Sepulang kerja, Bayu kembali ke rumah Nabila. Dia ingin mengutarakan keinginannya untuk kembali menemui Fahira sesuai pesan mamanya, mumpung visa multiple entry-nya masih berlaku. Tetapi, yang menjadi pikiran utama sebenarnya adalah biaya bolak-balik Jakarta-Belanda yang tak murah. Untuk beli tiket pulang-pergi saja, gaji sebulan plus tunjangannya sudah terkuras. Belum lagi biaya akomodasi selama di sana. Ada penyesalan dalam lubuk hati Bayu. Andaikan Fahira tidak kabur, pasti dia tidak perlu keluar uang untuk menemuinya. "Ah, nasi sudah menjadi bubur!"Kini yang bisa dilakukan hanyalah mencari solusi terbaiknya. Bayu memasuki rumah. Karena merasa haus, Bayu langsung menuju dapur. Tiba-tiba matanya memicing saat melihat siapa yang sedang memasak di sana. “Kamu bisa masak?” tanya Bayu saat melihat Nabila sedang di belakang kompor. Selama ini hampir tak pernah Bayu makan di rumah itu. Dia hanya singgah sementara. Kalaupun menginap, acara makan malam juga sudah usai. “Aku sengaja be
Bayu kembali menghembuskan napasnya. Dia tahu Nabila mencoba untuk berubah. Namun, dia sudah terlanjur membuat kesalahan besar yang menebusnya hanya dengan kembali ke Fahira. “Nabila, aku tidak bisa memaksamu untuk bersamaku.” Bayu mengambil jeda. “Karena aku harus menunaikan tanggungjawabku, wasiat papaku,” lanjut Bayu. “Maafkan aku Nabila. Secepatnya aku harus menyusul Fahira.” Bayu tahu dia harus memilih untuk saat ini. Ternyata membagi dua hati tidaklah mudah meskipun bisa saja ada kecendurangan pada salah satunya. Bisa jadi Bayu memiliki cinta untuk Nabila, tapi tanggungjawab untuk orangtuanya kini lebih utama. Apalagi setelah kehilangan papanya, kesehatan mamanya mulai menurun. “Nanti aku akan atur semua keperluanmu selama aku pergi. Percayalah aku akan kembali lagi,” ujar Bayu, lalu ia bergegas meninggalkan ruang makan.Nabila hanya mematung, menatap kepergian Bayu. Baru saja dia merasakan bahagia. Baru saja dia bersemangat menjadi istri yang seutuhnya, namun, seketika terh
Jalinan cinta, apabila tidak dirawat, maka lama kelamaan akan memudar. Itulah apa yang dirasakan Bayu. Setelah dia memutuskan menunda cutinya, dia kini memilih tinggal di rumah Nabila. Sedang rumah yang biasa dihuni dengan Fahira dibiarkan kosong. Hanya tiap akhir pekan dia membayar orang untuk membersihkannya. Orang tua Nabila pun merasa bahagia dengan perubahan Bayu. Bahkan, Bayu seolah lupa dengan permintaannya pada Nabila agar kembali bekerja. Bayu lebih terlena dengan perubahan pada Nabila yang semakin fokus melayaninya. Cinta lamanya seperti bersemi kembali. Bahkan, Bayu yang tadinya berkomitmen mentransfer jatah bulanan ke rekening Fahira yang ditinggalkan di rumah Bayu, kini sudah mulai lupa karena terdesak kebutuhan barunya dengan Nabila yang semakin menggila. Namun begitu, Bayu belum berani membawa Nabila ke rumah mamanya. Dia perlu waktu untuk meyakinkan mamanya menerima Nabila. Bahkan, sejak Wulan memutuskan tinggal bersama mama mereka, Bayu bahkan belum lagi membezukn
Faisal keluar dari ruangan professor yang juga merangkap kepala departemen di fakultasnya. Hari itu adalah hari pertama Faisal bertemu langsung dengan calon promotornya. Baru kemaren dia mendarat di Belanda. Meskipun dua tahun lalu dia sudah menyelesaikan program masternya, tentu saja dia tetap merasa asing, apalagi ini kota yang berbeda dengan kota dimana dua tahun lalu dia menghabiskan waktu. Faisal berjalan dengan wajah sumringah menuruni tangga menuju lantai bawah. Menyusuri lorong fakultas itu, lalu keluar menuju parkiran. Hari pertama ini akan dia gunakan untuk observasi kota, alias mencari berbagai kebutuhan selama pekan pertama. Apalagi tadi di diskusi awal dengan promotor dia harus mulai menyiapkan untuk pertemuan minggu pertama dengan calon daily supervisornya. Belum lagi berbagai hal teknis yang harus dia kerjakan seperti mengambil kartu ijin tinggalnya, membuka rekening bank, mengurus asuransi, hingga tes TB yang wajib dilakukan untuk pendatang yang berasal dari negeri r
