Syadilla meraba isi di dalam keranjang. Setelah itu, sudut bibirnya tersenyum. Rupanya, dia baru saja memindai beberapa kelopak bunga, hingga akhirnya dia berhasil menemukan setangkai bunga yang menurutnya masih baik."Tuan, terimalah ini sebagai permintaan maaf juga rasa terimakasihku!" ucap Syadilla diiringi dengan sebuah senyuman. Tangannya terulur kedepan menggenggam setangkai mawar putih.Namun, Morgan hanya terpaku di tempat. Ia begitu serius menatap gadis di depannya. Gadis dengan tinggi semampai dan kulit yang putih bersih bak pualam. Garis wajahnya begitu sempurna, senyum di bibirnya seperti sinar matahari pagi yang memberi rasa hangat bagi siapa saja yang melihatnya. Kedua matanya juga seperti bintang kejora yang dinaungi bulan sabit sebagai alisnya. Sungguh kecantikan yang alami! Tapi, entah mengapa, ada satu hal yang terasa aneh dari gadis itu bagi Morgan. Hal itu membuat Morgan menjadi berlama-lama memandangi Syadilla.Melihat Morgan hanya berdiri mematung dan mengabaikan Syadilla, Jony berprasangka bahwa Tuannya itu tak sudi menerima pemberian gadis itu. Dengan lantang, ia pun bicara, "Apa-apaan Kau ini, hah? Bagaimana bisa bunga jelekmu itu mengganti kerusakan mob...""Ehm.." Morgan berdehem dan melirik tajam Jony. Lagi-lagi, ucapan Jony menjadi terhenti.Dengan langkahnya yang tegap, Morgan berjalan perlahan ke arah Syadilla."Nona, aku terima ini," ucapnya singkat seraya mengambil bunga dari tangan Syadilla.
"Tuan Morgan, tapi bagaimana dengan kerusakan mobil Tuan!" Joni memberanikan diri bertanya. Dengan maksud lain, sebenarnya dia hanya ingin mengingatkan kerugian bosnya saat itu."Mengapa Kau masih bertanya? Perlukah aku menggores wajahmu itu supaya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya?" Morgan mengucapkan kata-kata itu begitu dingin, tanpa sedikitpun menoleh pada Jony. Jony langsung bungkam menutup mulut, tak berani lagi menjawab. Ia tahu semakin ia berkata, Tuan Morgan akan semakin marah. Baiklah, itu artinya dia harus segera ke bengkel mobil setelah ini."Nona, terimalah ini untuk permintaan maafku! Kalau bukan karena sopirku yang bodoh itu menghentikan mobilnya di situ, semua bungamu tentu tidak akan rusak." Morgan menyelipkan beberapa lembar uang kertas di tangan Syadilla.Mata Jony reflek terbelalak. Lalu kepalanya menjadi pusing setelahnya. Bagaimana mungkin ia malah menjadi kambing hitam dalam hal ini? Ia menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.Sementara, Syadilla begitu bahagia menerima pemberian Morgan. Itu artinya, dia membawa pulang uang hari itu? Bibi Sani tidak akan marah! Sesaat itu, kedua mata Syadilla menjadi berbinar, senyum manis terbit disudut bibirnya. Wajah dingin Morgan pun seketika menghangat saat melihatnya."Aah...gadis itu mungkin tak pernah tahu betapa cantiknya dia!" Morgan bergumam di hati. "Jalan..!" Morgan mengibaskan tangannya sambil masuk ke dalam mobil. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Joni segera mengikuti perintah sang majikan. Di dalam mobil, kedua mata Morgan menatap lekat mawar putih di tangannya. Perasaan aneh yang entah apa serasa menjalar di hatinya, setiap mengingat wajah gadis pemberi bunga tersebut. Tanpa sadar, sebuah senyum terukir di wajah tampannya."Dasar gadis bod*h ! Apa kau tak bisa sembunyi saat para petugas itu datang, hah?" Sani berteriak murka. Matanya melotot melihat keranjang bunga yang sudah sedikit penyok di tangan Syadilla. "Ma - maaf Bibi ! A - aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Suasana begitu kacau. Semua orang berteriak panik dan berlarian. Dan aku...""Tidak tahu harus berbuat apa ? Dengan kata lain kamu ini memang