Lelaki itu mengamati wajah Sasya dengan seksama dan sepertinya gadis itu tidak berbohong. Seketika, dia tersadar sesuatu.
"Hahaha...." Tawa pria itu terlihat puas sebelum kembali berkata, "ternyata kau buta, ya! Bocah nakal, kau pasti dibuang oleh kedua orang tuamu karna tidak berguna!"
"Tidak! Aku tidak nakal. Aku juga tidak dibuang orang tuaku karena mereka sudah meninggal," ucap Sasya lirih."Haa...?" Seketika lelaki itu berhenti tertawa. Diamatinya wajah Sasya dalam dalam kemudian, seperti sedang mencari satu kebenaran di sana."Anak nakal, ketahuilah bila jalan ini sangat jarang sekali dilalui manusia. Apalagi, saat malam. Kau harus secepatnya pergi dari sini!" titah lelaki itu sembari membuang pandang dari wajah Sasya."Jangan panggil aku anak nakal, Paman. Namaku Syadilla, atau Paman bisa memanggilku Sasya.""Hmmm ... siapa yang peduli namamu!" katanya dengan senyum menyeringai.Sekilas si lelaki menatap wajah lugu bocah di depannya. Entah kenapa, tiba-tiba terselip rasa iba di hatinya. "Tapi, baiklah, kau bisa memanggilku Paman Juang!" Lelaki itu akhirnya ikut menyebutkan namanya."Paman Juang!" Sasya mengulang."Ya! Huuh....maaf aku harus segera pulang. Meski aku ingin membawamu, tapi istriku pasti tidak akan mengijinkan hal itu. Semoga nasibmu beruntung, Anak nakal!" Juang pun membalikkan badannya serta melangkah pergi meninggalkan Sasya seorang diri."Pamaaan....Paman...aku.." ucapan Sasya terputus karna menyadari lelaki itu pun juga telah menjauh pergi darinya.Kembali Sasya terpekur memikirkan nasibnya. Dalam benak bocah polos itu tak henti bertanya: Kenapa orang dewasa sangat rumit? Tantenya membawanya jauh-jauh ke sini hanya untuk membuangnya. Dan, paman itu menanyakan banyak hal padanya, namun akhirnya berlalu begitu saja.""Hey Anak nakal, cepat naik!""Haaa?" Sasya terperangah mendengar suara seseorang yang sukses membuyarkan lamunannya."Paman Juang? Ia kembali?" batin Sasya meragu."Hey, cepat naik ke atas gerobakku! Atau, kau akan mati kedinginan di sini dan lalu menjadi santapan binatang buas!"Sasya terkesiap, namun secepatnya ia sadar apa yang harus dilakukan. Segera, ia melangkah maju dengan kedua tangannya terulur untuk meraba sesuatu di depannya. Tak lama tangannya pun menangkap sebuah balok kayu yang melintang. Benda itu juga dirakit dengan beberapa papan dan roda di bagian bawahnya."Benar, Paman ini benar-benar membawa sebuah gerobak!" batin Sasya. Ia pun segera memanjat serta mengangkat bobot tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada balok tersebut.
"Uuups...!" Tubuh kecil Sasya terhempas masuk ke dalam gerobak. Seperti permadani nan empuk tapi terasa sedikit gatal, itulah yang ia rasakan pertama kali saat tubuhnya berhasil mendarat di atas kereta kayu itu."Rupanya, gerobak ini mengangkut rerumputan," pikir Sasya. Dia dapat mengetahuinya dari aroma yang khas, serta guratan daun yang memanjang ketika ia meraba dari tumbuhan liar tersebut.
Tunggu, hidung Sasya kembali bergerak gerak seperti kucing yang tengah mengendus. Ia mencium aroma lainnya. Baunya sangat wangi, dan sepertinya bukan hanya berasal dari satu macam tanaman atau bunga. Berkali kali Sasya menarik napas dalam dalam untuk menghirup aroma wanginya. Senyum cerah tersungging di bibirnya, tanda ia begitu menyukainya."Paman, kenapa kau membawa begitu banyak rumput juga bunga bunga?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Sasya. Sepertinya, ia sudah tidak takut lagi dengan lelaki itu seperti awal pertemuan mereka."Haha....anak nakal, hidung kecilmu itu ternyata cukup pintar!" puji Juang. Kedua kakinya masih terus sibuk mengayuh gerobak. "Tentu saja, rumput rumput dan bunga bunga itu akan ku tukar dengan beberapa lembar uang," lanjutnya menjelaskan. Hening tak ada lagi tanggapan dari dalam gerobak setelahnya.Juang melongokkan kepalanya menilik apa yang sedang dilakukan "anak nakal" di dalam sana. Sesaat, mata Juang terpana menyaksikan hal di depannya. Gadis kecil itu ternyata telah tertidur dengan pulasnya. Tubuh kecilnya terbaring di atas permadani hijau dengan bunga bunga segar yang tersusun di atas kepalanya. Wajahnya yang seputih salju kontras dengan rambut hitamnya membuatnya terlihat sangat cantik."Ia benar benar seperti peri kecil di antara bunga bunga," gumamnya.