Sudah sebulan berlalu. Faisal meskipun sibuk dengan kegiatan riset dan meetingnya dengan promotor dan daily supervisornya, tapi dia tak sedikitpun melupakan Fahira. Tidak sulit bagi Faisal mengetahui jadwal kuliah Fahira, karena semua jadwal kelas perkuliahan program master, dia bisa mengaksesnya. Bahkan, dia bisa tahu ruangan mana yang dipakai Fahira untuk belajar di kelas.Kadang Faisal menyempatkan diri sekedar lewat tempat kuliah Fahira.Cinta memang tak mengenal logika. Tapi, begitulah. Kadang Faisal rela memastikan bahwa Fahira hadir kuliah, karena dia khawatir Fahira jatuh sakit di saat kondisinya sedang hamil. Di kampusnya juga tersedia study room, dimana para mahasiswa biasanya memanfaatkan ruangan itu untuk belajar. Dan tentu saja, dari ruangan Faisal pun dia bisa memantau langsung ke arah study room itu karena letaknya tepat berseberangan dengan ruangannya. Begitulah cinta. Bahkan, sekelebat bayangan Fahira saja mampu membangkitkan mood Faisal untuk menyelesaikan progres
“Penuh, Kak,” keluh Fahira saat mereka sudah tiba di toko makanan Turki yang tepat berada di depan fakultasnya. Keduanya berdiri di depan toko Turki itu. Mata Faisal memindai sekitar, sementara Fahira penasaran dengan menu di banner. "Kamu mau apa?" tanya Faisal saat melihat Fahira yang tampak kebingungan dengan pilihan menu. Di gambar itu sebenarnya tak banyak menu ditampilkan. Hanya dua atau tiga varian menu, dengan ukuran yang berbeda. "Samain aja, Kak." Fahira mencoba mempersingkat waktu. "Kapsalon small atau medium?" tanya Faisal memastikan. Dia khawatir kalau salah size, bisa jadi bumil nggak kenyang, atau justru kelaparan. "Small saja. Banyak karbohidrat, khawatir ngantuk," ujar Fahira, teringat terakhir makan Kapsalon yang berakhir dengan perut terasa sangat penuh. “OK. Aku pesen dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar Faisal sambil menunjukkan bangku yang ada di luar toko itu.Di depan toko memang berjajar bangku yang lengkap dengan mejanya. Meskipun akhir musim gugur, udara be
“Jadi ini alasanmu pergi dariku?” Bayu sudah berdiri tepat di depan meja Faisal dan Fahira. Kedua tangannya sudah dilipat.Fahira sontak berdiri, karena kaget. Ia sama sekali tak menyangka Bayu sudah berdiri di sana. Tubuh Fahira gemetar. Dua tahun menikah dengan Bayu, tak sekalipun dia mengecewakannya. Tak pernah sekalipun dia bersama laki-laki lain kecuali seijin Bayu. Dan kini, pria itu sudah berdiri di hadapannya saat dia bersama lelaki lain. Meskipun Fahira sudah mengikis cintanya untuk Bayu. Sudah tak punya harapan kembali pada Bayu. Tapi, statusnya kini masih istri Bayu. Itu pesan orang tuanya yang selalu diingatnya. Dia harus bisa menjaga diri. Menjaga maruahnya sebagai seorang wanita yang sudah bersuami. Mulutnya tiba-tiba tercekat. Fahira merasa kehilangan kata. Dia tak punya argumen apapun untuk menghindar. Dia mengaku salah. Bayu mendekatkan wajahnya ke Faisal yang masih terduduk. Meskipun kaget, Faisal mencoba untuk tenang. Faisal sedikit banyak mengenal watak Bayu ya
“Hubunganku? Aku baru kenal tadi pagi.” Fahira menjawab apa adanya. Dia memang baru berinteraksi dengan Faisal saat usai periksa sebelum ke kampus. Tetapi, entahlah kenapa Fahira merasa begitu cepat cair dengan Faisal. Mungkin karena Faisal menjadi tempat yang nyaman berkeluh kesah yang selama ini menjadi bebannya. Mungkin karena Faisal bisa mengerti apa yang tengah dirasakan olehnya. Empati yang diberikan Faisal, membuat Fahira seperti tak bersekat. “Jangan bohong! Kalian sudah lama kenal, kan?” Tiba-tiba Bayu meninggikan suaranya. Bayu tidak percaya dengan jawaban Fahira. Mustahil Fahira baru mengenal Faisal. Buktinya mereka sekarang kuliah di fakultas yang sama. Dan keduanya sama-sama kabur dari Indonesia dan menghilang tanpa kabar. Terlebih, Faisal bisa tahu dimana dia berada saat pertama kali Bayu mencarinya bulan lalu. Apa semua ini sudah mereka rencanakan sebelumnya? Fahira dan Faisal hanya berpura-pura tidak saling mengenal di hadapannya? Bayu merasa ditikung dari belaka