Faisal keluar dari ruangan professor yang juga merangkap kepala departemen di fakultasnya. Hari itu adalah hari pertama Faisal bertemu langsung dengan calon promotornya. Baru kemaren dia mendarat di Belanda. Meskipun dua tahun lalu dia sudah menyelesaikan program masternya, tentu saja dia tetap merasa asing, apalagi ini kota yang berbeda dengan kota dimana dua tahun lalu dia menghabiskan waktu. Faisal berjalan dengan wajah sumringah menuruni tangga menuju lantai bawah. Menyusuri lorong fakultas itu, lalu keluar menuju parkiran. Hari pertama ini akan dia gunakan untuk observasi kota, alias mencari berbagai kebutuhan selama pekan pertama. Apalagi tadi di diskusi awal dengan promotor dia harus mulai menyiapkan untuk pertemuan minggu pertama dengan calon daily supervisornya. Belum lagi berbagai hal teknis yang harus dia kerjakan seperti mengambil kartu ijin tinggalnya, membuka rekening bank, mengurus asuransi, hingga tes TB yang wajib dilakukan untuk pendatang yang berasal dari negeri r
Sudah sebulan berlalu. Faisal meskipun sibuk dengan kegiatan riset dan meetingnya dengan promotor dan daily supervisornya, tapi dia tak sedikitpun melupakan Fahira. Tidak sulit bagi Faisal mengetahui jadwal kuliah Fahira, karena semua jadwal kelas perkuliahan program master, dia bisa mengaksesnya. Bahkan, dia bisa tahu ruangan mana yang dipakai Fahira untuk belajar di kelas.Kadang Faisal menyempatkan diri sekedar lewat tempat kuliah Fahira.Cinta memang tak mengenal logika. Tapi, begitulah. Kadang Faisal rela memastikan bahwa Fahira hadir kuliah, karena dia khawatir Fahira jatuh sakit di saat kondisinya sedang hamil. Di kampusnya juga tersedia study room, dimana para mahasiswa biasanya memanfaatkan ruangan itu untuk belajar. Dan tentu saja, dari ruangan Faisal pun dia bisa memantau langsung ke arah study room itu karena letaknya tepat berseberangan dengan ruangannya. Begitulah cinta. Bahkan, sekelebat bayangan Fahira saja mampu membangkitkan mood Faisal untuk menyelesaikan progres
“Penuh, Kak,” keluh Fahira saat mereka sudah tiba di toko makanan Turki yang tepat berada di depan fakultasnya. Keduanya berdiri di depan toko Turki itu. Mata Faisal memindai sekitar, sementara Fahira penasaran dengan menu di banner. "Kamu mau apa?" tanya Faisal saat melihat Fahira yang tampak kebingungan dengan pilihan menu. Di gambar itu sebenarnya tak banyak menu ditampilkan. Hanya dua atau tiga varian menu, dengan ukuran yang berbeda. "Samain aja, Kak." Fahira mencoba mempersingkat waktu. "Kapsalon small atau medium?" tanya Faisal memastikan. Dia khawatir kalau salah size, bisa jadi bumil nggak kenyang, atau justru kelaparan. "Small saja. Banyak karbohidrat, khawatir ngantuk," ujar Fahira, teringat terakhir makan Kapsalon yang berakhir dengan perut terasa sangat penuh. “OK. Aku pesen dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar Faisal sambil menunjukkan bangku yang ada di luar toko itu.Di depan toko memang berjajar bangku yang lengkap dengan mejanya. Meskipun akhir musim gugur, udara be
“Jadi ini alasanmu pergi dariku?” Bayu sudah berdiri tepat di depan meja Faisal dan Fahira. Kedua tangannya sudah dilipat.Fahira sontak berdiri, karena kaget. Ia sama sekali tak menyangka Bayu sudah berdiri di sana. Tubuh Fahira gemetar. Dua tahun menikah dengan Bayu, tak sekalipun dia mengecewakannya. Tak pernah sekalipun dia bersama laki-laki lain kecuali seijin Bayu. Dan kini, pria itu sudah berdiri di hadapannya saat dia bersama lelaki lain. Meskipun Fahira sudah mengikis cintanya untuk Bayu. Sudah tak punya harapan kembali pada Bayu. Tapi, statusnya kini masih istri Bayu. Itu pesan orang tuanya yang selalu diingatnya. Dia harus bisa menjaga diri. Menjaga maruahnya sebagai seorang wanita yang sudah bersuami. Mulutnya tiba-tiba tercekat. Fahira merasa kehilangan kata. Dia tak punya argumen apapun untuk menghindar. Dia mengaku salah. Bayu mendekatkan wajahnya ke Faisal yang masih terduduk. Meskipun kaget, Faisal mencoba untuk tenang. Faisal sedikit banyak mengenal watak Bayu ya