****"Krieeett....!" Pintu terbuka dari sebuah rumah kayu yang amat sederhana.Tak lama, kepala seorang wanita pun tersembul keluar dari dalam bilik.
"Sudah pulang kau rupanya!" kata wanita itu begitu mengetahui suaminya telah kembali dari hutan mencari rumput."Ya, Sani! Cepat siapkan air hangat untuk ku mandi, tubuhku sudah sangat gatal rasanya."Wanita bernama Sani itu pun hanya mengangguk paham. Detik selanjutnya, kembali ia masuk ke dalam bilik. Langkah kakinya cepat menuju dapur, lalu segera menyalakan perapian tungku dengan kayu bakar yang telah ia siapkan sebelumnya. Sebuah periuk dari tanah liat yang berisi penuh air ia letakkan kemudian atas tungku tersebut. Ia mulai merebus air sesuai perintah suaminya.Sambil menunggu air mandi suaminya mendidih, dengan sigap Sani pun menyiapkan makan malam untuk mereka. Satu bakul nasi, semangkuk sup dengan tiga potong daging di dalamnya, serta tiga cangkir teh hangat tak lamapun telah tersaji di meja makan kemudian. Setelah semua dirasa telah siap, ia pun gegas berjalan dan masuk ke sebuah kamar."Elena bangunlah, ayo kita makan malam!" Sani menepuk nepuk pelan pipi putrinya yang ternyata telah terlelap di kamarnya."Ibu, aku masih sangat mengantuk. Nanti saja aku makan," ucap gadis itu masih dengan mata terpejam. Ia nampak masih begitu enggan terjaga dari tidurmya. "Huuuhh...!" Sani menghela napas melihat respon putrinya, sebelum akhirnya memutuskan pergi ke luar kamar.Di meja makan, Juang yang telah selesai mandi rupanya telah duduk menunggu istri dan anaknya untuk makan bersama. "Elena tidur sangat nyenyak, biar nanti saja aku bangunkan lagi untuk makan." Sani segera menyendokkan nasi dan sup ke piring sang suami, baru ke piringnya sendiri setelahnya."Braaaaakkkk....!" Sebuah suara yang cukup keras, seperti benda yang jatuh tiba tiba mengagetkan Sani dan suaminya. Padahal mereka baru saja hendak menyuapkan nasi pertama ke dalam mulut. Gerakan mereka terhenti, suami istri itu pun sejurus saling bersitatap. "Biar aku saja yang melihat ke luar," kata Sani sembari beranjak dari tempat duduknya. Dengan langkah cepat Sani berjalan ke luar rumah untuk memastikan keadaan. "Astaga....!" jerit Sani. Matanya terbelalak lebar tatkala mendapati seorang anak perempuan dengan umur yang sepantar putrinya sedang tiarap di samping gerobak. Sementara di depan gadis itu telah berserak beberapa bilah kayu yang tadinya tertumpuk dengan rapi di halaman. Itu semua karna gadis itu tak sengaja menubruk tumpukan kayu bakar miliknya setelah berhasil melompat dari dalam gerobak."Aduuuuuh...!" rintih Sasya sambil berusaha bangkit. Dengan posisi masih setengah berdiri, kedua tangan kecilnya menyapu kedua lutut dan juga sikunya yang terasa perih akibat terjatuh. Padahal belum lagi kering luka karna jatuh sebelumnya, kini harus kembali berdarah lagi.Sani merasa sangat penasaran, siapa gerangan bocah yang tengah menyelinap di pekarangan rumahnya itu. Reflek kakinya seperti tertuntun melangkah maju, mendekati bocah tersebut. Namun sebelum jarak yang begitu dekat di antara keduanya, kembali mata Sani di kejutkan dengan pemandangan dari gerobak, tak jauh dari anak itu."Ya Tuhan....!" Sani memekik. Ia sungguh tak percaya melihat bunga bunga di dalam gerobak itu berserakan bahkan banyak yang tlah rusak seperti bekas terinjak injak. Hancur sudah hasil jerih payah suaminya.Mata Sani bertambah melotot seperti hendak keluar, menatap sang bocah dan bunga bunga itu hatinya menjadi seperti mendidih. Wajahnya langsung bersemu merah dan hitam, ekspresi dia benar benar marah. Lalu dengan sangat keras mulutnya berteriak memanggil