“Ngapain lagi kamu ke sini?” ujar Bayu dengan emosi yang meluap. Bayu sudah mendekat ke Faisal yang tampak santai, meskipun Bayu menampilkan roman kemarahan.Faisal sudah hafal sifat Bayu. Dia tidak kaget. Kalau dibalas dengan kemarahan yang sama, tentu tidak menyelesaikan masalah. Lorong depan kamar Fahira sepi. Apalagi saat jam kuliah. Biasanya mahasiswa yang tinggal di apartemen itu lebih suka menghabiskan waktu di kampus. Bisa di study room atau di perpustakaan. “Sttt. Mas, maaf jangan bersuara keras. Nanti kalau ada yang terganggu bisa dilaporin.” Mayang menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. Ekor matanya melirik ke kanan kiri, takut ada mahasiswa lain keluar dari kamar dan memprotes keributan.Bayu melirik ke Mayang sekilas. Dadanya masih naik turun. Andai tak ada Mayang, tak ada seorang pun yang membuatnya canggung untuk meluapkan emosinya pada Faisal. Kini, dia terpaksa harus menahannya. “Bay, kamu nginep di apartemenku saja. Tempatku lebih luas. Ada sofa bed juga,” taw
Sepanjang perjalanan, Fahira sudah berfikir. Sepertinya dia harus menjauh dari Faisal. Sekarang Bayu tidak melihat. Tapi, siapa yang tahu, kejadian yang barusan dialaminya. Bayu yang hidup belasan ribu kilometer mendadak hadir di depan mereka. Beginikah nasib wanita? Bahkan surganya sebagai istri adalah kesetiaaan. Apa nggak boleh aku berteman saja? gumam Fahira. Tadinya, saat berbincang dengan Faisal, Fahira merasa punya energi baru. Yang biasanya dia hampir putus asa memikirkan kesulitannya menyesuaikan diri, dia merasa ada orang yang mungkin suatu saat akan menjadi pendengar yang baik, selain Mayang. Bukan dia merasa tak cukup dengan Mayang. Tapi, sahabatnya itu beda fakultas. Tentu saja, kesulitan pelajaran yang dihadapi akan berbeda. Sementara, Faisal satu fakultas. Tak hanya berkeluh-kesah, mungkin lain waktu bisa minta tolong mengajarkan materi kuliah yang dia belum paham. Tak sampai seperempat jam, sepeda Fahira sudah berbelok ke halaman apartemennya. Fahira segera mengelu
“Mas, kita makan dulu yuk. Supnya keburu dingin,” bujuk Fahira. Dia paham, tak ada gunanya menjelaskan pada Bayu yang sedang tersulut emosi. Dua tahun hidup bersamanya, Bayu hampir sama sekali tak pernah marah. Padahal, mereka hidup tanpa cinta. Fahira memang lebih banyak mengalah. Ia selalu berusaha membuat Bayu merasa nyaman. Tapi kini, baru setengah hari saja, Bayu seperti diguyur bensin. Sebentar-sebentar kemarahan menyambarnya. Bayu menatap Fahira sekilas. Wanita muda ini tampak tak sedikit pun tersulut emosinya. Dia begitu tenang. Hingga Bayu akhirnya luluh menerima tawarannya. Fahira segera menghidangkan sup dengan perkedel kentang, emping melinjo dan juga sambal tomat. Tak lupa nasi putih. Semua bahan masakan Indonesia bisa di dapatkan di Toko Turki maupun Toko Asia yang ada di kota tempat Fahira menuntut ilmu. Bayu menikmati makan malamnya sampai nambah dua kali. Dia merasa sangat lapar sekaligus kangen dengan masakan Fahira yang sudah tiga bulan tidak dia nikmati. Ses
[Kamulah penyebab papa Bayu meninggal. Jika kamu tidak kabur, papa Bayu masih ada. Lebih baik, kamu pergi dari hidup Bayu, agar dia tidak merasa bersalah selamanya.]Fahira menghela nafas. Pesan itu dari nomor asing. Fahira tidak tahu siapa yang mengirimnya. Apa mungkin dari keluarga Bayu? Rasanya tidak. Meski Fahira sakit hati dengan perlakuan mertuanya yang mendukung Bayu mendua, namun, rasanya mereka tak setega itu mengirimkan tuduhan padanya. Buat apa? Toh, dia juga sudah pergi menjauh. Pasti ada pihak lain. Namun siapa? Fahira tersenyum getir. Kepalanya menggeleng. Apakah seseorang yang merasa tak mampu berbagi hati dengan Bayu yang telah mengirimkannya? Tanya Fahira dalam hati. Bisa jadi. Tak mudah berbagi. Bahkan, dirinya pun sampai saat ini belum rela terbagi. Meski entah mengapa dia tak mampu menolak hasrat yang sudah lama terpendam, karena itu soal lain. Fahira melirik Bayu yang masih tidur di atas ranjangnya. Wajahnya terlihat damai, membuat Fahira merapikan kembali sel