“Hubunganku? Aku baru kenal tadi pagi.” Fahira menjawab apa adanya. Dia memang baru berinteraksi dengan Faisal saat usai periksa sebelum ke kampus. Tetapi, entahlah kenapa Fahira merasa begitu cepat cair dengan Faisal. Mungkin karena Faisal menjadi tempat yang nyaman berkeluh kesah yang selama ini menjadi bebannya. Mungkin karena Faisal bisa mengerti apa yang tengah dirasakan olehnya. Empati yang diberikan Faisal, membuat Fahira seperti tak bersekat. “Jangan bohong! Kalian sudah lama kenal, kan?” Tiba-tiba Bayu meninggikan suaranya. Bayu tidak percaya dengan jawaban Fahira. Mustahil Fahira baru mengenal Faisal. Buktinya mereka sekarang kuliah di fakultas yang sama. Dan keduanya sama-sama kabur dari Indonesia dan menghilang tanpa kabar. Terlebih, Faisal bisa tahu dimana dia berada saat pertama kali Bayu mencarinya bulan lalu. Apa semua ini sudah mereka rencanakan sebelumnya? Fahira dan Faisal hanya berpura-pura tidak saling mengenal di hadapannya? Bayu merasa ditikung dari belaka
“Ngapain lagi kamu ke sini?” ujar Bayu dengan emosi yang meluap. Bayu sudah mendekat ke Faisal yang tampak santai, meskipun Bayu menampilkan roman kemarahan.Faisal sudah hafal sifat Bayu. Dia tidak kaget. Kalau dibalas dengan kemarahan yang sama, tentu tidak menyelesaikan masalah. Lorong depan kamar Fahira sepi. Apalagi saat jam kuliah. Biasanya mahasiswa yang tinggal di apartemen itu lebih suka menghabiskan waktu di kampus. Bisa di study room atau di perpustakaan. “Sttt. Mas, maaf jangan bersuara keras. Nanti kalau ada yang terganggu bisa dilaporin.” Mayang menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. Ekor matanya melirik ke kanan kiri, takut ada mahasiswa lain keluar dari kamar dan memprotes keributan.Bayu melirik ke Mayang sekilas. Dadanya masih naik turun. Andai tak ada Mayang, tak ada seorang pun yang membuatnya canggung untuk meluapkan emosinya pada Faisal. Kini, dia terpaksa harus menahannya. “Bay, kamu nginep di apartemenku saja. Tempatku lebih luas. Ada sofa bed juga,” taw
Sepanjang perjalanan, Fahira sudah berfikir. Sepertinya dia harus menjauh dari Faisal. Sekarang Bayu tidak melihat. Tapi, siapa yang tahu, kejadian yang barusan dialaminya. Bayu yang hidup belasan ribu kilometer mendadak hadir di depan mereka. Beginikah nasib wanita? Bahkan surganya sebagai istri adalah kesetiaaan. Apa nggak boleh aku berteman saja? gumam Fahira. Tadinya, saat berbincang dengan Faisal, Fahira merasa punya energi baru. Yang biasanya dia hampir putus asa memikirkan kesulitannya menyesuaikan diri, dia merasa ada orang yang mungkin suatu saat akan menjadi pendengar yang baik, selain Mayang. Bukan dia merasa tak cukup dengan Mayang. Tapi, sahabatnya itu beda fakultas. Tentu saja, kesulitan pelajaran yang dihadapi akan berbeda. Sementara, Faisal satu fakultas. Tak hanya berkeluh-kesah, mungkin lain waktu bisa minta tolong mengajarkan materi kuliah yang dia belum paham. Tak sampai seperempat jam, sepeda Fahira sudah berbelok ke halaman apartemennya. Fahira segera mengelu
“Mas, kita makan dulu yuk. Supnya keburu dingin,” bujuk Fahira. Dia paham, tak ada gunanya menjelaskan pada Bayu yang sedang tersulut emosi. Dua tahun hidup bersamanya, Bayu hampir sama sekali tak pernah marah. Padahal, mereka hidup tanpa cinta. Fahira memang lebih banyak mengalah. Ia selalu berusaha membuat Bayu merasa nyaman. Tapi kini, baru setengah hari saja, Bayu seperti diguyur bensin. Sebentar-sebentar kemarahan menyambarnya. Bayu menatap Fahira sekilas. Wanita muda ini tampak tak sedikit pun tersulut emosinya. Dia begitu tenang. Hingga Bayu akhirnya luluh menerima tawarannya. Fahira segera menghidangkan sup dengan perkedel kentang, emping melinjo dan juga sambal tomat. Tak lupa nasi putih. Semua bahan masakan Indonesia bisa di dapatkan di Toko Turki maupun Toko Asia yang ada di kota tempat Fahira menuntut ilmu. Bayu menikmati makan malamnya sampai nambah dua kali. Dia merasa sangat lapar sekaligus kangen dengan masakan Fahira yang sudah tiga bulan tidak dia nikmati. Ses