Bayu keluar dari bandara di Jakarta sekitar jam 10 pagi. Dia tak perlu antri menunggu bagasi karena hanya membawa tas punggung. Pagi itu, dia langsung menuju ke kantor mengingat jatah cutinya yang sudah habis. Dia hanya memanfaatkan libur akhir pekan yang kebetulan bersamaan dengan tanggal merah. Tak peduli harga tiket membubung tinggi. Paling tidak, keputusannya menemui Fahira untuk membuktikan keseriusannya kembali pada istri pertamanya, agar mamanya tenang. Sedangkan kepada Nabila, dia hanya pamit akan menginap di rumah mamanya beberapa hari. Karena Bayu tidak membalas pesannya beberapa hari, Nabila memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya sekaligus ingin memberi kejutan kepada mama mertuanya. Nabila berharap kedekatannya dengan mertua terjalin kembali. Tak lupa, Nabila pun menyiapkan makanan untuk mama mertuanya yang dia masak sendiri, seperti yang dilakukan Fahira kala itu.“Tunggu, Mbak,” seru Bi Darni saat membuka pintu rumah orang tua Bayu. Dia menahan Nabila agar tidak m
“Bi, mama sama mbak Wulan mana?” tanya Bayu saat masuk rumah sepulang kerja. Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan. Rumah orangtuanya sepi. Bergegas dia menuju kamar. Mama dan kakaknya tidak ada di sana. Bi Darni menatap Bayu dengan takut-takut. Bayu yang melihatnya roman muka Bi Darni, semakin merasa cemas. “Ada apa, Bi?” tanya Bayu penasaran. Kedua tangannya memegang pundak Bi Darni yang masih terdiam. Mata Bayu menatap bi Darni yang masih menunduk. “Mama Mas Bayu dibawa ke rumah sakit, Mas. Tensinya naik,” ujar Bi Darni lirih. Tanpa komando, Bayu segera melempar tas kerjanya dan kembali menuju mobilnya. Dibelahnya lalu lintas yang padat karena masih jam kerja menuju rumah sakit yang sudah menjadi langganan berobat keluarganya. Ditelponnya kakaknya untuk memberitahukan dimana posisi mamanya. Kemacetan jalanan membuat emosi Bayu menjadi naik. Bayu segera berlari menuju ruang perawatan dimana mamanya di rawat. “Mama kenapa, Mbak?” tanya Bayu saat melihat Wulan yang henda
[Kamulah penyebab mama Bayu masuk rumah sakit, puas?] Sebuah pesan masuk ke ponsel Fahira, membuatnya mendesah lalu dihembuskannya nafas berkali-kali untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Pesan itu bukan yang pertama diterimanya, namun entah kesekian kalinya. Fahira tak perlu mencari tahu. Dari nada kalimatnya dia dapat menebak, seperti tebakan-tebakan sebelumnya. Daripada menanggapi, Fahira memilih diam. Dari jendela kamarnya, Fahira menatap lurus ke depan. Langit biru dan sinar matahari cerah namun tak juga memanaskan paginya. Suasana cerah tak lalu menggambarkan suhu udara yang sebenarnya. Lalu, mata Fahira memandang ke jalanan di sebelah apartemennya. Dari ketinggian lantai empat yang ditinggalinya, dia bisa menatap lalu lalang mahasiswa yang bergerak ke kampus, atau pun kembali. Meski hari sudah sore, mahasiswa masih saja ada yang ke kampus, karena belajar di perpustakaan jauh lebih mendukung dibanding di kamar. Perpustakaan kampus buka hingga tengah malam. Dan biasa
Mendengar Mama Bayu masuk rumah sakit kembali, Ayah dan Ibu Fahira bergegas untuk membezuknya. Meskipun sakit hati dengan perlakuan anaknya, tak harus membuat persahabatnya menjadi terputus. Bahkan, ada rasa kawatir dan penyesalan pada hati kedua orang tua Fahira, andaikan semua ini, sakitnya Mama Bayu, disebabkan kesalahannya. Kesalahan karena telah mendatangi keduanya saat Papa Bayu masih ada, yang kemudian disusul dengan meninggalnya papa Bayu. “Mbak, segera sehat ya,” ujar ibu Fahira sambil mengenggam tangan Mama Bayu.Tubuh Mama Bayu semakin kelihatan ringkih dan kurus. Sepertinya semakin banyak beban yang dipikirkannya sepeninggal Papa Bayu.“Jangan banyak pikiran. Mas Arman sudah tenang di sana. Bayu dan Wulan juga sudah bahagia,” sambung Ibu Fahira lagi sambil mengusap punggung tangan Mama Bayu. Mama Bayu menatap wajah Ibu Fahira. Matanya berkaca-kaca. “Soal Fahira, nggak perlu dipikirkan,” lanjut Ibu Fahira. Bulir bening serta merta menetes di sudut mata wanita yang telah