Bayu menatap Fahira. Pria itu mencari jawab di manik mata Fahira. Apakah ia serius bertanya, atau sekedar basa-basi semata. Yang dikenal Bayu, Fahira memang tak pernah bohong. Bisa jadi memang dia tidak tahu siapa Faisal. “Dia anak dari sepupu papa.” Bayu mulai menceritakan siapa Faisal dan mengapa saudaranya itu begitu gigih menentang pernikahannya dengan Nabila. Bahkan Bayu juga bercerita bahwa Faisal adalah kakak kelas Fahira di kampus yang sama, dan entah mengapa Faisal memiliki banyak informasi tentang Fahira. Termasuk informasi menemukan Fahira di Belanda. “Mas, apa yang kamu harapkan dari hubungan kita?” tanya Fahira kemudian sambil menarik nafas. Bukannya Bayu sudah memilih Nabila, batin Fahira. Sedangkan hubungan Fahira dan Bayu hanya sebatas perjodohan, yang mungkin kini sudah tak diharapkan lagi oleh Bayu. “Aku tak mau kamu tidak bahagia karena kita masih terus bersama. Aku tak mau jadi duri dalam kebahagiaanmu, Mas. Aku tak mau kamu harus berkorban begini banyak, tapi
Angin musim gugur bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan yang warnanya sudah menguning di sekitar Bayu dan Fahira berdiri berguguran tertiup angin. Udara menjadi lebih dingin karena tiupan angin. Beruntung keduanya sudah mengantisipasi dengan mengenakan jaket yang lumayan tebal, meskipun untuk orang sekitar semestinya bisa memakai yang lebih tipis. Namun, bagi orang Asia yang belum terbiasa, pergantian musim seperti ini dapat berpotensi menurunkan kadar imun, terutama batuk. “Fahira, maafkan aku. Tapi, aku tak bisa meninggalkanmu." Bayu mendekat. Matanya berkaca-kaca. Meski dia sadar dia salah, tapi dia tak tahu bagaimana untuk memperbaiki semuanya. “Jangan gunakan papa dan mama lagi sebagai alasanmu. Aku tak mau berkorban apapun. Cukup tinggalkan aku.” Air mata Fahira pun tak kuasa meleleh. Fahira tahu, dia sangat lemah jika dipojokkkan menjadi pihak yang bersalah. Kalau sampai Bayu mengatasnamakan mertua dan orang tuanya, habis sudah pertahanannya. Fahira bergegas pergi meninggalkan Bay
Hari itu, Fahira sudah kembali pada rutinitas biasa. Usai dari bandara dia langsung ke kampus. Tak ada waktu lagi untuk melow dan memikirkan Bayu. Fahira mensugesti dirinya sendiri, toh Bayu hanya memikirkannya saat ada di sampingnya. Jika tidak, tentu Bayu lebih fokus pada istri barunya. Bukannya dulu saja, saat dia masih bersama, Bayu juga fokus pada sang mantan? “Bayu sudah pulang?” Suara Faisal yang tiba-tiba mensejajari langkahnya menuju parkiran sepeda membuat Fahira menoleh. Lalu ia mengangguk sebagai tanda membenarkan ucapan Faisal. Sementara, Faisal memang sengaja memantau Fahira. Dari jadwal kampus yang bisa diakses secara online, dia tahu jam kuliah serta ruangan kuliah Fahira. Bukan karena nama mahasiswa yang bisa diakses, namun karena dia sudah mengamati dari awal, Fahira mengambil mata kuliah apa saja di semester ini, hingga dia bisa mencocokkan dengan jadwal yang ada. Sore itu belum waktunya jam pulang. Tentu saja parkiran sepeda masih sangat penuh. Meskipun ada rak
Bayu keluar dari bandara di Jakarta sekitar jam 10 pagi. Dia tak perlu antri menunggu bagasi karena hanya membawa tas punggung. Pagi itu, dia langsung menuju ke kantor mengingat jatah cutinya yang sudah habis. Dia hanya memanfaatkan libur akhir pekan yang kebetulan bersamaan dengan tanggal merah. Tak peduli harga tiket membubung tinggi. Paling tidak, keputusannya menemui Fahira untuk membuktikan keseriusannya kembali pada istri pertamanya, agar mamanya tenang. Sedangkan kepada Nabila, dia hanya pamit akan menginap di rumah mamanya beberapa hari. Karena Bayu tidak membalas pesannya beberapa hari, Nabila memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya sekaligus ingin memberi kejutan kepada mama mertuanya. Nabila berharap kedekatannya dengan mertua terjalin kembali. Tak lupa, Nabila pun menyiapkan makanan untuk mama mertuanya yang dia masak sendiri, seperti yang dilakukan Fahira kala itu.“Tunggu, Mbak,” seru Bi Darni saat membuka pintu rumah orang tua Bayu. Dia menahan Nabila agar tidak m