benar idiot !" Sani meraung memotong ucapan Syadilla, dan dengan kasar merebut keranjang dari gadis yang kini tertunduk takut di depannya."Lihat! Lihat karenamu semua bunga bunga ini rusak!" Sani menepuk jidatnya frustasi. "Ya Tuhan, mau makan apa kita hari ini?"Kedua mata Sani kembali memeriksa semua bunga bunga itu. Rasa marahnya semakin besar karna ternyata hampir tak ada bunga yang selamat. Bila tidak tangkainya yang patah, pastilah kelopaknya yang rusak. Satu tangannya yang gemuk kemudian mencengkeram bunga bunga itu dan melemparkannya tepat di muka Syadilla sambil berteriak,
"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu
Tinggalah Syadilla sendiri dengan segala kebingungan di pikirannya saat ini. Sebab jumlah uang itu begitu banyak. Bahkan bila orang itu memborong dua keranjang penuh bunga yang ia bawa sekalipun, maka uang itu masih juga berlebih.Cukup lama Syadilla tercenung berpikir. Kemana ia harus mengembalikan sisa uang itu?"Syadilla, kenapa kau melamun?" suara dengan tepukan pelan di pundaknya menegurnya."Oh, Bi - Bibi Syam?" Syadilla tergagap. Buru buru disimpannya semua uang itu ke dalam tas. Gadis itu lalu tersenyum manis dan berkata, "Aku tidak apa apa, Bibi!""Hmm, syukurlah kalau begitu," Bibi Syam bergumam. Lalu mata tuanya yang masih awas menatap jauh ke langit. Mendung telah menggelayut. Hingga bulan dan bintang yang tadinya bersinar cerah tertutup karenanya. Dan langitpun menjadi nampak seperti hamparan permadani hitam yang Maha luas."Malam sepertinya akan segera turun hujan. Sebaiknya kita segera berkemas!" Bibi Syam memperingatkan. Bagaimanapun ia merasa peduli untuk itu."Terima
"Lama sekali kamu membuka pintu. Aku hampir mati berdiri menunggu, tahu!" sembur Elena langsung begitu pintu terbuka. Syadilla sendiri tak menyangka bahwa teriakan tadi adalah suara Elena. Ya, suara Elena kali ini terdengar sedikit parau, hingga Syadilla tak mengenalinya."Maaf...! Elena apa kau mabuk?" Syadilla mencium bau alkohol dari tubuh Elena."Bukan urusanmu!" ketus Elena. Matanya yang merah menatap nyalang Syadilla. "Jangan coba coba mengadu pada Ibu! Dan sekarang, cepat buatkan aku jeruk hangat!"Syadilla hanya mengangguk patuh. Ia pun menutup pintu kembali setelah Elena memasuki rumah dengan langkah yang sedikit terhuyung. Syadilla mengetahui hal ini dari suara sepatu Elena yang tidak beraturan saat berjalan. Ini membuat Syadilla khawatir. Tak ingin Elena terjatuh, ia pun berinisiatif untuk memapah gadis yang tengah mabuk itu.Braaakkk!Syadilla terhempas dengan keras ke lantai. Elena mendorong kasar tubuh Syadilla saat berusaha menyentuhnya. Bahkan dengan lantang memaki, "
"Ibu, ayolah Bu! Aku benar benar menginginkan sepatu, juga kalung itu," rengek Elena pada ibunya. Di tangan kanannya menenteng sebuah majalah bergambar berbagai fashion stylish wanita."Elena, berhentilah dengan rengekanmu. Pusing kepalaku mendengarnya! Lagipula, semua barang itu mempunyai harga yang sungguh sungguh gila!""Aah, Ibu! Ibu memang tak pernah mau menuruti permintaanku untuk membelikanku barang yang sedikit saja lebih bagus dari yang biasa kupakai selama ini," Elena mencebik mendengar penolakan ibunya yang ke sekian kali.Melihat raut sedih anaknya, Sani hanya menggelengkan kepalanya sambil berucap, "Sayang, kita harus berhemat. Kita tidak tahu kapan kita bisa berjualan lagi seperti biasa. Setelah dua pekan pasar malam ini berakhir, tidak tahu lagi ke mana harus mencari tempat!""Sudahlah, sebaiknya kamu segera berangkat kuliah!" Sani menepuk bahu Elena. "Ibu berangkat ke pasar sekarang!"Elena sama sekali tak puas atas jawaban Ibunya. Meski begitu, ia tak lagi sempat memba