“Makasih ya, Kak.” Wajah Fahira sumringah setelah mendapatkan penjelasan salah satu mata kuliah yang tidak dipahaminya dari Faisal. Pria tampan itu menatap Fahira sambil menyunggingkan senyum. Dia sangat merasa berharga bisa membantu Fahira. Gadis keras kepala yang sering merasa bisa melakukan segalanya tanpa bantuan.Hari itu memang Fahira terpaksa menemui Faisal karena banyak hal yang tidak dimengertinya. Fahira merasa buntu. Sudah mencoba bertanya ke dosen, tetap tidak paham. Lama-lama merasa malu dan rendah diri. Untung ada Faisal yang merupakan mahasiswa PhD selalu bersedia membantunya. Mereka berdua berada di salah satu hall dimana di sana banyak bangku-bangku berderet. Tempat itu disediakan untuk para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas kelompok. Awalnya Fahira sungkan untuk meminta bantuan Faisal. Tapi, demi tak ingin mengulang mata kuliah dan artinya membuat masa studinya molor, akhirnya Fahira memberanikan diri. Toh, Faisal tak pernah macam-macam dan dia dengan senang hat
Akhirnya, Nabila mulai bekerja. Dia bekerja sebagai asisten direktur di salah satu perusahaan milik salah satu kenalan Bayu. Setelah seminggu, Nabila mulai merasa betah, meski awalnya canggung. Ternyata mulai bekerja di usia yang bukan fresh graduate tak semenakutkan yang dibayangkan sebelumnya. Sikap Nabila yang mudah bergaul, membuat atasannya cepat akrab. Tak heran jika dia sering diajak oleh bosnya makan di luar. Aneka restoran mewah kembali dia sambangi, yang sejak menikah dengan Bayu sudah tak pernah lagi dikunjunginya. “Jadi, kamu sama Bayu hanya menikah siri?” tanya Bagas, sang atasan, saat keduanya sedang keluar makan siang di sebuah restoran bernuansa Sunda. Masakan Sunda pun ditawarkan di rumah makan itu. Keduanya duduk lesehan berseberangan sambil menikmati air mancur yang berada di depan gazebo.“Aku tak habis pikir. Pria seperti Bayu bisa sanggup punya istri dua.” Pria bernama Bagas itu mengenal Bayu dengan baik. Kebetulan dalam beberapa pekerjaan, kantor Bayu sering
Bayu menatap Nabila dingin saat istri sirinya itu masuk ke rumah.Papa dan mama mertuanya juga sudah duduk di sofa ruang tamu. Berulang papa mertuanya minta maaf kepada Bayu atas apa yang dilihatnya siang tadi. Tapi, hati Bayu seolah sudah mati. Antara sakit hati dan marah bercampur menjadi satu. “Papa, besok sudah bisa mulai bekerja,” ujar Bayu datar. Pemuda itu masih ingin memastikan bahwa papa mertuanya tidak mengurungkan niatnya untuk bekerja. Bagaimanapun, Bayu tidak tega jika harus meninggalkan keluarga ini tanpa pegangan apapun.“Iya, Nak. Terimakasih. Papa akan bekerja dengan baik. Percayalah. Kamu tak akan malu sudah merekomendasikan papa kerja di sana. Papa hanya ingin menghabiskan masa tua dengan tenang tanpa lilitan hutang,” sahut Papa Nabila. Sementara, Nabila langsung melenggang masuk ke kamarnya, tanpa memedulikan orang tuanya dan Bayu yang sedang mengobrol serius. Dia paham, kalau bergabung di sana, pasti papanya masih menyimpan murka.Bayu memilih menemui Nabila di
Faisal dengan sengaja mensejajari langkah Fahira yang sedang berjalan menuju parkiran sepeda. “Kata Mayang kamu lagi nyari apartemen?” tanya Faisal saat sudah berjalan di sebelah Fahira. Fahira menghentikan langkahnya. ‘Duh, Mayang kenapa ember, sih?’ batin Fahira. “Aku baca di grup. Dia posting nyari rumah. Aku tebak, pasti buat kamu,” tutur Faisal seperti memberi jawab penasaran Fahira. Faisal tahu, kalau tidak diklarifikasi, pasti Fahira akan memarahi sahabatnya itu. Sedikit banyak, Faisal mulai memahami Fahira yang makin tertutup untuk urusan pribadinya. Perut Fahira sudah mulai membuncit. Fahira ingin segera pindah tempat tinggal di saat kandungannya belum terlalu besar. Dia memilih mencari tempat tinggal di dekat centrum yang mudah akses kemana-mana. Membeli barang kebutuhan sehari-hari dekat. Apalagi jarak centrum ke kampus hanya sekitar 1 km. Bisa ditempuh jalan kaki jika dia sudah tak kuat bersepeda. Bukankah itu bagus untuk kehamilannya? “Cari yang satu kamar saja sih