suaminya, "Juaaaaaang...!""Juaaaaaang!!!"Mendengar teriakan Sani, Juang hampir saja tersedak saat sedang asik asiknya mengunyah karna kaget. "Kenapa lagi perempuan itu, kenapa dia hobi sekali berteriak?" gerutu Juang kesal. Ia pun segera berjalan menyusul istrinya ke luar rumah."Juang, apa kamu tahu siapa bocah ini? Sepertinya dia adalah seorang penyusup di kampung ini. Aku tidak tahu apa tujuan dia ke sini, tapi yang jelas dia lah pasti orang yang telah merusak dan menginjak injak hasil kerja kerasmu hari ini!" Seperti laju kereta api, Sani merepet begitu cepat dan panjang menumpahkan kekesalannya.Juang yang belum menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, sempat melongo beberapa detik mendengar rentetan panjang ucapan sang istri. Dan baru ia menyadari semuanya, tatkala kedua bola matanya mengikuti arah tatapan Sani."An - anak nakal? Astaga.....!" Juang menepuk keras jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa telah membawa bocah itu sampai ke rumahnya?"Paman Juang...!" Sasya memekik girang saat mende
"Syadil...cepat kau cuci bajuku ini! Malam nanti aku akan memakainya ke pesta ulang tahun temanku!" Sebuah kain melayang dan jatuh tepat diwajah seorang gadis yang tengah sibuk meracik minuman ke dalam gelas."Syadil...bawakan minumanku ke sini! Cepatlah, aku sedang sangat terburu buru sekarang!" Belum genap lagi langkah kaki gadis itu mencapai tempat mencuci pakaian, orang itu kembali berteriak memanggilnya."Syadil...Syadilla...! Selain buta, apa kau juga tuli sekarang, hah? Aku bisa terlambat ke kampus karenamu!""Maaf! Maafkan aku, Elena! Aku tadi belum selesai membuat teh-mu saat kau menyuruhku mencuci bajumu." Syadilla tergopoh-gopoh membawa nampan berisikan secangkir teh di atasnya, sesuai pesanan Elena.Dengan gusar Elena segera menyambar minumannya. Tenggorokannya terasa sangat kering juga seret saat menyantap nasi goreng buatan ibunya."Phhuuuuufff....!" Tiba-tiba saja Elena menyemburkan minuman dari mulutnya. Entah sengaja atau tidak, yang jelas air teh itu mengenai tubuh S
"Cepat tangkap gadis itu.!" Satu anggota aparat berteriak keras dengan jari telunjuk lurus ke arah Syadilla."Cekleek...!" Pintu mobil berwarna hitam metalik itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar 40 tahunan keluar dari dalam mobil. Saat di dalam mobil, dirinya seperti mendengar keributan di luar, dan merasakan sesuatu telah membentur body mobil. Jadi ia putuskan keluar untuk mengeceknya."Astaga.....!" teriaknya lantang. Mata lelaki itu melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Ia tak percaya begitu melihat body mobil tlah tergores dengan goresan yang cukup panjang. Dan di bawah mobil itu, tergeletak sebuah keranjang dengan banyak bunga terserak di sekitarnya."Aduuuh...!" Syadilla merintih pelan sambil memegangi lututnya berusaha untuk berdiri. Namun belum lagi ia sanggup berdiri tegak, sebuah suara lagi lagi mengagetkan dirinya."Hey gadis...! Apa yang tlah kau lakukan, hah? Dan keranjang itu, keranjang itu pasti milikmu bukan?"Syadilla yang belum mengetahui apa yang terjadi
"Dasar gadis bod*h ! Apa kau tak bisa sembunyi saat para petugas itu datang, hah?" Sani berteriak murka. Matanya melotot melihat keranjang bunga yang sudah sedikit penyok di tangan Syadilla. "Ma - maaf Bibi ! A - aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Suasana begitu kacau. Semua orang berteriak panik dan berlarian. Dan aku...""Tidak tahu harus berbuat apa ? Dengan kata lain kamu ini memang benar idiot !" Sani meraung memotong ucapan Syadilla, dan dengan kasar merebut keranjang dari gadis yang kini tertunduk takut di depannya."Lihat! Lihat karenamu semua bunga bunga ini rusak!" Sani menepuk jidatnya frustasi. "Ya Tuhan, mau makan apa kita hari ini?"Kedua mata Sani kembali memeriksa semua bunga bunga itu. Rasa marahnya semakin besar karna ternyata hampir tak ada bunga yang selamat. Bila tidak tangkainya yang patah, pastilah kelopaknya yang rusak. Satu tangannya yang gemuk kemudian mencengkeram bunga bunga itu dan melemparkannya tepat di muka Syadilla sambil berteriak,
"Ibu, aku lapar! Apa Ibu memasak makanan enak hari ini?" tanya Elena yang baru keluar kamar, dan langsung menuju dapur karena mencium aroma masakan."Hmm, putri cantikku baru bangun rupanya. Tentu saja Ibu memasak makanan spesial dan lezat untukmu," Sani menjawab pertanyaan Elena sambil terus menuntaskan kegiatannya menggoreng beberapa potong ayam."Syadilla, cepat kamu tata semua piring dan makanan ini ke meja makan!" titah Sani pada Syadilla yang sedang mencuci perabotan bekas memasak di situ.Mendengar perintah Bibinya, Syadilla pun segera bangkit berdiri dan mengerjakan apa yang disuruhkan baginya. "Baik, Bibi!" Syadilla menurut.Dalam waktu singkat, semua hidangan telah tersaji di meja makan. Nasi, sayur beserta aneka lauk telah tertata rapi. Dan sesuai kebiasaan di keluarga ini, gadis itu pun memanggil bibi dan saudara perempuannya kemudian untuk bersantap. Sementara Syadilla sendiri masih harus meneruskan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."Ibu, banyak sekali masakan lezat
"Hooaaam..." mulut Juang menguap lebar dengan kedua tangan terentang ke atas kepala. Kedua matanya juga masih sedikit terpejam, tanda kantuknya yang belum hilang."Eh, Paman!" sapa Syadilla tersadar dari lamunannya karna kedatangan lelaki tersebut."Kenapa sepi sekali rumah? Dimana bibi dan Elena?""Oh, mereka sedang keluar berbelanja Paman," jawab Syadilla. Ia kemudian segera membereskan piring bekas makannya sendiri."Paman, Bibi sudah menyimpan lauk khusus untukmu. Apa Paman ingin aku siapkan sekarang?""Hmm, Kau siapkan saja. Aku mau mandi," Juang menjawab dingin dan berlalu melewati Syadilla yang hendak mengeluarkan makanan dari lemari khusus.Saat Juang melintas, bau yang tidak sedap menusuk indera penciuman Syadilla. Hampir hampir ia muntah bila tak segera menutup hidungnya akibat bau itu. Siapapun pasti juga tidak akan tahan dengan bau yang begitu menyengat, antara bau alkohol yang berbaur dengan bau keringat. "Pantas saja Bibi seringkali menolak tidur sekamar dengan Paman!" b
"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!""Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya."Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?""Tidak
Tetapi Elena tidak peduli dengan semua peristiwa itu. Membeli sebuah tas branded dengan high label seharga jutaan dollar adalah obsesinya yang belum terpenuhi selama ini. Ia tahu meski ia adalah satu satunya anak kesayangan di rumah itu, tapi ibunya sebagai pengendali keuangan pasti tidak akan pernah mau membelikan barang semahal itu."Apa yang aku mau, harus terpenuhi!" desis Elena sambil meremas uang uang itu dengan tatapan tajam dan sudut bibir terangkat miring.****"Bunganya, bunganya Tuan, Nyonya! Mari silahkan dipilih, silahkan dibeli!"Syadilla berteriak menawarkan barang dagangannya. Suaranya timbul tenggelam di antara padatnya orang orang yang mengunjungi tempat tersebut."Waah, meriah sekali pasar malam kali ini. Sudah lama sekali tidak ada acara seperti ini, bukan?" ujar seorang gadis, salah satu pengunjung pada teman yang bersamanya.Syadilla mengernyit. Pasalnya suara itu terdengar familiar di telinganya."Elena!" batin Syadilla.Dan di saat yang sama, kedua mata Elena pu